Aku tahu, rizqiku takkan diambil orang, karenanya hatiku tenang..Aku tahu, ‘amalku takkan dikerjakan orang, karenanya kusibuk berjuang..-Hasan Al Bashri-
Pemberian uang yang
sama-sama sepuluh juta, bisa jadi sangat berbeda rasa penerimaannya.
Kadang ia ditentukan oleh bagaimana cara menghulurkannya.
Jika terada dalam amplop coklat yang rapi
lagi wangi, dihulurkan dengan senyum yang harum dan sikap yang santun,
betapa berbunga-bunga kita menyambutnya. Apatah lagi ditambah ucapan
yang sopan dan lembut, “Maafkan sangat, hanya ini yang dapat kami
sampaikan. Mohon diterima, dan semoga penuh manfaat di jalan kebaikan.”
Ah, pada yang begini, jangankan menerima,
tak mengambilnya pun tetap nikmat rasanya. Semisal kita katakan,
“Maafkan Tuan, moga berkenan memberikannya pada saudara saya yang lebih
memerlukan.” Lalu kita tahu, ia sering berjawab, “Wah, jika demikian,
kami akan siapkan yang lebih baik dan lebih berlimpah untuk Anda. Tapi
mohon tunggu sejenak.”
Betapa berbeda rasa itu, dengan jumlah
sepuluh juta yang berbentuk uang logam ratusan rupiah semuanya. Pula, ia
dibungkus dengan karung sampah yang busuk baunya. Diberikan dengan cara
dilempar ke muka, diiringi caci maki yang tak henti-henti. Betapa
sakitnya. Betapa sedihnya. Sepuluh juta itu telah hilang rasa nikmatnya,
sejak mula ia diterima.
Inilah di antara hakikat rizqi, bahwa ia
bukan soal berapa. Sungguh ia adalah nikmat yang kita rasa. Sebab
sesungguhnya, ia telah tertulis di langit, dan diterakan kembali oleh
malaikat ketika ruh kita ditiupkan ke dalam janin di kandungan Ibunda.
Telah tertulis, dan hendak diambil dari jalan manapun, hanya itulah yang
menjadi jatah kita. Tetapi berbeda dalam soal rasa, karena berbeda cara
menghulurkannya. Dan tak samanya cara memberikan, sering ditentukan
bagaimana adab kita dalam menjemput dan menengadahkan tangan padaNya.
Rizqi memiliki tempat dan waktu bagi turunnya. Ia tak pernah terlambat, hanyasanya hadir di saat yang tepat.
“Janganlah kalian merasa bahwa rizqi
kalian datangnya terlambat”, demikian sabda Rasulullah yang dibawakan
oleh Imam ‘Abdur Razzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, “Karena sesungguhnya
tidaklah seorang hamba meninggal, hingga telah datang kepadanya rizqi
terakhir yang ditetapkan untuknya. Maka tempuhlah jalan yang baik dalam
mencari rizqi, yaitu dengan yang halal dan meninggalkan yang haram.”
Jika jodoh adalah bagian dari rizqi, boleh
jadi berlaku pula kaidah yang sama. Sosok itu telah tertulis namanya.
Tiada tertukar, dan tiada salah tanggal. Tetapi rasa kebersamaan, akan
ditentukan oleh bagaimana adab dalam mengambilnya. Bagi mereka yang
menjaga kesucian, terkaruniakanlah lapis-lapis keberkahan. Bagi mereka
yang mencemarinya dengan hal-hal mendekati zina, ada kenikmatan yang kan
hilang meski pintu taubat masih dibuka lapang-lapang. Sebab amat
berbeda, yang dihulurkan penuh keridhaan, dibanding yang dilemparkan
penuh kemurkaan.
Rizqi adalah ketetapan. Cara menjemputnya
adalah ujian. Ujian yang menentukan rasa kehidupan. Di lapis-lapis
keberkahan dalam setetes rizqi, ada perbincangan soal rasa. Sebab ialah
yang paling terindra dalam hayat kita di dunia.
***
Di antara makna rizqi adalah segala yang
keluar masuk bagi diri dengan anugrah manfaat sejati. Nikmat adalah rasa
yang terindra dari sifat maslahatnya. Kasur yang empuk dapat dibeli,
tapi tidur yang nyenyak adalah rizqi. Ia dapat saja terkarunia di alas
koran yang lusuh, dan bukan di ranjang kencana yang teduh. Hidangan yang
mahal dapat dipesan, tetapi lezatnya makan adalah rizqi. Ia dapat saja
terkarunia di wadah daun pisang bersahaja, bukan di piring emas dan
gelas berhias permata.
Atau bahkan, ada yang memandang seseorang tampak kaya raya, tapi sebenarnya Allah telah mulai membatasi rizqinya.
Ada yang bergaji 100 juta rupiah setiap
bulannya, tapi tentu rizqinya tak sebanyak itu. Sebab ketika hendak
meminum yang segar manis dan mengudap yang kue yang legit, segera
dikatakan padanya, “Awas Pak, kadar gulanya!” Ketika hendak menikmati
hidangan gurih dengan santan mlekoh dan dedagingan yang lembut,
cepat-cepat diingatkan akannya, “Awas Pak, kolesterolnya!” Hatta ketika
sup terasa hambar dan garam terlihat begitu menggoda, bergegaslah ada
yang menegurnya, “Awas Pak, tekanan darahnya!”
Rasa nikmat itu telah dikurangi.
Lagi-lagi, ini soal rasa. Dan uang yang
dia himpunkan dari kerja kerasnya, amat banyak angka nol di belakang
bilangan utama, disimpan rapi di Bank yang sangat menjaga rahasia, jika
dia mati esok pagi, jadi rizqi siapakah kiranya? Apa yang kita dapat
dari kerja tangan kita sendiri dan kita genggam erat hari ini, amat
mungkin bukan hak kita. Seperti hartawan yang mati meninggalkan simpanan
bertimbun. Mungkin itu mengalir ke ahli warisnya, atau bahkan musuhnya.
Allah tak kekurangan cara untuk mengantar apa yang telah ditetapkanNya
pada siapa yang dikehendakiNya.
Rizqi sama sekali bukan yang tertulis sebagai angka gaji.
Seorang pemilik jejaring rumah makan dari
sebuah kota besar Pulau Jawa, demikian cerita shahibul hikayat yang kami
percaya, dengan penghasilan yang besarnya mencengangkan, punya
kebiasaan yang sungguh lebih membuat terkesima. Sepanjang hidupnya, tak
pernah dia bisa berbaring di kasur, apalagi ranjang berpegas. Dia hanya
bisa beristirahat jika menggelar tikar di atas lantai dingin, tepat di
depan pintu.
Rizqi sama sekali bukan soal apa yang sanggup dibeli.
Ada lagi kisah tentang seorang pemilik
saham terbesar sebuah maskapai penerbangan yang terhitung raksasa di
dunia. Armada pesawat yang dijalankan perusahaannya lebih dari 100
jumlahnya. Tetapi dia menderita hyperphobia, yakni rasa takut terhadap ketinggian. Seumur hidupnya, yang bersangkutan tak pernah berani naik pesawat.http://www.hidayatullah.com/kolom/salam-dari-salim/read/2014/09/13/29408/rizqi-kita-soal-rasa.html#.VJyCxsKAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar