Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan
Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menolak mengubah aturan batas usia
nikah perempuan dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Kesenjangan yang terlalu jauh dengan usia dewasa (baligh) menurut
ajaran Islam banyak menimbulkan kerusakan yang terjadi di dalam
masyarakat, seperti adanya perzinaan, seks bebas atau fenomena hamil di
luar nikah yang seringkali pada gilirannya menimbulkan ekses negatif
meningkatnya aborsi di kalangan remaja wanita,” kata Ketua MUI KH Amidan
Syahberah saat memberi keterangan sebagai Pihak Terkait pengujian UU
Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa dikutip Antara.
Menurut Amidan, dengan angka batas minimal 16 tahun untuk usia kawin
wanita, maka ekses-ekses negatif yang terjadi di masyarakat seperti itu
bisa diantisipasi.
“Oleh karena itu, pengaturan batas minimal 16 tahun usia perkawinan
dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tidak perlu dipermasalahkan dan tidaklah
bertentangan dengan UUD 1945,” kata Amidan.
Hal yang sama juga diungkapkan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin bahwa frasa 16 tahun bagi wanita dalam
Pasal 7 ayat (1) UU 1974 tidak perlu diubah karena sudah disetujui
pembuat UU di DPR dan para ulama di Indonesia.
Menurut Ahmad Ishomuddin pertimbangan usia nikah minimal 16 tahun
bagi wanita pertimbangannya antara lain kebebasan remaja yang luar
biasa.
“Meningkatkan batasan pernikahan menjadi 18 tahun itu mirip dengan
menunda-nunda pernikahan, sementara pernikahan merupakan solusi atau
jalan keluar dari pergaulan bebas dan perzinahan,” katanya.
Sedangkan Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Ibnu Sina
Chandranegara juga meminta majelis hakim MK untuk menolak permohonan
pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah.
“Al Quran secara konkrit tidak menentukan batas usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan,” kata Ibnu Sina.
Dia mengungkapkan batasan umur nikah berdasarkan Islam adalah sudah
cukup umur untuk menikah (baligh), yakni pikirannya telah mampu
mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Ibnu Sina mengungkapkan bahwa awal baligh secara yuridik berusia 12
tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan, sedangkan batas
akhirnya masih terdapat perbedaan di kalangan ulama.
Menurut Imam Abu Hanifah yakni mencapai usia 18 tahun untuk laki-laki
dan 17 tahun untuk wanita, sedangkan sebagian ulama Hanafiyah yaitu
apabila seorang telah mencapai usia 15 tahun bagi laki-laki dan wanita.
Pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah perempuan ini
diajukan oleh Indri Oktaviani, F.R. Yohana Tatntiana W., Dini Anitasari,
Sabaniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak
Anak (YPHA).
Mereka mengajukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi
“Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun.”
Pasal 7 Ayat (2) berbunyi, “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1)
pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain
yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.”
Pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak
praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan
perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang.
Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C Ayat (1) UUD 1945.
Pemohon meminta MK menyatakan batas usia menikah untuk perempuan minimal 18 tahun.*
http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2014/12/04/34404/ulama-tolak-ubah-aturan-batas-usia-nikah.html#.VIJDkJ520r8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar