Adapun yang bathil, digunakan untuk
kebaikan pun tetap bernilai bathil. Itu sebabnya, sebelum mengamalkan,
kita perlu tahu haq atau bathil. Meskipun kita pergunakan untuk
kebaikan, apa yang pada asalnya bathil, tetaplah tidak menghasilkan
kebaikan. Ini serupa dengan orang yang berinfaq-shadaqah dari harta yang
haram. Ia mencuri, ia korupsi, dan ia mempergunakan sebagian hartanya
untuk beramal. Meski dipergunakan untuk melakukan amal shalih, tetapi ia
tetap terhitung salah.
Maka, penting sekali mengetahui haq
ataukah bathil yang kita pelajari, termasuk untuk pengembangan diri.
Bukan bergantung pada persepsi. Haq maupun bathil ukurannya adalah
ketetapan dalam agama sebagaimana dapat kita temukan dalam nash yang
shahih, yakni Al-Quranul Kariim dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Nash sesuai
dengan pemahaman yang benar itulah dasarnya. Bukan persepsi. Bukankah
orang yang paling merugi justru karena begitu meyakini persepsinya
tentang kebenaran? Bukan menakar berdasarkan petunjuk yang haq.
Ingatlah sejenak firman Allah Ta’ala:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” (QS. Al-Kahfi, 18: 103).
Selanjutnya, firman Allah:
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi, 18: 104).
Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari
Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 104 ini? Jangan bergantung pada persepsi.
Pastikan dulu bahwa itu haq sebelum mengambil, memegangi dan
mengamalkan. Jangan pula memudah-mudahkan diri dalam mengambil apa yang
disangkakan sebagai ilmu hanya berbekal qiyas, “Seperti pisau,
tergantung kita pergunakan untuk apa. Jika kita pakai untuk memasak, ia
menjadi kebaikan. Tapi jika kita gunakan untuk menyiksa binatang, ya itu
keburukan.”
Bagaimana kita akan menganalogikan
keyakinan dengan pisau, padahal keduanya sangat jauh berbeda. Pada
keyakinan, di dalamnya sudah terdapat nilai. Sementara pisau merupakan
benda yang bersifat netral. Menyamakan keduanya bersebab gegabah
melakukan qiyas (analogi) akan menggelincirkan kepada syubhat, yakni meyakini apa yang bathil sebagai kebenaran dan kebaikan.
Sesungguhnya salah satu sumber syubhat
dalam mengikuti keyakinan, aqidah lain maupun pseudoscience adalah
karena menganggap itu semua sebagai ilmu yang teruji secara “ilmiah”.
Padahal kita perlu bedakan antara bukti (evidence) dan pembuktian (proofing). Apa yang ditunjukkan dalam pembuktian tidak berarti bukti itu ilmiah.
Dari sisi agama, keyakinan dasar yang
harus kita pegang sangat sederhana: sebaik-baik perkataan adalah
Al-Qur’an. Maka takarlah dengannya. Dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika datang
trik, teknik atau keyakinan baru, meskipun berkait dengan pengembangan
diri, periksalah apakah ia bersesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
atau tidak. Inilah yang pokok. Bukan mengagumi dan meyakini dulu apa
yang dianggap sebagai pendekatan ilmu pengetahuan modern, lalu mencari
pembenaran Al-Qur’an dan hadis.
Begitu pun menyamakan pendekatan dalam NAM (New Age Movement,
gerakan kebangkitan agama-agama bumi/pagan) dengan ilmu hukum merupakan
sikap gegabah. Sebab yang harus ditelisik dulu adalah benar salahnya.
Islam mengajarkan kepada kita untuk menakar dulu benar atau salah, baru
mengambil manfaat. Bukan menimbang manfaat dulu baru memperhatikan benar
atau salahnya sesuatu. Bukankah miras (khamr) pun Allah Ta’ala
nyatakan ada manfaatnya? Tapi Allah Ta’ala tegas mengharamkan. Begitu
pula babi, sangat banyak manfaatnya. Bahkan jika dilihat dari manfaat,
hampir seluruh bagian babi banyak manfaatnya. Tapi ia tetap haram secara
mutlak.
Berkait salah satu cabang NAM, ada yang berkata, “Jangan asal menuduh. Ini nggak pakai jin, bagaimana bisa salah?”
Tidak memakai jin bukan otomatis benar.
Pembicaraan tentang benar dan salah tidak bergantung pada penggunaan
jin. Bukankah setan itu sesat meskipun tidak mengikuti jin. Justru jin
yang akan sesat jika ikut setan. Maka, tidak pakai jin tidak serta-merta
jadi benar.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar