Rabu, 03 Desember 2014

Menjadi Kafir Tanpa Sadar (1)

Suatu ketika, Hujjatul Islam, Syeikh Ibnu Taimiyah sedang berbicara dengan kelompok penganut Bathiniyah – sebuah gerakan sufi sesat.
“Apa yang ada padamu sebenarnya Ibnu Taimiyah? Bila kami datang pada kalian, yakni Ahlus Sunnah, wibawa kami luntur, tapi bila kami pergi ke Tartar -Mongolia yang kafir itu—wibawa kami justru muncu.
Ulama penghafal Quran, yang dikenal menguasai ilmu fiqih, hadits, tafsir dan ilmu ushul ini kemudian menjawab;
“Tahukah kalian, perumpamaan antara kami, kalian dan orang-orang Tartar itu? Kami ibarat kuda-kuda berwarna putih, kalian ibarat kuda-kuda berwarna belang-belang, sedangkan orang Tartar itu ibarat kuda hitam. Jika yang belang masuk ke dalam kelompok yang hitam, maka seakan-akan berwarna putih, dan jika berkumpul dengan yang berwarna putih, maka seakan-akan berwarna hitam. Kalian masih sedikit cahaya. Jika kalian datang pada kami –orang-orang yang memiliki cahaya terbesar dan Sunnah—maka tampaklah kegelapan dan warna hitam yang ada pada kalian. Demikianlah perbandingan antara kami dan kalian, kami dan orang-orang Tartar itu.” [Orang Kafirpun Berkelas-kelas, dalam La Tahzan karya Dr ‘Aidh al-Qarni, 2003).
***
Dr. Khalid bin Abdurrahman al-Juraysi ditanya, “Apakah garis pemisah di antara kufur dan Islam? Apakah orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat kemudian melakukan perbuatan yang bertentangan dengannya masuk dalam golongan kaum Muslimin, sekalipun ia tetap shalat dan puasa?”
Ia menjawab, “Garis pemisah di antara kufur dan Islam adalah: mengucapkan dua kalimah syahadat dengan benar dan ikhlas dan mengamalkan tuntutan keduanya.
Maka barangsiapa yang terealisasi hal itu padanya maka dia seorang Muslim yang beriman. Adapun orang yang munafik, maka dia tidak jujur dan tidak ikhlas maka dia bukanlah seorang Mukmin. Demikian pula orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat dan melakukan perbuatan syirik yang bertentangan dengan keduanya, seperti orang yang meminta tolong kepada orang yang sudah meninggal di saat susah atau senang, orang yang lebih mengutamakan hukum-hukum positif (buatan manusia) di atas hukum yang diturunkan Allah, orang yang mengolok-olok Al-Qur`an atau yang shahih dari sunnah Rasulullah maka dia adalah kafir, sekalipun ia mengucapkan dua kalimah syahadat, shalat dan puasa.”
Tidak setiap Muslim adalah mukmin (orang yang beriman). Seseorang bisa saja telah berislam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, namun statusnya tidak dengan serta merta menjadi orang beriman. Bisa jadi hatinya ingkar sehingga ia termasuk ke dalam golongan orang-orang munafiq; bisa jadi hatinya tidak ingkar, namun ia termasuk ke dalam golongan orang yang banyak bermaksiat (fajir/fasiq). Bahkan, bisa jadi ia telah beriman pada pagi hari, namun pada sore hari ia melakukan suatu hal, baik itu amalan hati maupun amalan  fisik yang menyebabkan ia keluar dari Islam.
Kenyataan yang sering kita saksikan, wajah/bentuknya Muslim, tapi dia paling sering menolak syariat. KTP nya Muslim, tapi paling getol melecehkan Islam, bahkan secara tak sadar sudah teracuni paham relativisme dan liberalisme.

Seorang Muslim tidak cukup dengan pengakuan saja, tetapi harus diiringi dengan amal/perbuatan/tindakan yang diperintahkan oleh agamanya. Dengan melaksanakan hal itu, dia meningkat menjadi seorang Mukmin.
Mukmin adalah akar kata Iman artinya percaya dan amanah artinya orang dapat diberi kepercayaan. Jadi mukmin adalah orang mengatakan keimanan dengan lidahnya, diyakini dengan hatinya dan dikerjakan dengan perbuatan (dalam hal ini termasuk mengamalkan Rukun Islam yang 5 dan Rukun Iman yang 6).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS: An-Nisa’ [4]:136)
Dr Safar Hawali dan Sywikh Sulaiman Nashir Ulwan menulis buku berjudul “Al-Iman wa Nawaqidhuhu & At-Tibyan Syarhu Nawaqidhil Iman”. Buku yang diterbitkan penerbit Etoz Publishing ini diterjemahkan menjadi “Murtad Tanpa Sadar Kok Bisa?”
Menurut keduanya, ada perkara-perkara yang jika dilakukan –bahkan hanya sekedar ucapan– dapat menjerumuskan seorang Muslim ke dalam sebuah keadaan ‘murtad tanpa sadar’. Padahal murtad menyebabkan batalnya keimanan serta keislaman kita.
http://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2014/10/31/32337/menjadi-kafir-tanpa-sadar-1.html#.VH989p520r9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar