Awalnya ingin
buat helm anti peluru, tapi banyak kendala seperti harus membuat
lengkungan, kemudian merekaberalih ke rompi anti-peluru.
Mereka memilih
sabut kelapa dengan pertimbangan daya kekuatan. Dasar itu didapat
setelah melalui berbagai ujicoba. Mereka membuat beberapa prototipe.
Pertama mereka menggunakan fiber, sabut kelapa, dan plat seng. Namun
percobaan itu gagal, peluru dari anggota TNI masih bisa menembusnya.
“Sabut kelapa
kami pakai karena saat ditarik-tarik ternyata kuat. Dulu masih ada
sengnya, sekarang sudah tidak pakai. Kami juga pernah coba pakai kain
celana jeans, tapi malah berat,” kata Kevin.
Untuk uji
kualitas, dua remaja ini meminta bantuan TNI, Polisi, dan Perbakin.
Empat kali mereka mengujicobanya dan gagal semua. Semua jenis peluru
dari senjata organik, masih menembus. Hasil menjanjikan terlihat
pada percobaan kelima dan keenam. Menggunakan peluru M-1911 kaliber
0.45 inchi ditembakkan dari jarak 3 meter, ternyata peluru tersebut
mental.
“Ujicoba dengan
senjata laras pendek. Kami masih akan menyempurnakan karena saat
diujicoba dengan senjata laras panjang masih tembus. Tapi kelebihan
rompi ini tidak bisa ditembus benda tajam,” ujar Iqbal.
Pada prototipe pertama, ketebalan rompi 2,5 cm dan berat 6 kg masih tembus peluru. Namun
setelah melalui proses penyempurnaan, kini lapisan anti peluru dari
sabut kelapa itu hanya setebal 1,35 cm dan berat 3 kg untuk dua lempeng
di depan dan belakang rompi.
“Lapisannya
zigzag, jadi fiber kemudian sabut kelapa dan fibber lagi, sabut kelapa
lagi, sampai empat lapis direkat pakai resin. Lalu dipres dan dibiarkan
seharian,” kata Kevin.
Kevin dan Iqbal
berharap temuan yang mereka beri nama Stab-resistant and Ballistic Vest
Made from Coconut Fiber itu bisa dikembangkan dan bisa menahan jenis
peluru yang lebih berat. Terlebih lagi mereka ingin produk ini bisa
dimanfaatkan TNI maupun Polri.
“Saya pikir
kalau bisa diproduksi massal dengan harga yang murah, TNI dan Polri
bersedia memanfaatkan produk anak bangsa ini,” tambah Iqbal.
Rompi anti
peluru tersebut sudah diikutkan berbagai ajang perlombaaan. Di antaranya
adalah 2nd International Science Project Olympiad (ISPrO) 2014 di
Jakarta dan memperoleh medali perak, kemudian International Science
Project Olimpiade yang juga meraih medali perak, lalu di ajang
Karyacipta Teknologi Tepat Guna di Semarang menyabet juara dua.
Soal biaya
produksi, Iqbal menyebutkan tidak terlalu mahal. “Untuk biaya
produksinya sendiri cuma Rp 800 ribu,” tandasnya. Mau coba?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar