Jumat, 04 Maret 2016

Cari Uang atau Cari Rezeki? [2]

Kuncinya, jika diberi rezeki, bersyukurlah. Jika rezeki sedang seret, maka bersabarlah. Diakui, hal ini mudah diucapkan namun sulit dipraktekkan

Bertawakal, yakin kepada Allah. Percaya sepenuhnya bahwa Allah adalah Maha Pemberi rezeki. Bukan direktur, boss, komandan, petinggi, pembeli, atau siapapun itu. Mereka hanya sebagai perantara yang Allah titipkan harta. Olehnya tak perlu terlalu berlebihan memuja mereka layaknya dewa bagi orang musyrik. Usaha menjemput rezeki haruslah sepadan. Hendak meminta uang saja, apakah sopan bila kita memaksa? Tentu ada adabnya. Sama halnya dengan mencari rezeki, berbaik budi di hadapan mereka, bukan berarti lalu meninggalkan kewajiban sebagai hamba Allah.
Berikut beberapa hal yang patut diperhatikan dalam menjemput rezeki:
Pertama: Mulakan dengan hal yang baik
Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا لله إن كنتم إياه تعبدون
Hai orang-orang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 172).
Bagi orang beriman, hendaknya memperhatikan apa yang masuk ke dalam jasadnya dan apa yang dikerjakan. Rezeki yang baik hanya datang dari jalan yang baik pula. Tidak mengambil hak orang lain, menafikan kewajiban, dan lainnya yang tak sesuai dengan ajaran agama.
Kedua: Berusaha dan bekerja
Allah berfirman:
فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون
Jika telah ditunaikan shalat Jum’at, maka bertebaranlah di muka bumi dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kalian bahagia.” (QS. Al-Jumuah [62]: 10)
Berusaha dan bekerja sesuai porsinya dan berhenti bekerja ketika tiba waktu beribadah. Tidak menzhalimi tubuhnya sendiri dan tidak menzhalimi orang lain, termasuk istri, anak atau keluarga. Terkadang dalih menafkahi keluarga dan mencari penghidupan membuat orang itu lantas menghabiskan waktu sepanjang hari. Tidak memperhatikan kesehatan apalagi keutuhan keluarga. Perintah bekerja dan berusaha dalam ayat di atas bukan pula pembenaran dalam mencintai dunia secara berlebihan.
Ketiga: Bersabar dan bersyukur
Inilah kuncinya. Jika diberi rezeki, bersyukurlah. Jika rezeki sedang seret, maka bersabarlah. Diakui, hal ini mudah diucapkan namun sulit dipraktekkan. Namun itulah fungsi belajar. Sebab belajar bersabar dan bersyukur ini berlaku seumur hidup manusia, tanpa kecuali. Hatta mereka yang aktif mengaji dan berlevel ustadz juga akan terus belajar dengan dua kata kunci ini, bersyukur dan bersabar.
Keempat: Zakat, Infaq, Sedekah
Firman Allah:
قل إن ربي يبسط الرزق لمن يشاء من عباده ويقدر له وما أنفقتم من شيء فهو يخلفه وهو خير الرازقين
Dan apa-apa yang kalian infaqkan dari sebagian harta kalian, maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba [34]: 39).
Dalam ajaran Islam, harta yang dimiliki sesungguhnya adalah harta yang diinfakkan kepada orang lain. Mulailah belajar bersedekah kepada yang terdekat. Lihatlah, adakah orangtua sudah tidak kekurangan? Lalu saudara, keluarga, tetangga, dan lingkungan sekitar.
Kelima: Silaturahim
Percaya atau tidak, terkadang rezeki itu datang dengan jalan silaturahim. Umur dipanjangkan, hidup dibahagiakan, kesehatan diberikan, dan banyak lagi manfaat silaturahim tersebut. Hal ini bukan dibuat-buat, sebab Nabi yang mengajarkan demikian. Rasulullah bersabda:
Barangsiapa yang berkeinginan untuk dibentangkan rezeki baginya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturahim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Keenam: Jangan lupakan majelis ilmu
Makin sering mendengarkan pencerahan, niscaya hati kian mudah dikendalikan. Dengan  mengingat dan mendengar ayat-ayat Allah, hidup akan menjadi tenang. Di antara manfaat yang lain adalah berkesempatan hidup bersama orang-orang saleh. Hal itu akan menjadikan diri selalu terkendali. Ada yang mengingatkan kala diri lupa, menguatkan saat terjatuh, dan mengambil pelajaran atas setiap kesalahan yang pernah  dilakukan.*/Rizki N. Dyah, pegiat komunitas penulis Malika
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Cari Uang atau Cari Rezeki? [1]

Mari menjemput rezeki. Sebab Allah telah cukup membagi. Mungkin cara kita menjemput rezeki yang belum benar. Mulai dari mengabaikan adzan, melupakan doa, meninggalkan silaturahim, menafikan ridha orang tua.
 Buta Mata Tak Buta Hati: Penyandang tuna netra ini menggunakan tongkat menyusuri jalan menjemput rizki Allah.

"Zaman sekarang susah cari uang. Apa-apa serba mahal. Hidup makin susah saja rasanya,” Seorang Ibu penjaja makanan ringan menggerutu sambil mengipasi tubuhnya dengan tangan. Awalnya aku tak paham kalau ia berbicara kepadaku. “Mbak nggak susah ya cari uang? Apalagi pakaiannya seperti itu,” tatapannya seakan memberi penilaian atas busana yang kukenakan lengkap dengan niqab (cadar) yang menutupi wajahku. Kuperhatikan, kedua bola matanya bahkan hinggap sampai ke sepasang kaus kaki yang kukenakan.
Jujur, aku sama sekali tak merasa tersinggung. Kuyakini, tak ada maksud dan tendensi apapun atas pertanyaan ibu tersebut. Olehnya, aku hanya membalas dengan senyum. Kata orang, guratan senyum yang tersembunyi tetap bisa terlihat dari mata seorang perempuan.
“Rezeki itu nggak akan tertukar, Ibu. Usaha juga nggak akan berkhianat pada hasil insya Allah. Tapi ya usahanya bukan cuma ototnya saja. Tapi juga sujudnya. Alhamdulillah Ibu, saya seperti ini karena memang saya menghargai apa yang Allah berikan kepada saya. Saya merasakan bahwa Allah juga menghargai penghargaan saya atasnya. Saya berdagang, Ibu. Awalnya memang sulit. Tapi kemudahan demi kemudahan Allah berikan jalan.”
“Sudah Mbak. Saya sudah banyak amalan. Tapi hidup masih tetap seperti ini saja,” kalimat itu seakan keluar begitu saja dari mulut ibu tersebut. Lahir dari tatapan nanar mengarah pada serombongan pelancong yang berjalan santai membawa beberapa barang belanjaan. Lalu ia mengeluarkan selembar kertas yang terselip di keranjang dagangannya. Ayat sejuta dinar.
Apa yang selama ini kita cari?
Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) berfirman:
قل إن ربي يبسط الرزق لمن يشاء من عباده ويقدر له وما أنفقتم من شيء فهو يخلفه وهو خير الرازقين
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya dan menyempitkan (siapa yang dikehendakiNya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Surah Saba’ [34]: ayat 39)
Rezeki, jodoh dan maut adalah rahasia Allah. Hak mutlak dari Rabb Pemilik alam semesta. Dialah yang mengatur semua keadaan makhluk-makhluk-Nya. Begitu indah, teratur, adil, dan
bijaksana. Semuanya diciptakan berpasang-pasangan. Ada kaya dan miskin, ada laki-laki dan perempuan, ada nikmat dan musibah, dan sebagainya.
Dalam agama Islam, istilah rezeki bermakna luas. Tidak hanya berarti setumpuk uang atau materi lainnya. Terkadang manusia lupa, hanya memandang rezeki berupa segepok materi saja. Orang itu lupa bahwa hidup, nafas, sehat, lapang, senyum, bahagia, iman dan semua pemberian dari Allah, merupakan rezeki yang sangat mahal dan berharga. Ia bahkan tidak mampu terbeli dengan uang, berapapun banyaknya yang dipunyai.
Allah berfirman:
ٱلشَّيْطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِٱلْفَحْشَآءِ ۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (bakhil); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 268).
Lihatlah, sejak dini betapa sesungguhnya Allah sendiri menyatakan bahwa takut miskin (berfikir berlebihan tentang materi) adalah tipu daya setan. Zaman ini, kita berlomba-lomba mencari kehidupan. Menakar segala bentuk sukses, bahagia dan lapang, hanya dengan pendapatan, asset dan kekayaan. Mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan iman dan aqidah sebagai seorang Muslim, demi menumpuk pundi-pundi uang.
Akibatnya syukur lalu terpinggir sampingkan. Setiap waktunya hanya merasa haus dan dahaga akan sesuatu yang lebih yang belum ia punyai. Halal dan haram, teman apalagi kawan, bahkan saudara tak lagi memberi pengaruh nyata. Kini uang menjadi tujuan utama. Jangankan saat sehat, sakitpun rela melakukan apapun.
Tak ada yang salah dengan dalih mencari nafkah untuk keluarga, agar kehidupan keluarga menjadi layak dan tidak dipandang sebelah mata. Pun demikian, tak ada yang keliru jika seorang Muslim itu kaya dan berharta banyak. Hanya saja, ada beberapa hal yang patut diluruskan sehak dini. Bahwa uang itu bukan segalanya, meski biasanya semua butuh uang. Namun mari benahi, yaitu segalanya juga tidak perlu dikorbankan untuk uang.
Mari menjemput rezeki. Sebab Allah telah cukup membagi. Mungkin cara kita menjemput rezeki yang belum benar. Mulai dari mengabaikan adzan, melupakan doa, meninggalkan silaturahim, menafikan ridha orang tua, kurang berzakat dan sedekah. Jangan lupa untuk selalu bersyukur kepada Sang Pemberi rezeki..
Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw) bersabda:
“Seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya kamu diberi rezeki seperti burung diberi rezeki. Ia terbang di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang di petang hari dengan perut yang telah kenyang.” (Riwayat Ahmad). .*/Rizki N. Dyah, pegiat komunitas penulis Malika
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Menjaga Fitrah Anak dalam Keluarga

Seorang ibu memotret anak laki- lakinya yang berusia sekitar 2 tahun dengan mengenakan jilbab pink lalu meng-uploadnya ke sebuah media sosial.
Berbagai komentar lalu bermunculan. “Aduh kayak cewek yah, cantik mirip ibunya,” ada juga yang berkomentar “Sabar yah, sepertinya pengen banget punya anak cewek ya?”
Terkadang hal di atas hanya dianggap biasa oleh sebagian orangtua atau sekedar ajang lucu-lucuan saja.
Padahal demikian itu adalah awal daripada budaya permisivisme yang menjadikan segalanya serba boleh untuk dilakukan.
Lebih jauh hal itu ternyata bisa menjadi faktor adanya penyimpangan dalam fitrah seorang anak. Bahkan ia yang dianggap “lucu” dan “heboh” tadi justru dicela oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw).
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
Dari Ibn Abbas, Rasulullah Shallallau alaihi wasallam (Saw) melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari).
Sebagai orangtua, tak sepatutnya mengajari anak-anak kebiasaan yang tercela yang bisa merusak fitrah tersebut.
Justru hendaknya lingkungan keluarga, terutama orangtua menjadi benteng awal dan utama yang melindungi fitrah anak terhadap kebenaran.
Boleh jadi sebagian orang dewasa di sekitarnya berdalih hanya buat guyonan atau iseng semata, namun memori sang anak tentu saja belum mampu membedakan niat tersebut.
Mereka hanya bisa merekam bahwa perbuatan dan penampilan seperti itu dibolehkan saja oleh orangtua mereka sendiri.
Imam al-Ghazali mengingatkan:
إعلم أن الطريق في رياضة الصبيان من أهم الأمور وأوكدها والصبي أمانة عند والدين وقلبه الطاهر جوهرة نفسية سادجة خالية عن كل نفس و صورة وهو قابلة لكل ما نفش مائل إلي كلما بمال به إليه ونعود الخير وعلمه نشأ عليه وسعد في الدنيا والأخرة.
“… Ketahuilah, melatih anak-anak itu termasuk urusan penting dan menentukan. Anak kecil itu adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Hati anak yang (masih) suci itu seperti mutiara yang indah, halus, dan bersih dari setiap lukisan yang menggoresnya. Jiwa anak tersebut condong pada sesuatu yang dibiasakan kepadanya. Jika anak itu tumbuh dalam pembiasaan kepada kebaikan dan ajaran kebaikan, niscaya jiwanya tumbuh pada kebaikan dan mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.”
Belakangan ini, para orangtua kembali disentak oleh adanya dukungan sebagian manusia terhadap pegiat LGBT (Lesbian, Homoseksual, Biseks, dan Transgender).
Tentu saja fenomena ini mengerikan sebab ia merupakan perbuatan yang pernah dilaknat secara langsung kepada  kaum Nabi Luth.
Jika orangtua dan keluarga sudah acuh dan tak peduli terhadap keselamatan generasi ke depan.
Jika orang-orang dewasa hanya abai dan menganggap biasa dengan perbuatan dosa besar. Lalu kepada siapa anak-anak tersebut mencari perlindungan?
Kini saatnya, menata ulang visi dalam berkeluarga. Sebab penjagaan terhadap fitrah anak itu bermula dengan pendidikan keluarga secara benar.
Yaitu pendidikan yang mengajarkan ilmu serta adab secara integral. Ada akidah, ibadah, dan akhlak sebagai materi yang tak terpisahkan buat anak-anak generasi penerus perjuangan bangsa.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (QS. Al-Tahrim [66]: 6).*/Mujtahidah, ibu rumah tangga di Batu Kajang, Kaltim
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar