Suatu hari Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu melakukan perjalanan. Ketika tengah beristirahat, tiba-tiba
pandangannya terfokus kepada seorang anak kecil yang tengah menuruni
gurun. Ia tengah menggembala kambing. Jumlah ternak yang ia gembalakan
terbilang cukup banyak.
Terbersit dalam benak ‘Umar untuk menguji kejujuran anak tersebut, sehingga terjadilah dialog antar keduanya.
“Sudilah kiranya engkau menjual seekor ternakmu kepadaku,” tawar Umar.
“Maaf tuan, Saya hanyalah seorang budak. Dan ini semua adalah ternak
majikanku. Aku tidak berani menjualnya tanpa sepengetahuan atau izin
darinya,” jawab sang anak dengan lugas dan tegas.
“Jumlah ternak majikanmu sangat banyak. Ia tidak akan tahu hal ini.
Kalaupun ia tahu, maka sampaikan saja bahwa seekor ternaknya telah
dimangsa serigala,” lanjut Umar.
“Jika kukatakan itu, lantas dimana Allah?” jawab sang penggembala.
Mendengar jawaban dari anak tersebut, jiwa ‘Umar bergemuruh. Beliau
memeluk anak tersebut sambil berlinang air matanya. Khalifah bergelar
Amirul Mukminin ini kemudian menemui majikan sang penggembala, dan
memerdekakannya.
Kepada sang penggembala itu ‘Umar berujar, “Kata-katamu itu telah
membebaskanmu dari perbudakan di dunia. Semoga kelak kata-kata itu dapat
membebaskanmu dari siksa neraka.”
Manusia dan Amanah
Manusia dan amanah bak dua keping mata uang yang tak terpisahkan. Di
mana pun manusia dilahirkan ataupun berpijak, maka di situ pula amanah
dipikulnya. Apapun status sosialnya; pejabat atau pun rakyat jelata,
kaya atau pun miskin, kaum terpelajar ataupun mereka yang tidak
mengenyam bangku pendidikan, semua mengemban amanah. Minimal dalam skup
kecil, mereka memiliki amanah untuk menjaga diri dan keluarga mereka
dari suatu hal yang membahayakan di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
Berkaitan dengan amanah, berlaku rumus: semakin besar amanah yang diemban, maka pertanggungjawabannya semakin besar pula.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap kalian
adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa/siapa yang di
bawah kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin. Seorang laki-laki
adalah pemimpin atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin atas
rumah suaminya dan anak suaminya. Maka setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) terhadap apa
yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Karenanya pula, kita tidak bisa lari dari amanah, karena setiap
individu telah memikul amanahnya masing-masing. Terkait dengan amanah
yang bersangkutan dengan publik, seyogyanyalah kita untuk tidak
menengadahkan tangan untuk memintanya. Risikonya sangat besar. Namun
apabila dipercayai untuk memangkunya, maka jadilah sosok yang amanah
dalam menjalankannya. Sungguh, menjauhkan diri dari amanah yang
bersinggungan dengan kepentingan publik, itu lebih menyelamatkan.
Imam Abu Hanifah rahimahullah misalnya, lebih memilih untuk dipenjara
dan dicambuk hingga ratusan kali, ketimbang harus mengiyakan
permintaan khalifah Abu Ja’far Al-Manshur, untuk menjadi hakim di masa
itu. Tidak lain alasannya karena beliau menyadari posisi ini tidak
mudah. Seorang hakim acapkali melampaui batas dalam memutuskan sesuatu.
Nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdurrahman
bin Samurah radhiiyallahu ‘anhu dalam perkara amanah, patut kiranya kita
jadikan landasan dalam memangku amanah. “Wahai Abdurrahman bin
Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau
diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan
diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena
permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (HR. Bukhari).
Sayangnya, bila kita bandingkan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam di atas dengan kondisi kekinian, sungguh sangat bertolak
belakang. Jabatan kini justru jadi rebutan. Parahnya lagi, ketika
dipercaya, sebagian mereka justru berkhianat.
Amanah dan Godaannya
Rumus kedua: di mana ada amanah, di situ pasti ada godaan. Godaan
dalam mengemban amanah pasti adanya. Terlebih, bila amanah tersebut
bersinggungan dengan pihak-pihak tertentu yang hendak meraup keuntungan
pribadi. Sudah pasti mereka akan mencoba menggoda kita untuk menjadi
suksesor atau pun fasilitator tergapainya apa yang mereka inginkan.
Dari dulu keadaan ini telah terjadi. Mulai dari manusia pertama, Adam
‘alaihissalam, ini telah berjalan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam pun yang notabene sosok yang teguh dalam pendirian, bersifat
amanah terhadap apa yang dipercayakan kepada beliau, pun tidak luput
dari godaan.
Godaan itu pun beranekaragam bentuknya. Ada yang berwujud lunak,
berupa kenikmatan dunia; uang, wanita, tahta, jabatan, hingga yang
bersifat keras, yaitu ancaman keselamatan nyawa untuk diri sendiri atau
pun sanak keluarga.
Bagi siapa saja yang memangku amanah, harus siap melawan godaan ini.
Urat saraf takut dalam dirinya harus diputus. Kalau tidak, maka
tunggulah kehancuran. Betapa banyak tokoh-tokoh ternama di negeri ini,
misalnya, harus tursungkur malu di hadapan pihak berwajib akibat tidak
tahan dari godaan-godaan yang menghampirinya ketika memegang jabatan
publik. Padahal, bila ditilik dari latar belakang mereka, sungguh mereka
bukan orang “biasa-biasa”. Mereka dulunya adalah manusia-manusia
idealis lagi berprinsip. Banyak anugerah yang telah mereka rengkuh
sebagai apresiasi terhadap kontribusi mereka di bidang masing-masing.
Namun, sekali lagi, karena tidak kuat menahan badai godaan, maka
tergelincirlah mereka dari singgasana kemuliaan ke dalam jurang
kenistaan.
Hadirkan Allah
Menjadi pribadi amanah adalah harapan semua orang. Namun dalam
prosesnya itu tidak mudah. Kita butuh tameng yang super kuat, untuk
mampu mencegah godaan-godaan yang menghampiri. Belajar dari kisah
penggembala di atas, maka tameng yang paling kuat lagi akurat untuk
menghadapi segala gangguan itu adalah menghadirkan Allah Ta’ala dalam
setiap langkah kehidupan kita.
Sebagai orang beriman, kita tentu mengimani bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat al-‘Aliim
(Maha Mengetahui). Ada pun ruang lingkup pengetahuan Allah Ta’ala tidak
pernah terbatas oleh ruang dan waktu. Bahkan, apa yang termaktub dalam
benak atau terbetik dalam hati kita, Allah Ta’ala pun mengetahuinya,
sebagaimana firman-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya.” (QS: al-Qaaf: 16).
Bila konsep ini kita bawa ke ranah kehidupan sehari-hari, maka pasti
kita tidak akan gegabah dalam bertindak. Setiap kali akan melakukan
kecurangan, maka setiap waktu itu pula kita seakan melihat dengan nyata
bahwa Allah Ta’ala hadir menyaksikan kecurangan yang akan kita perbuat.
Sehingga kita pun akan malu atau takut untuk melakukan kekejian
tersebut, persis seperti yang dilakukan oleh sang penggembala, menolak
tawaran Umar bin Khathab karena meyakini bahwa Allah senantiasa
menyaksikan semua perbuatannya. Wallahu a’lamu bish-shawaab.
http://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2014/10/03/30769/ingat-amanah-ingatlah-allah.html#.VHzH5Z520r8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar