Di bawahnya tersusun aneka produk yang
sudahkosher. Bersih dan rapi, Selain di tempat perbelanjaan modern,
kosher juga terdapat di kedai-kedai, restaurant, mini market, catering,
hingga pedagang kaki lima.Begitu pentingnya kosher hingga dibentuk
club-club kosher.
Kosher bagi Yahudi Kosher dalam
terminologi Yahudi adalah makanan atau hewan yang boleh dimakan atau
dikonsumsi. Dalam penerapannya, kosher melebar ke pilihan warna, bahwa
untuk bangunan rumah, corak boleh beragam, asal putih, khususnya di
Yerusalem.
Sebutan lain dari kosher adalah kashrut, atau kasher. Sedangkan lawannya yang tidak boleh dimakan disebuttrefa atau trayfah.
Dalam Webster World University Dictionary,
disebutkan bahwa kosher atau kashrut/kasher adalah ceremonially clean;
conforming to Jewish dietary law.
Kosher dalah istilah dalam hukum tentang
makanan agama Yahudi. Sesuai dengan halakha (hukum Yahudi) suatu makanan
disebut kosher (istilah bahasa Inggris, dari istilah bahasa Ibrani
kasher, yang berarti “layak” (dalam konteks ini berarti layak untuk
dimakan orang Yahudi).
Di New York, Amerika Serikat, terdapat
tidak kurang 300 kosher di seantero tempat. Demikianpun, toko atau
tempat perbelanjaan kosher juga tersebar di negara-negara bagian di
negara Paman Sam, yang perekonomiannya dikendalikan oleh kaum Yahudi
itu.
Kosher bahkan telah merambah ke berbagai tempat di Eropa.
Perbedaan Antara Halal dan Kosher
Lalu apa perbedaan antara kosher dengan halal dalam Islam?
Bila dilihat sekilas nampak adanya
kesamaan. Kosher, kashut atau kasher, adalah suatu produk yang boleh
dimakan sedangkan trefa atau trayfah, adalah jenisproduk yang dilarang
dikonsumsi. Hal ini mirip dengan pengertian halal-haram dalam agama
Islam.
Misalnya lagi, kosher tidak menghendaki
adanya unsur babi dalam makanan dan minuman. Selain itu hewan (sapi,
kambing, domba, dll) harus disembelih dengan menggunakan pisau tajam dan
tidak boleh dimatikan dengan cara dipukul, dipelintir, atau diterkam
binatang buas.
Karena kemiripan pengertian dua istilah
itu, maka orang-orang Yahudi mempromosikan bahwa kosher foods adalah
makanan yang halal bagi Muslim. Karena sudah ada sertifikat kosher, maka
tidak perlu lagi sertifikat halal untuk produk tersebut.
Pengertian ini kemudian dikampanyekan dan
disebarluaskan ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat, konsumen kosher
foods jauh melebihi jumlah konsumen pemeluk Yahudi Ortodok, yang
menghendaki makanan kosher. Hal ini disebabkan karena kaum Muslim dan
Kristen Advent juga ikut menjadi konsumen makanan kosher.
Kaum Yahudi sangat getol memperkenalkan
kosher foods ke segenap penjuru dunia, dengan sasaran utama umat Islam.
Dengan demikian posisi tawar sertifikasi kosher semakin meningkat di
mata para produsen makanan.
Yahudi sudah membangun gagasan kosher sejak tahun 1967.
Padahal, jumlah penduduk Yahudi dunia pada
saat itu hanya 12 juta jiwa, sementara Muslim pada waktu itu sudah
mencapai 700 juta jiwa. Kini umat Islam dunia sudah mendekati angka 1,8
miliar orang.
Meski jumlah penduduknya sangat sedikit,
masyarakat Yahudi begitu kuat menekan dunia bahwa setiap makanan,
minuman, obat, dan kosmetika yang dikonsumsinya harus sudah mendapatkan
sertifikat kosher.
Mereka (masyarakat Yahudi) begitu cerewet
dan peduli terhadap kosher ini, sehingga adanya produk pangan yang tidak
bersertifikat kosher akan ditolak mentah-mentah, baik yang masuk ke
negara Israel maupun yang dikonsumsi komunitas Yahudi di berbagai
belahan dunia.
Dengan sikap kritis dan peduli inilah,
maka lembaga sertifikasi kosher dapat menekan para produsen agar
berproduksi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka
tetapkan.
Proses sertifikasi kosher ini, menurut
pengakuan para pelaku bisnis, sangatlah rumit dan berbelit-belit. Jauh
lebih kompleks dibandingkan dengan persyaratan halal yang dilakukan oleh
LPPOM MUI, misalnya.
Sebagai contoh, dalam proses penyembelihan
hewan, mereka harus mengawasi benar tata cara penyembelihan seperti
yang mereka inginkan. Bukan saja para penyembelihnya yang harus diawasi
dengan ketat, tetapi juga potongan-potongan dagingnya juga diawasi,
karena mereka tidak makan bagian-bagian tertentu dari karkas.
Masyarakat Yahudi menginginkan agar umat
Islam memakan kosher foods, tetapi mereka sendiri tidak mau mengkonsumsi
halal foods. Itu artinya kendali ekonomi dunia akan mereka kuasai,
bukan saja dalam skala makro, tapi juga yang menyangkut kebutuhan harian
orang per orang, khusus konsumen Muslim. Mereka juga berkeinginan
mempopulerkan istilah kosher dalam perdagangan internasional.
Tidak Serupa, Tidak Sama
Meskipun sekilas mirip antara halal dan
kosher, sebenarnya keduanya berbeda. Ada barang haram yang masuk
kategori kosher, sebaliknya ada juga makanan halal yang masuk dalam
kategori treyfah.
Sebutlah misalnya, anggur(wine) ia
termasuk minuman yang masuk dalam kategori kosher tetapi tidak halal.
Begitu juga semua jenis gelatin (tanpa memandang terbuat dari tulang
atau kulit hewan apa, termasuk babi) dan semua jenis keju (tanpa melihat
cara dan proses pembuatannya) termasuk kosher tapi tidak halal dalam
Islam.
Daging tetap kosher, meskipun proses penyembelihannya tidak menyebutkan nama Allah (Jehovah Elohim). Mereka
berkeyakinan bahwa tidak pantas menyebut nama Tuhan yang Suci di tempat penyembelihan hewan yang kotor (rumah potong hewan).
berkeyakinan bahwa tidak pantas menyebut nama Tuhan yang Suci di tempat penyembelihan hewan yang kotor (rumah potong hewan).
Perbedaan tersebut membawa implikasi yang
sangat luas dalam konteks makanan halal. Produk-produk yang mengandung
gelatin bisa saja dianggap sebagai makanan kosher. Demikian juga minuman
yang mengandung alkohol seperti wine, yang oleh ajaran Islam
jelas-jelas haram, di kalangan Yahudi masih diperbolehkan dengan kadar
tertentu.
Di sisi lain, ada juga makanan yang halal
dan thayib menurut Islam, tetapi tidak kosher menurut Yahudi. Contohnya
adalah kelinci, unggas liar, ikan yang tidak bersirip atau bersisik,
kerang, dan tidak boleh makan daging bersama susu kecuali waktu makannya
terpisah. Selain itu potongan-potongan daging tertentu, meskipun dari
hewan yang halal, juga dianggap tidak kosher.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa
halal berbeda dengan kosher foods milik Yahudi. Keduanya berangkat dari
landasan filosofis dan ideologis yang berbeda. Yang menjadi pertanyaan
adalah, bagaimana mendorong pasar/konsumen Muslim yang lebih optimis
terhadap produk-produk halal yang nilainya terus meningkat di seluruh
dunia?*/
[Diambil dari Majalah Suara Hidayatullah Edisi Khusus Halal-Haram Juli 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar