Minggu, 30 November 2014

Kawal ABG Kita dengan Doa

ORANGTUA mana yang tak bingung, kecewa bahkan mungkin sangat menyesal, kala melihat anak-anaknya yang tumbuh dewasa tak sesuai harapan?
Tentu seperti drama di sebuah film dimana suara petir menggelegar memekakkan telinga dan menyesakkan dada. Sangat kecewa.
Muncul berbagai macam pertanyaan dalam diri; mengapa semua ini terjadi; apa dosa yang telah dilakukan; mengapa anak-anak bersikap demikian jauh mengecewakan dan lain sebagainya.
Akan tetapi, sebagai Muslim kita harus cerdas melihat kenyataan yang mengecewakan itu dengan berbaik sangka kepada Allah. Prinsipnya adalah tak satu pun hal terjadi melainkan atas idzin-Nya. Dan, segala ketidakbaikan yang kita lakukan adalah berasal dari diri manusia sendiri.
Mungkin dengan kejadian tersebut Allah ingin kita melakukan intropeksi diri, apakah selama ini memang benar-benar mendidik anak secara utuh atau hanya menyandarkannya pada sekolah dan tidak begitu peduli dengan pergaulannya. Atau mungkin kita terlalu memanjakannya dengan memberikan kepercayaan tanpa kontrol memadai.
Terlepas dari kondisi apapun, sebagai orangtua eloknya tak terjebak pada apa yang terjadi. Tetapi dengan bersegera merapatkan diri kepada Allah Taala, manfaatkan senjata dari-Nya, yakni doa.
Pernah suatu kejadian seperti diurai di atas menimpa sebuah keluarga. Tidak saja kecewa yang menjelma, cemoohan dari tetangga dan saudara juga menerpa hari-harinya. Kondisi tersebut sangat memukul hatinya.
Beruntung, keluarga itu bersepakat mengatasi masalah yang berat itu dengan mendekatkan diri kepada Allah. Kejadian itu menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya tak punya daya dan selama ini telah tidak tepat dalam mendidik anak-anaknya.
Tiap malam suami istri itu bangun qiyamul lail (shalah tahajjud), sembari menguatkan asa kepada Allah akan pertolongan-Nya untuk bisa mengubah sifat-sifat tidak patut anak-anaknya. “Allah Maha Kuasa lagi Maha Mengabulkan Doa,” itulah yang diasah setiap saat.
Tidak sekedar doa, pasangan itu juga menggiatkan dirinya dalam amal sholeh, utamanya infak dan shodaqoh serta menyantuni anak-anak yatim. Itu dilakukan dengan sangat antusias dan berharap Allah berkenan mengabulkan doanya, mengubah watak dan sikap anak-anaknya.
Hingga bertahun-tahun lamanya, doa dan amalan di atas tetap dilakukannya secara sungguh-sungguh. Hingga akhirnya, melalui suatu peristiwa tak terduga, anaknya mengalami suatu kecelakaan lalu lintas setelah frustasi dengan pilihannya yang ternyata salah. Semua keluarga tentu berduka, tetapi siapa sangka, justru dari peristiwa duka itulah sang anak berubah menjadi anak yang sholehah.
Anaknya yang awalnya tak berhijab, langsung mau berhijab, tekun sholat, mulai gemar mengaji, bahkan sangat rajin membantu orangtua dan saudara-saudaranya yang dalam kesulitan.
Anak itu 180 derajat berubah menjadi Muslimah. Semua orang heran, terkejut bahkan ada yang tidak percaya. Tetapi itu nyata di depan mata. Dan, semua nyaris tak bisa berkata apa-apa, kala Muslimah baru itu dilamar pria sholeh yang aktif dalam kegiatan dakwah.
Peristiwa itu memaparkan kuasa luar biasa Allah Taala kepada kita semua betapa doa, amal sholeh dan harapan yang tak pernah putus kepada-Nya bemar-benar akan dikabulkan oleh-Nya.
Sesuai dengan firman-Nya;
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186).
Dengan demikian, jauhi sifat putus asa, meskipun akal kita mengatakan mustahil. Sebab, bagi Allah tak ada yang tidak mungkin. Tinggal kita sendiri bersegera untuk berdoa dan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya secara ikhlas. Jika itu kita lakukan, insya Allah pertolongan-Nya akan menghampiri kita, dan itu pasti, karena itu adalah janji-Nya. Wallahu a’lam.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2014/08/12/27105/kawal-abg-kita-dengan-doa.html#.VHvfWZ520r8 

Bahagia Merawat Anak dengan Tangan Sendiri

GENERASI unggul yang hadir dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia tidak pernah lahir tanpa pengasuhan orang tuanya sendiri, terutama ibu. Imam Syafi’i, tumbuh menjadi ulama lintas zaman karena didikan ibunya yang luar biasa. Demikian pula dengan Imam Bukhari, perawi hadtis terpercaya itu juga tumbuh dalam perawatan langsung ibunya sendiri.
Bahkan di dalam Al-Qur’an, Nabi Musa juga memiliki ketangguhan mental berkat cinta kasih ibunya. Pun demikian halnya dengan Nabi Ismail yang memiliki ketaatan luar biasa, semuanya karena peran orang tuanya sendiri, utamanya sang ibu, Siti Hajar.
Namun, kini peran penting dan strategis ini tidak menjadi pilihan favorit banyak kaum hawa. Kebutuhan ekonomi telah menjadi alasan kuat para orang tua, baik ayah dan ibu terjun semua ke dunia kerja. Bahkan, tidak jarang karena alasan kerja, banyak anak dititipkan kepada kakek dan nenek, sebagian malah menitipkannya di penitipan anak (baby care).
Melelahkan
Merawat anak dengan tangan sendiri memang sangat melelahkan, demikian pengakuan seorang ibu tiga anak yang merupakan sarjana pendidikan dari sebuah universitas pendidikan di Bandung.
Akan tetapi fakta yang dihindari banyak kaum hawa itu justru menjadikan dirinya tertantang untuk bisa menikmati merawat tiga anaknya sendiri. Lelah baginya adalah sebuah mahar untuk masa depan anak-anaknya.
“Merawat anak dengan tangan sendiri memang sangat melelahkan, apalagi ketika anak sudah lebih dari satu dan dua. Lelahnya memang sangat luar biasa, bukan fisik semata, tetapi juga pikiran dan perasaan. Terlebih kala semuanya menangis dengan permintaan yang berbeda-beda. Tetapi inilah mahar yang harus dibayar oleh seorang ibu untuk masa depan putra-putrinya,” jelasnya.
Fisik menjadi lelah karena anak yang belum mengerti, sehingga sering kali menghamburkan apa pun yang dilihatnya menarik untuk dijadikan mainan. Akibatnya rumah tidak pernah bersih dan rapi. “Nah kalau sudah seperti itu, otomatis harus dibersihkan lagi, bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali” terangnya.
Namun, rasa lelah itu sekejap terbayar kala melihat senyum anak-anak. Kadang teringat juga kelak mereka akan menjadi penerus perjuangan. Hanya saja, kala sudah sangat lelah, lebih baik istirahat dengan mengajak anak bermain, meskipun rumah kadang masih berantakan. Jika tidak demikian, maka emosi akan cenderung negatif.
Istirahat dan bermain bersama anak adalah cara terbaik untuk menstabilkan emosi, sehingga energi positif kembali terhimpun dan kembali bisa digunakan untuk merawat anak di masa-masa berikutnya.
Harapan
Demikianlah sekelumit cerita hari-hari seorang ibu merawat tiga anak yang masih balita semua. Penuh tantangan untuk bisa mengendalikan diri. Setiap hari harus bisa sabar, lemah lembut dalam merawat anak-anaknya.
Namun demikian, di balik interaksi yang menguras energi, pikiran dan perasaan dalam merawat anak itu, seorang ibu akan memiliki harapan yang lebih besar terhadap masa depan anaknya.
“Kala anak-anak tertidur semua, seketika muncul harapan yang begitu besar di dalam hati agar Allah menjadikan mereka anak-anak yang sholeh-sholehah dan memiliki kemampuan tertentu yang menjadikannya bermanfaat bagi kehidupan umat di masa depan,” ucapnya.
“Kala harapan itu muncul, rasa cinta juga semakin kuat, bahkan rasanya ikatan batin ini dengan anak-anak semakin tak terpisahkan. Ada perasaan bahagia yang tak bisa terucapkan. Sangat membahagiakan, meski itu masih sebuah harapan,” imbuhnya.
Manivestasi Iman
Dalam konteks merawat dan mendidik anak, tugas ini sebenarnya bukan semata tugas naluriah kemanusiaan, lebih dari sekedar apa pun, merawat anak dengan penuh kesungguhan dan pengorbanan adalah manivestasi dari iman.
Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim [66]: 6).
Jika dalam masa balita saja seorang ibu harus demikian lelah, maka kala dewasa, mungkin fisik sudah tidak menjadi tantangan. Tetapi, moral dan spiritual sungguh tak bisa dikendalikan hanya dengan intruksi, butuh keteladanan.
Keterlibatan yang intensif seorang ibu dalam merawat dan mendidik anaknya sejak dini dengan tanganya sendiri akan memudahkan tugas-tugas berikutnya seorang ibu dan ayah dalam mengarahkan akhlak anak.
Dari sini dapat kita lakukan pendekatan logika, mengapa Nabi Ismail begitu taat kepada ayah dan ibunya dalam hal ibadah kepada Allah Ta’ala? Ternyata itu semua terjadi tidak lain karena sejak lahir, balita, anak-anak dan remaja, Nabi Ismail tidak pernah dididik, kecuali oleh ibunya sendiri.
Hal inilah yang belakangan diungkap oleh seorang professor psikologi perkembangan Amerika Serikat, Thomas Lickona, bahwa tumbuh kembangnya intelektual dan moral setiap anak lahir dari rumah mereka sendiri. Artinya, tidak mungkin akan muncul generasi unggul dari rumah yang anak-anaknya tidak mendapat hak pendidikan yang benar dari kedua orangtuanya.
Implementasi Cinta
Selain manivestasi iman, merawat anak dengan tangan sendiri merupakan implementasi cinta. Demikian disampaikan oleh Thomas Lickona dalam bukunya Character Matter.
“Sejumlah studi menunjukkan pentingnya kasih sayang orang tua untuk pertumbuhan kesehatan anak-anak. Cinta membuat anak merasa aman, signifikan, dan berharga. Ketika anak-anak merasa dicintai, mereka menjadi terikat secara emosional kepada orangtua. Keterikatan itu membuat mereka lebih responsif terhadap otoritas dan menerima nilai-nilai yang diajarkan orangtua,” tulisnya.
Lebih dari itu, Lickona menegaskan bahwa cinta kepada anak itu berarti menghabiskan waktu dengan anak-anak. Artinya, sehari semalam, sangat ideal orang tua, utamanya ibu senantiasa ada di samping anak-anak.
Dalam konteks ini, maka apa yang Allah tegaskan di dalam friman-Nya agar kaum hawa tidak keluar dari rumah kecuali penting, bermakna lebih kompleks, karena kaum ibu harus konsentrasi dan bersungguh-sungguh merawat dan mendidik anak-anaknya di rumah. Bukan malah yang lainnya.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 33).*
http://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2014/06/12/23207/bahagia-merawat-anak-dengan-tangan-sendiri.html#.VHvfCJ520r8

Wahai Ayah, Bermainlah Bersama Anak-Anakmu

SEORANG ayah memang memiliki tanggung jawab nafkah bagi keluarga, sehingga wajar jika umumnya para ayah sangat sedikit memiliki waktu di rumah. Apalagi yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan lainnya. Tentu selain sedikit, mungkin kondisi fisik kala di rumah sudah sangat lelah.
Namun demikian, seorang ayah tidak boleh terbawa keadaan. Ada satu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan yang dipesankan Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam, terutama ketika anak-anak masih balita. Yakni bermain bersama anak-anak.
Sekalipun terkesan sederhana, jika tidak disadari dengan baik, seorang ayah akan sangat kecil kemungkinan mengagendakan waktunya bermain bersama anak-anak. Padahal, bermain bersama anak-anak, terutama kala balita sangat baik untuk menguatkan hubungan bathin antara ayah dan anak.
Tauladan Rasulullah
Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam sendiri di tengah kesibukannya memimpin umat masih menyempatkan waktu untuk bermain bersama anak-anak.
Suatu riwayat menyebutkanRasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam menyuruh Abdullah, Ubaidillah, dan lain-lain dari putra-putra pamannya Al-Abbas Radhiyallahu anhu, untuk berbaris lalu berkata, “Siapa yang terlebih dahulu sampai kepadaku akan aku beri sesuatu (hadiah).”
Anak-anak itu pun bergegas berlomba-lomba menuju beliau, kemudian duduk di pangkuan Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam, lalu Rasulullah menciumi mereka dan memeluknya.
Dengan demikian para ayah jangan sampai tidak mengagendakan waktunya untuk bermain bersama putra-putrinya. Tidak mesti ke taman bermain sebagaimana umumnya orang melakukannya. Cukup di rumah saja; dengan bermain kuda-kudaan, kejar-kejaran atau pun sekedar berjalan-jalan di sekitar rumah sambil mengenalkan anak pada lingkungan sekitar.
Mengubah Emosi
Selain itu, bermain bersama anak bisa mengubah emosi anak. Misalnya, seorang anak marah karena mainannya dipinjam oleh adik atau kakaknya. Kemudian dia menjadi rewel dan mencari perhatian. Dalam kondisi itu bermain bisa membuat emosi anak berubah seketika.
Ajak saja anak untuk berlari-lari, atau bersama anak masuk dalam selimut untuk menutup badan bersama. Atau dengan bermain apa yang disukai sang anak, insya Allah anak akan segera terpancing untuk ikut bermain dan merelakan apa yang sebelumnya membuatnya tidak nyaman.
Tidak Monoton
Seorang ayah yang memiliki kebiasaan bermain dengan anak-anaknya akan memiliki kemampuan komunikasi yang luwes, sesuai dengan tabiat anak-anak. Tidak kaku sebagaimana orang dewasa. Hal ini tentu akan sangat menyenangkan hati anak-anak.
Seperti yang Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam lakukan ketika memanggil Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. “Nabi Shallallahu Alayhi Wasallam memanggilku : ‘Wahai pemilik dua telinga’ (HR Ahmad dalam al-Musnad 3/127, Abu Dawud dalam sunannya no. 4994, at-Tirmidzi dalam sunannya no. 2059).
Di sini tentu sangat menarik apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam. Bagaimana cara beliau bermin-main dengan bercanda dengan memanggil Anas dengan sebutan ‘pemilik dua telinga.’
Tentu panggilan semacam itu sangat aneh dan mengundang kelucuan, sebab bagaimana mungkin Anas tidak memiliki dua telinga.
Namun, kala dewasa ternyata dari candaan ringan itu Anas Radhiyallahu Anhu benar-benar mampu menggunakan telinganya sebagai alat penerima pesan penting dari apa yang Rasulullah ucapkan. Jadi, tidak heran jika Anas menjadi sahabat yang termasuk banyak meriwayatkan hadits.
Jika para ayah mau meluangkan waktu bermain bersama anak-anaknya, insya Allah anak-anak tidak akan merasa ‘gerah’ apalagi sampai tidak betah berada di rumah. Ia akan senang dan nyaman di rumah bersama ayah yang suka mengajaknya bermain.
Dan, dalam kondisi seperti itu, insya Allah anak lebih siap mendengar nasehat dan lebih bisa merasuk dalam qalbunya. Seperti yang Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam teladankan kepada Anas Radhiyallahu Anhu. Jika demikian, kenapa tidak kita lakukan? Wallahu A’lam.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2014/09/02/28567/wahai-ayah-bermainlah-bersama-anak-anakmu.html#.VHvdCZ520r8

Mendulang Pahala di Dalam Rumah

TAK seperti masa lajang, sebagai ibu yang memiliki tanggung jawab terhadap rumah, suami, dan anak, tentu rasanya sulit sekali mendapatkan waktu yang cukup untuk ibadah di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga.
Bagaimanapun, tugas-tugas rumah adalah sebuah kemuliaan bagi seorang wanita.
Di bawah ini ada beberapa tips mudah untuk mengatur waktu bagaimana menyelipkan amalan ibadah ke dalam aktivitas sehari-hari kita.
Pertama; yakinkan diri bahwa setiap hal yang Anda kerjakan sebagai Ibu rumah tangga dihitung pahala di sisi Allah Subhanahu Wata’ala.
Tugas bagi seorang muslimah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam dalam hadits berikut:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang Imam (pimpinan) adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang khadim (pembantu) adalah pemimpin pada harta tuannya (majikannya), dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (Bukhari dan Muslim)
Pentingnya menjaga suami kita –baik itu berupa membuatkannya makanan, menyenangkan hatinya dengan menjaga rumah tetap bersih dan rapi atau mendidik anak-anak dengan baik- juga dijelaskan secara spesifik di dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, bahwasanya seorang wanita datang kepada Rasulullah untuk suatu urusan, lalu Rasulullah bertanya, “Apakah kamu punya suami? Wanita itu menjawab,”Ya”. Rasulullah berkata,”Perhatikan di mana posisimu terhadap suami. Sebab pada suami itu ada surgamu dan nerakamu.” (HR. Ahmad)
Ketaatan istri pada suami adalah jaminan surganya. Dari Abu Hurairah RA., Rasulullah bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Kedua hadits di atas menyemangati kita sebagai wanita untuk giat beribadah, menunjukkan bahwa kita akan mendapatkan pahala yang melimpah hanya dengan merawat suami, rumah, dan anak-anak kita dengan baik.
Kita tidak perlu lagi berlelah-lelah “mencari” ibadah mana yang memiliki pahala yang tinggi! Ingat baik-baik hadits ini, dengan memulai hari berniat dalam hati bahwa “Ya Allah, semua amalan baik yang saya lakukan untuk rumah kami dan keluarga adalah karena-Mu dan untuk mendapatkan ridha-Mu semata.”
Niat seperti ini akan membantu kita mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan ikhlas dan senang, karena kita paham bahwa hal tersebut dihitung sebagai ibadah!
Kedua, melantunkan dzikir, mendengar ceramah, atau Al-Quran menjadi teman Anda ketika mengerjakan tugas rumah.
Berzikir atau mendengar lantunan Al-Qur’an adalah cara yang efektif untuk membuat Anda tetap waspada dan aktif! Selain itu, ia juga bisa mengusir kebosanan dengan rutinitas pekerjaan rumah sehari-hari dan pastinya juga akan mendapat pahala yang besar dari Allah setiap harinya.
Ketiga, membacakan cerita para Nabi dan Shahabat pada anak dan mengajari mereka Al-Qur’an.
Terkadang, sebgian dari kita sering merasa, “Jangankan mengajar anak sendiri membaca Al-Qur’an, diri sendiri saja masih terbata-bata mengeja huruf Arab!.”
Perasaan seperti ini akhirnya menjadi penghalang terbesar kita dari mengajari anak-anak kita sendiri! Padahal, Ibu adalah madrasah pertama anak-anak kita. Jadikan kekurangan yang Anda punya sebagai penyemangat Anda untuk mempelajari agama ini dengan lebih baik lagi! Lakukanlah semampu yang Anda bisa, seperti membacakan mereka surat-surat pendek, melantunkan nasyid yang berisi shalawat atau kalimat-kalimat thayyibah seperti SubhanaAllah, Alhamdulillah, Laa ilaah illa Allah, Allah Akbar.
Membacakan mereka kisah Rasulullah dan shahabat sebagai pengantar tidur mereka. Hal ini penting, karena dengannya, akan timbul di dalam diri anak kita rasa cinta terhadap agama ini, Allah dan Rasul-Nya. Sehingga ketika mereka beranjak dewasa, nilai-nilai kebaikan berkembang dalam jiwa mereka. Ini adalah karunia dari Allah dan juga metode yang bagus untuk membuat hubungan keluarga semakin dekat.
Keempat, manfaatkan teknologi.
Meski banyak sekali fitnah di Facebook, YouTube, dan smartphone, saya percaya bahwa hanya dengan ponsel, kita bisa tetap update informasi dan berita keIslaman selamat 24 jam setiap harinya! Dengan smartphone, Anda bisa:
Memanfaatkan YouTube yang bermanfaat untuk mendapatkan ceramah islami terbaru langsung dari smartphone di manapun dan kapanpun Anda inginkan.
Bergabung dengan grup atau memberi like halaman Facebook Islami, sehingga halaman beranda kita akan dipenuhi catatan nasehat, kutipan Al-Qur’an dan Hadits, berita mengenai saudara kita yang seiman di seluruh dunia, link situs atau video yang bermanfaat setiap harinya.
Download aplikasi Al-Quran dan hadits, jadi Anda bisa membacanya kapan saja.
Simpan file pdf dan mp3 yang berisi ceramah, ilmu agama seperti fiqih praktis, dan yang sejenisnya ke dalam smartphone Anda, jadi tidak perlu repot-repot lagi membawa laptop.
Semoga beberapa tips di atas dapat membantu para Ibu sekalian untuk mendapatkan pahala di sisi Allah Subhanahu Wata’ala.
Perlu diingat, bahwa tujuan utama dari semua amalan kita di dunia ini diperuntukkan hanya untuk Allah, yang dengannya kita, in syaa Allah akan meraih pahala dan ridha-Nya. Allahu a’lam.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2014/10/20/31598/mendulang-pahala-di-dalam-rumah.html#.VHvdyJ520r8

7 Syarat Wanita Halal Bekerja di Luar Rumah

Banyak wanita pada zaman sekarang lebih memilih untuk berada di luar rumah, alasannya beragam ada dari mereka yang karena terpaksa, ada yang karena keadaan atau kebutuhan, bekerja dan ada yang sebaliknya mereka senang berada di luar rumah.
Padahal Al Qur’an telah mengajarkan kepada para wanita untuk senantiasa tetap berada di dalam rumahnya kecuali ada alasan atau keperluan mendesak yang diperbolehkan oleh syariat dan mendapat izin keluarga atau suami bagi yang sudah menikah dengan memperhatikan batasan-batasan seperti:
• Tidak keluar sendirian apalagi suka pulang larut malam
• Kalaupun keluar sendiri senantiasa pandai melihat kondisi yang tidak membahayakan dirinya
• Berpakaian rapi dan sopan (menutup aurat).
• Tidak memamerkan perhiasan yang bisa mengundang tindakan kriminal
• Tidak berlebihan dalam bersolek dan dalam memakai wangi-wangian
• Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
• Memperhatikan batasan pergaulan dengan lawan jenis dan menjaga prilaku
• Bertutur kata yang bijak/sopan guna menghindari fitnah dari lawan jenis
• Bersikap secara proporsional sehingga bisa menjauhkan dirinya dari tindakan yang kurang menyenangkan dari lawan jenis.
• Dan yang paling penting adalah berusaha menjaga kehormatan diri serta keluarganya.
Allah Ta’ala berfirman
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“..dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS: Al Ahzaab : 33).
Jika kita perhatikan secara seksama banyak fenomena yang sering kita lihat dan pemberitaan negatif yang sering kita dengar menimpa kaum hawa, hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya lebih banyak mudharat/efek negatif yang akan menimpa wanita jika bekerja di luar rumah dibandingkan dengan manfaatnya, antara lain:
Sering terjadinya kemungkaran, seperti;
  • Bercampur dengan lelaki, berkenalan, bebas mengobrol dan bertatap muka dengan yang diharamkan,
  • Memakai minyak wangi berlebihan, tak jarang banyak yang memperlihatkan aurat kepada selain mahramnya, sehingga bisa menyeret pada kasus perselingkuhan dan perzinahan.
  • Kurang bisa melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik atau maksimal.
  • Keluar dari fitrahnya dengan meremehkan urusan rumah tangga yang seharusnya menjadi bidangnya wanita.
  • Mengurangi hak-hak anak dalam banyak hal, sepert ; dalam kasih sayang, perhatian, pendidikan agama dan lain sebagainya.
  • Membuat cepat lelah dan penat fisik serta pikiran sehingga bisa mempengaruhi jiwa serta syaraf yang tidak sesuai dengan tabiat wanita.
  • Mengurangi makna hakiki tentang kepemimpinan suami dalam rumah tangga di hati wanita.
  • Hasratnya tertuju pada pekerjaan, sedangkan jiwa, pikiran dan perasaannya menjadi sibuk, lupa dan bertambah jauh dari tugas-tugasnya yang alami, yaitu keharusan membina kehidupan suami istri, mendidik anak-anak dan mengatur urusan rumah tangga.
Tabiat dan kepribadian wanita sejatinya memiliki kekhususan tersendiri sebagaimana dijelaskan oleh nabi dalam hadistnya. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Al Bukhari )
Syarat Bekerja di Luar Rumah
Wanita boleh saja bekerja di luar rumah. Namun dengan syarat masih dalam koridor yang dibolehkan oleh syariat. Yang jadi masalah adalah saat wanita ingin disamakan kewajibannya seperti laki-laki bahkan melebihi kewajiban para lelaki, lebih menjadi masalah lagi jika kaum wanita lebih senang berada di luar rumah karena kepuasan dan kesenangan pribadi.
Wanita tetaplah wanita dan janganlah melupakan kerajaan kecilnya, yaitu rumahnya, karena disitulah letak fitrah bagi dirinya.
Diperbolehkan bagi wanita untuk bekerja akan tetapi harus dengan ketentuan atau syarat-syarat yang harus diperhatikan dan dipenuhi, seperti :
  • Ada izin dari wali (suami atau orangtua/keluarga),
  • Tidak memiliki keluarga atau tidak memiliki suami,
  • Pekerjaannya harus halal, (bukan pekerjaan yang syubhat apalagi haram),
  • Menjaga kehormatan diri baik saat berada di dalam rumah maupun ketika bekeja di luar rumah,
  • Tidak ada percampuran bebas antara lelaki dan wanita, tidak bertabarruj (bersolek berlebih-lebihan dan tidak menampakkan perhiasan),
  • Tidak memakai pakaian yang ketat atau melanggar aturan berpakaian bagi wanita dalam ajaran Islam, bekerja bukan karena kesenangan pribadi dan kepentingan keluarga tetap menjadi prioritas,
  • Jenis pekerjaannya tidak mengurangi apalagi melanggar kewajibannya dalam rumah tangga, seperti kewajiban terhadap suami, anak-anak dan urusan rumah tangganya.
Ali radiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Fatimah radiyallahu ‘anha putri Rasulullah. “Wahai Fatimah, apakah yang baik bagi seorang wanita?” Fatimah menjawab, “Hendaknya ia tidak melihat lelaki (asing/yang bukan mahramnya) dan lelaki (orang lain) tidak melihatnya.”
Allah berfirman dalam Al-Quran;
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّلاَبَائِهِنَّ
“Hendaknya wanita tidak menampakkan kecantikan (perhiasan)-nya kecuali yang boleh tampak dari dirinya. Hendaknya wanita tidak menampakkan kecantikan (perhiasan)-nya kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka.” (QS: an-Nur [24]: 31).
Semoga dengan zaman seperti ini, para wanita dan Muslimah bisa bekerja di luar rumah seperti apa yang disampaikan Aisyah dan Al-Quran.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/jendela-keluarga/read/2014/10/30/32257/7-syarat-wanita-halal-bekerja-di-luar-rumah.html#.VHvc7Z520r8

Tak disebut Dalil di Kitab Imam Malik, Bukan berarti tak Berdalil

PADA akhir April 2012 lalu di Nouakchott Mauritania, sekelompok orang yang disebut-sebut sebagi pendukung organisasi IRA dipimpin oleh Biram Walid Abidi sengaja membakar kitab-kitab madzhab Maliki di tempat terbuka setelah shalat Jumat. Yang ikut dibakar pada waktu itu disamping Al Mudawwanah yang ditulis oleh Imam As Suhnun yang berisi pendapat Imam Malik bin Anas juga sejumlah kitab-kitab lainnya seperti Hasyiyah Ad Dasuki ala As Syarh Al Kabir karya Imam Ad Dasuki serta Syarh Khalil, Syarh Ibnu Asyir serta Syarh Al Akhdhari.

Biram Walid Abidi menyebutkan  alasan pembakaran itu bahwa kitab-kitab itu merupakan hasil pemikiran manusia, bisa benar dan bisa salah berbeda dengan Al-Qur`an dan As Sunnah.
Aksi yang membuat para pelajar Islam melakukan protes itu ditanggapi oleh para ulama Mauritania yang dipimpin oleh Dr. Syeikh Abdullah Bin Bayah, mereka pun menyatakan bahwa pemisahan antara fiqih dengan Al-Quran serta As Sunnah akan membangun subhat bahwa fiqih tidak mengandung Al-Qur`an dan As Sunnah atau bahkan bertentangan dengan keduannya, padahal tidaklah demikian.
Dan opini itu sendiri bisa menyebabkan kaum awam meremehkan kitab-kitab madzhab beserta para ulamanya, sebagaimana dilansir hidayatullah.com (13/05/2012).
    Memprihatikan: Kitab-kitab madzhab Maliki yang dibakar
Memprihatikan: Kitab-kitab madzhab Maliki yang dibakar
Demikian juga hakikat fiqih madzhab, tidak perlu dipertentangkan dengan sumbernya yakni As Sunnah, karena As Sunnah merupakan sumber dari fiqih madzhab para ulama muktabar. Karena ushul madzhab Maliki sendiri menegaskan posisi As Sunnah sebagai sumber dalam pengambilan hukum.
Ibnu Rusyd ulama besar Malikiyah menyebutkan bahwa Syariat diambil dari 4 dasar, Al-Qur`an kemudian As Sunnah, ijma’ serta qiyas. (lihat, Muqaddimat, 1/26-27)
Tidak adanya dalil dalam sejumlah kitab Imam Malik dan Madzhab Maliki bukan karena tidak memiliki dalil, tapi karena metode pembukuan yang ditempuh, yakni metode tajrid (pengosongan dari dalil) itu dianut oleh sebagian ulama Malikiyah karena beberapa faktor. Pertama, karakter Imam Malik yang amat ketat dalam periwayatan hadits, dan kehati-hatian beliau dalam berfatwa serta kewibawaan beliau. Sifat-sifat Imam Malik itu menjadikan murid-murid beliau memandang ketsiqahan Imam Malik, hingga mereka menerima fatwa-fatwa Imam Malik dan tidak perlu lagi mempertanyakan dalil.
Faktor kedua, kembali kapada metode Imam Malik dalam menyampaikan ilmu dimana beliau membagi majelis menjadi dua, pertama untuk periwatan hadits yang kedua membahas khusus masalah fatwa. Untuk Majelis hadits Imam Malik tidak menghadiri kecuali dengan mandi dan memakai wangi-wangian dengan pakaian bagus dalam rangka mengagungkan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sedangkan untuk menyampaikan fatwa beliau keluar dengan penampilan apa adanya (Al Madarik, 2/14-15). Dari hal itu bisa disimpulkan bahwa Imam Malik dalam menyampaikan fatwa tidak menyertakan dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam, karena jika beliau menyampaikan hadits maka beliau pun bersuci dan memakai wangi-wangian serta pakaian bagus, namun beliau dalam hal ini tidak melakukannya.
Dampaknya, kitab-kitab yang membukukan pendapat dan fatwa Imam Malik semisal Al Mudawwanah, yang merupakan Al Umm-nya madzhab Maliki, baik yang disusun oleh Imam As Suhnun atau Asad tidak banyak menyebutkan dalil. Dan metode tajrid ini yang memperngaruhi penulisan kitab-kitab Malilkiyah selanjutnya.
Metode Ta’shil
Namun meski demikian, bukan berarti semua kitb Madzhab Maliki tidak berdalil, banyak pula para ulama menyebutkan dalil dalam kitab mereka yang disebut sebagai metode ta’shil, yakni mengembalikan seluruh masalah kepada asalnya alias dalilnya. Ini yang banyak ditempuh oleh para ulama Maliki di Iraq, karena di wilayah itu ramai dengan perdebatan dan situasi demikian menjadikan mereka perlu untuk menunjukkan dalil. Jika para ulama yang menempuh metode tajrid (pengosongdan dalil) merujuk kepada kitab-kitab fatwa dan pendapat Imam Malik yang dibukukan oleh para murid beliau semisal Al Mudawwah, maka para ulama yang menempuh metode ta’shil (pengembalian masalah kepada dalil) merujuk kepada Al Muwaththa’ Imam Malik.
Al Muwaththa’ Sebagai Dasar Madzhab Maliki
Al Muwaththa’ sendiri yang disebut sejumlah ulama sebagai kitab hadits shahih yang paling awal (lihat, Risalah Al Mustatharrifah, hal. 6), merupakan hasil dari jerih payah Imam Malik yang menjadi panutan ulama madzhab Malikiyah. Dan Al Muwaththa’ disamping berisi hadits-hadits namun berisi ijtihad ulama Ahlul Madinah juga ijtihad Imam Malik sendiri. Imam Malik menyampaikan mengenai Al Muwaththa`, ”Di dalamnya mengandung hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam , perkataan sahabat dan tabi’in dan pendapatku dan aku kadang menyatakan dengan pendapatku dan ijtihadku dan atas apa yang aku ketahui dari ahlul ilmi negeri kami (Madinah) dan aku tidak keluar dari mereka.” (Al Madarik, 2/73)
Dan posisi Al Muwaththa’ dalam madzhab Malikiyah adalah landasan dalam mengambil kesimpulan hukum. Al Hafidz Abu Bakr bin Al Arabi Al Maliki menyampaikan mengenai Al Muwaththa’,  ”Sesungguhnya ini merupakan kitab pertama yang ditulis dalam syariat Islam dan dia juga yang penghabisan, karena tidak ada kitab yang ditulis yang setaraf dengannya, dimana Malik Radhiyallahu anhu membangunnya dengan memulai pada pokok untuk cabangnya dan beliau memperingatkan sebagian besar ushul fiqih yang kembali kepadanya masalah-masalahnya dan cabang-cabangnya.” (Al Qabas, 1/75)
Hanya sebagai contoh dan belum mencakup seluruhnya, kitab-kitab madzhab Maliki yang menyebutkan dalil antara lain Al Mabsuth dan As Syuf’ah karya Qadhi Ismail, Syarh Mukhtashar Al Kabir karya dan Syarh Risalah Ibnu Abi Zaid karya Abu Bakr Al Abhari, Al Isyraf dan Al Mu’awwanah serta Syarh Al Mudawwanah karya Qadhi Abdul Wahhab, Al Majmu’ah karya Ibnu Abdus, Thuraz Al Majalis karya Ibnu Huraiz Al Azdi, Bayan wa At Tahshil Al Jami’ li Masa’il wa Al Mukhtalithah dan Al Muqadimat Al Mumhidat karya Ibnu Rusyd (kakek), Bidayah Al Mujtahid karya Ibnu Rusyd (cucu), At Tamhid dan Al Istidzkar karya Ibnu Abdil Barr, Syarh At Talqin karya Imam Ali Bin Umar Al Maziri, Tahdzib Al Masalik fi Nushrah Madzhab Malik karya Ibnu Dunas Al Maghribi, Adz Dzkahirah karya Imam Al Qarrafi dan Manahij At Tahsil oleh Ibnu Said Ar Rajraji.
Lebih dari itu, para ulama muhadditsun Malikiyah juga mentakhrij hadits-hadits dalam kitab-kitab fiqih mereka. Beberapa contoh kitab yang berkonsentrasi dalam bidang ini antara lain Al Hidayah fi Takhrij Ahadits Al Bidayah karya Al Muhaddits Ahmad bin Shiddiq Al Ghumari, Takhrij Al Ahadits Al Waridah fi Al Mudawwanah oleh Syeikh Thahir Muhammad Ad Dardiri, Al Ithaf bi Takhrij Ahadits Al Isyraf oleh Syeikh Badawi Abdushamad Thahir Shalih, Takhrij Ahadits Kifayah Ath Thalib Ar Rabani oleh Abu Araki As Syeikh Abdul Qadir, Takhrij Ahadits Hasyiyah Ash Shafthi oleh Dr. Umar Ma’ruf dan kitab-kitab takhrij lainnya.
Dan kedua metode penulisan, baik ta’shil maupun tajrid sendiri tidaklah saling menafikan, keduanya malah saling menguatkan madzhab Maliki. Untuk karya yang menganut metode tajrid berkonsentrasi mengenai validitiasi periwayatan pendapat Imam Malik dan madzhab sedangkan karya yang menganut metode ta’shil memperkuat fiqih Malikiyah dari segi dalil.
Walhasil, fiqih madzhab Maliki bersumber dari As Sunnah yang ditunjukkan dengan ushul madzhab Maliki serta kitab-kitab madzhab yang menyertakan dalilnya. Sedangkan kitab-kitab yang tidak menyertakan dalil juga tidak menjukkan bahwa fiqih madzhab Maliki tidak berdasarkan dalil, namun karena ia ditulis dengan metode yang berbeda dan konsentrasi pada validitas periwayatan pendapat Imam Malik dan madzhab. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/03/28/19020/tak-disebut-dalil-di-kitab-imam-malik-bukan-berarti-tak-berdalil.html#.VHvUYJ520r8 

Pilih Ijtihad, Tarjih atau Taqlid?

MUSLIM di mana saja, di sepanjang sejarah ada yang malas menuntut ilmu, sehingga ia tetap berada dalam alam kebodohan. Ada yang berusaha untuk keluar dari alam kebodohan ini dengan menuntut ilmu. Dari orang-orang yang memiliki kesadaran ini, ada yang memiliki kemampuan tinggi, kesempatan dan kesungguhan ada yang memiliki kesempatan terbatas, kemampuan terbatas. Hasilnya dari para penuntut ilmu itu pun Allah menganugarahi kadar ilmu dan kemampuan yang berbeda-beda.
Mujtahid Mutlak
Mereka yang memperoleh tingkatan paling tinggi dalam dunia keilmuan, khususnya berkenaan dengan syariat disebut sebagai mujtahid mutlak, atau mufti mustaqil (independen) Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab.  Mereka tidak hanya memiliki produk pemikiran yang berupa fiqih, tapi mereka juga menciptakan metode dalam menggali hukum-hukum syariat dari dalilnya. Orang-orang khusus ini semisal Imam Madzhab 4 serta ulama mujtahid mutlak lainnya, semisal Al Auza’i, At Tsauri, Al Laits juga 4 al Khulafa’ ar Rasyidun.
Mujtahid Madzhab
Selanjutnya tingkatan di bawah mujathid mutlak adalah mujtahid madzhab atau mujtahid mutlak ghairu mustaqil (tidak independen), yakni ulama yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam pendapat atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena masih mengikuti metode ijithad imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Mereka meski tidak bermadzhab kepada hasil ijtihad imam, namun mereka masih mengikuti metode imam karena tidak mampu menciptakan metode sendiri sehingga mereka masih berada dalam lingkupan madzhab.
Ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi. Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dalam madzhab Hanafi, ulama yang sampai dalam tingkatan ini adalah Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang merupakan murid Imam Abu Hanifah. (lihat,  Syarh ‘Ala Jami’ As Shaghir Al Laknawi, 1/7)
Dalam madzhab Maliki ulama yang sampai pada derajat ini adalah Imam Ibnu Qasim dan Asyhab. Sebagaiamana sebelumnya Imam As Syafi’i, Ibnu Qasim dan Asyhab sama-sama menjadi murid Imam Malik, namun Imam As Syafi’i naik kemampuannya menjadi mujtahid mutlak dengan metode tersendiri, sedangkan kedua teman beliau posisinya adalah mujtahid madzhab dalam madzhab Maliki. (lihat, Nail Ibtihaj, hal. 441)
Dalam Madzhab Hanbali yang menyatakan sampai pada derajat ini adalah Qadhi Abu Ali Al Hasyimi juga Qadhi Abu Ya’la. (lihat, Sifat Al Fatwa, Ibnu Hamdan, hal. 17)
Ashab Al Wujuh
Di bawah para ulama mujtahid madzhab ada ulama ashab al wujuh, yakni mereka yang taqlid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disimpulkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi. (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53)
Dalam madzhab Hanafi, Abu Bakr Al Jashas digolongkan dalam kelompok ini. (lihat, Syarh Al Laknawi li Al Jami’ As Shaghir, 8/1)
Mujtahid Tarjih
Golongan ini juga disebut sebagai mujtahid fatwa, termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Dalam madzhab As Syafi’i, mereka yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi (lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
Dalam madzhab Hanafi, para ulama yang masuk dalam tingkatan ini adalah Imam Al Qaduri.
Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)
Ibnu Hajar Al Haitami,  Imam Ar Ramli  termasuk kelompok mufti muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan pendapat-pendapat para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Ibnu Hajar Al Haitami sendiri merupakan ulama muta’akhhirin rujukan pengikut Syafi’iyah Hijaz, Yaman, Syam, India serta Indonesia sedangkan Imam Ar Ramli merupakan rujukan Syafi’iyah Mesir.
Ulama di Atas Mufti Muqallid Harus Menguasai Ilmu yang Dimiliki Mufti Muqallid
Dalam tingkatan keilmuan, para mufti muaqallid adalah ulama yang tingkatan kemampuannya paling rendah. Otomatis para ulama yang berada di atas tingkatan ini menguasai telah menguasai ilmu para mufti muqallid, sebagaimana disebutkan oleh Imam An Nawawi bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barangsiapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Nah, untuk sampai kepada kelompok yang paling akhir ini, yang kemampuannanya setaraf, atau sedikit di bawah Ibnu Hajar Al Haitami atau Imam Ar Ramli yang keduanya adalah faqih muhaddits perlu mujahadah yang luar biasa.
Dan dengan kemampuan kita kini, kita tinggal melihat posisi kita dalam tingkatan para pununtut ilmu di atas, apakah satu kelas dengan Imam As Syafi’i dan ulama mujtahid mutlak lainnya, atau sekelas Imam Al Muzani, atau Imam An Nawawi atau setaraf dengan Imam Ar Ramli yang merupakan ulama muqallid.
Nah, apakah kita mau ijtihad secara independen, atau berijtihad dalam madzhab, tarjih, atau memilih taqlid? Semuanya membutuhkan kemampuan dan mujahadah yang amat luar biasa, lebih-lebih sampai pada tingakatan ijtihad.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/04/16/19998/pilih-ijtihad-tarjih-atau-taqlid.html#.VHvUYJ520r8

“Hadits Shahih Madzhabku”, Ditujukan kepada Mujtahid

MASYHUR dan shahih periwayatan dari Imam As Syafi’i, bahwa beliau telah menyatakan,  ”Jika kalian melihat dalam kitabku menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam maka tinggalkanlah perkataanku”, atau angkapan yang semakna dengannya, ”Jika telah shahih sebuah hadits, maka ia adalah madzhabku”. Para ulama mujtahid, semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam As Syafi’i juga menyatakan hal yang semakna dengan apa yang telah  disampaikan oleh Imam As Syafi’i.
Namun, apakah itu bermakna bahwa siapa saja ketika mengetahui hadits shahih maka ia bisa mengatakan, ”Ini adalah madzhab As Syafi’i”, lalu ia mengamalkan makna dzahir dari hadits itu? Ternyata tidak demikian.
Para ulama mu’tabar telah menjelaskan maksud dari pernyataan para imam mujtahid tersebut serta menetapkan kriteria siapa yang memiliki kapasitas dalam menilai bahwa pendapat Imam telah bertentangan dengan hadits shahih, sehingga perlu didahulukan hadits shahih tersebut daripada pernyataan sang Imam?
Kapasitas dalam Menilai Pendapat Imam untuk Dihadapkan dengan Hadits Shahih
Dalam hal ini, Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan, bahwa beberapa ulama besar As Syafi’iyah melakukan hal ini, yakni berfatwa dengan hadits ketika melihat bahwa pendapat madzhab berselisihan dengan hadits. Semisal dari mereka adalah Imam Al Buwaithi, Abu Qasim Ad Dariki serta Abu Hasan Ath Thabari (lihat, Adab Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 53).
Kemudian Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan bahwa mereka yang melakukan hal ini tidaklah banyak dan beliau menyampaikan, ”Hal ini bukanlah perkara yang remeh, tidak setiap faqih mudah baginya independen dalam mengamalkan apa yang ia pandang sebagai hujjah dalam hadits”. (lihat, Adab Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 54)
Dari para ulama yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Shalah, diketahui bahwa yang mampu melakukan hal ini adalah mujtahid madzhab.
Imam An Nawawi juga menjelaskan,”Hal ini, apa yang dikatakan As Syafi’i,  bukan bermakna bahwa siapa saja yang melihat hadits shahih dia mengatakan,’ini adalah madzhab As Syafi’i’, dan mengamalkan dzahirnya. Dan sesungguhnya hal ini bagi siapa yang sampai pada derajat ijtihad dalam madzhab”. (Al Majmu’, 1/105)
Selanjutnya, Imam An Nawawi menyampaikan,”Dan syaratnya dalam prasangkanya didominasi bahwa As Syafi’i-semoga Allah merahmatinya-belum mengetahui hadits tersebut atau belum mengetahui keshahihannya. Hal ini tidak lain setelah mentela’ah kitab-kitab As Syafi’I seluruhnya demikian juga kitab-kitab para pengikutnya yang mengambil darinya juga yang semisal dengan kitab-kitab tersebut. Dan syarat ini sulit, sedikit orang yang memiliki sifat tersebut.” (Al Majmu’, 1/105)
Perlunya syarat itu menurut Imam An Nawawi, dikarenakan Imam As Syafi’i  sengaja meninggalkan pengamalan dhahir hadits yang beliau mengatahuinya dan itu cukup banyak. Hal itu dikarenakan beliau memperoleh dalil yang menunjukkan kecacatan,  naskh, takhsis atau melakukan takwil padanya. (lihat, Al Majmu’, 1/105)
Sedangkan pengetahuan Imam As Syafi’I yang menyeluruh mengenai hadits hukum, Ibnu Huzaimah yang merupakan hafidz hadits yang juga seorang faqih yang telah mengkaji pendapat-pendapat Imam As Syafi menyatakan,”Aku tidak mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam masalah halal dan haram yang tidak dicantumkan As Syafi’i dalam kitab-kitabnya”. (lihat Al Majmu, 1/105)
Dengan demikian, amat kecil kemungkinan ada hadits yang terlewat dari kajian Imam As Syafi’i. Namun meski demikian tetap ada upaya koreksi terhadap pendapat Imam madzhab yang telah dilakukan oleh para ulama derajat yang sampai pada mujtahid madzhab, seperti masalah tatswib, rajih dalam madzhab adalah Sunnah, dikarenakan adanya dalil shahih, meski bertentangan dengan pendapat jadid Imam As Syafi’i.
Kritik terhadap Ulama yang Tidak Tepat dalam Menerapkan Pernyataan Imam As Syafi’i
Para ulama menyebutkan sejumlah ulama yang menerapkan kaidah Imam As Syafi’i di atas, namun kurang tepat dalam pelaksaannya. Diantara adalah Ibnu Al Jarud yang menyampaikan, ”Telah shahih hadits mengenai batalnya puasa orang yang membekam dan yang dibekam. Maka aku berkata, ’As Syafi’i menyatakan, ’telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam’”. Para ulama pun menyanggah pendapat Ibnu Al Jarud, karena Imam As Syafi’i telah mengetahui hadits tersebut dan sengaja meninggalkannya, karena menurut beliau hadits itu mansukh. (lihat, Al Majmu’, 1/105)
Hal yang sama terjadi pada Abu Al Walid An Naisaburi, ulama madzhab As Syafi’i  yang mengikuti pendapat Ibnu Al Jarud dalam masalah berbukanya orang yang dibekam dan yang membekam. Para ulama Syafi’iyah pun menyanggah beliau sebagaimana menyanggah Ibnu Al Jarud. Menurut Imam As Subki, hal itu terjadi karena keterbatasan upaya mereka dalam melakukan pengkajian (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi, hal. 95).
Hal serupa terjadi pada Abu Al Hasan Al Karaji, yang meninggalkan qunut Shubuh dengan argumen, ”Telah shahih hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meninggalkan qunut shubuh”.  Imam As Subki sempat meninggalkan qunut shubuh karena pendapat tersebut. Namun setelah mengetahui bahwa yang ditinggalkan dari qunut waktu Shubuh dan di luarnya adalah berdoa atas qabilah Ri’l dan Dzakwan, sedangkan doa qunut Shubuh secara mutlak ada haditsnya, beliau pun kembali berqunut. As Subki pun menyampaikan, ”Tidak ada sedikitpun permasalahan hal itu dengan pernyataan As Syafi’i, dan sesungguhnya keterbatasan menimpa kita dalam sejumlah pandangan”. (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi, hal. 95)
Jika para ulama besar terkadang kurang tapat, karena keterbatasan dalam upaya melakukan kajian dalam menerapkan pernyataan Imam As Syafi’i, bagaimana dengan kita yang alim pun tidak, faqih pun bukan mujtahid apalagi, yang menyeru untuk mengoreksi pendapat Imam As Syafi’i dan meninggalkannya, dengan alasan bahwa madzhab As Syafi’i adalah hadits shahih.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/05/29/22287/hadits-shahih-madzhabku-ditujukan-kepada-mujtahid.html#.VHvUZp520r8 

“Hadits Shahih Madzhabku”, Bukan untuk yang Belajar dari Terjemahan

PARA ulama mu’tabar telah menjelaskan makna dan maksud pernyataan Imam As Syafi’i, “Hadits Shahih adalah madzhabku”, juga menetapkan kapasitas siapa yang mampu melaksanakan pesan tersebut, yakni para mujtahid madzhab.  Al Hafidz Ibnu Shalah telah menulis pembahasan ini dalam Adab Al Mufti wa Al Mustafi, demikian pula murid beliau Imam An Nawawi dalam muqadimah Al Majmu’, juga Imam Al Mujtahid Taqiyuddin As Subki menulis risalah khusus mengenai hal ini, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi. (baca, “Hadits Shahih Madzhabku”, Ditujukan kepada Mujtahid)
Jika di atas adalah para ulama Syafi’iyah, tidak ketinggalan para ulama madzhab lainnya juga menjelaskan apa maksud pernyataan itu ketika disampaikan oleh imam madzhab mereka. Dalam hal ini, para ulama madzhab Hanafi juga menjelaskan siapa yang memiliki kapasitas dalam mengoreksi pendapat Imam Abu Hanifah untuk dihadapkan dengan hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, yakni Imam Ahmad Ridha. Untuk masalah ini, ulama madzhab Hanafi yang berasal dari India ini menulis Fadhl Al Mauhibi fi Ma’na idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi.
Dalam risalah tersebut ulama yang dijuluki sabagai mujadid abad 13 H ini memaparkan sejumlah tahapan kemampuan yang harus dikuasai bagi siapa yang hendak mengoreksi pendapat Imam untuk dihadapkan dengan hadits. Karena ini berkenaan dengan pengetahuan terhadap hadits shahih sekaligus madzhab, maka ada sejumlah syarat tersebut berkenaan dengan penguasaan terhadap ilmu keduanya.
Jika diringkas dari pandangan ulama yang memiliki lebih dari 50 karya dalam berbagai disiplin ilmu ini, ada dua syarat dalam melaksanakan pesan Imam Abu Hanifah tersebut. Pertama, telah sampai pada pengetahuan pelaku bahwa hadits tersebut belum sampai kepada imam. Kedua, pelakunya menguasai secara sempurna mengenai hukum rijal, matan hadits serta metode dalam berhujjah dan mengambil kesimpulan hukum dari metodologi madzhab. Dan untuk sampai pada syarat ke dua, ada 4 hal yang harus dikuasai:
1.  Penguasaan terhadap ilmu rijalul hadits secara terperinci dan mendetail.
2. Telah mentelaah dengan mendalam matan-matan hadits yang berada dalam kitab-kitab hadits secara sempurna dan menyeluruh. Dalam hal ini Imam Abu Hatim Ar Razi menyampaikan, ”Kita tidak akan sampai dalam pengetahuan terhadap hadits- hadits hingga kita menulis 60 variannya, dan setelah itu memungkinkan bagi pelakunya untuk menghukumi bahwa hadits itu syadz, munkar, ma’ruf, mahfudz, marfu’ mauquf, fard atau masyhur.
3. Mengetahui ilal khafiyah, yakni perkara-perkara yang mencacati hadits meski dhahir hadits terlihat selamat. Masuk kepada tingkatan ini para huffadz besar semisal Imam Al Bukhari.
4. Memiliki kemampuan dalam ijithad. Hanya dengan 3 kemampuan sebelumnya dalam ilmu hadits, belum mencukupi seseorang untuk sampai pada tingkatan ini. Sebab itulah Imam Sufyan bin Uyainah, yang merupakan guru dan Imam As Syafi’i dan Imam Ahmad serta guru dari para guru Imam Al Bukhari dan Muslim menyampaikan, ”Hadits-hadits itu penyesat, kecuali bagi para fuqaha’”.
Selanjutnya Imam Ahmad Ridha menjelaskan bahwa seseorang yang mencapai tingkatan ke empat ini  ia menguasai bahasa Arab dengan cabang-cabangnya secara sempurna, menguasai dalil Al-Qur`an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat dan fuqaha baik yang terdahulu maupun setelahnya, serta menguasa metodologi pengambilan hukum.
Ketika sampai pada tingakatan ke empat ini, barulah seseorang bisa mengoreksi pendapat Imam untuk dihadapkan dengan hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Imam Ahmad Ridha merujuk hal ini kepada pernyataan Syeikh Al Islam Zakariya Al Anshari menyampaikan, ”Janganlah sekali-kali kalian tergesa-gesa mengingkari dan menyalahkan pendapat seorang mujtahid kecuali setelah kalian menguasa seluruh dalil-dalil syar’i, menguasai seluruh cabang bahasa Arab yang mana syariat terkandung di dalamnya serta pengetahuan kalian terhadap makna-maknanya…”
Dan menurut Imam Ahmad Ridha ulama yang mereka yang telah mencapai derajat ini, tidak lain adalah mujtahid madzhab semisal Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah, dimana Yahya bin Ma’in berkata mengenai beliau, ”Shahib al-Hadits, shahib as sunnah”.
Bukan untuk Mereka yang Hanya Belajar Hadits Melalui Terjemah
Selanjutnya, Imam Ahmad Ridha yang kumpulan fatwanya Al Athya An Nabawiyah fi Al Fatwa Ar Ridhawiyah mencapai 10 jilid ini setelah menjelaskan syarat-syarat di atas, beliau menegaskan bahwa apa yang dimaksud para ulama madzhab Hanafi ketika mereka menegaskan perlunya mengikuti hadits dan meninggalkan pendapat Imam jika bertentangan dengannya, hal itu berlaku bagi yang memiliki keahlian, ”Bukan orang-orang primitif yang tidak memiliki keahlian yang membaca terjemahan berbahasa Urdu dari Al Bukhari, At Tirmidzi, Al Misykat lantas mereka menilai bahwa mereka muhadditsun. Atau sejumlah orang yang mengklaim bahwa madzhab para imam menyelisihi hadits, dalam rangka mencegah manusia untuk taklid kepada para imam namun mewajibkan mereka untuk percaya kepada sejumlah menusia di abad ini.”
Kesimpulannya, para ulama baik Syafi’i maupun Hanafi sepakat bahwa maksud dari pernyataan dari Imam As Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, ”Jika hadits telah shahih maka ia  adalah madzhabku”, ditujukan kepada para ulama mujtahid madzhab.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/06/09/22943/hadits-shahih-madzhabku-bukan-untuk-yang-belajar-dari-terjemahan.html#.VHvV75520r9 

Ahlul Hadits “Ahlul Madzhab”

ANTARA fiqih madzhab empat dan huffadz serta muhadditsin tidak bisa dipisahkan satu sama lain, lebih-lebih dipertentangkan, karena keduanya saling menguatkan. Di mana para hufadz hadits juga merupakan pengikut dari madzhab fiqih yang ada.
Musnad Imam Madzhab Empat
Para Imamnya madzabnya sendiri baik Imam Ibnu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafi’i serta Imam Ahmad sama-sama memiliki periwayatan hadits musnad. Imam Abu Hanifah memiliki musnad Abu Hanifah yang dikumpulkan oleh Al Hafidz Abu Muhammad Al Haritsi. Imam Malik memiliki Al Muwaththa’. Sedangkan Imam As Syafi’i memiliki Al Umm yang disamping merupakan kitab fiqih juga kitab hadits yang beliau riwayatkan, juga Musnad As Syafi’i yang dikumpulkan oleh Imam Al Muhaddits Abu Al Abbas Al Asham. Sedangkan Imam Ahmad juga memiliki musnadnya yang masyhur.
Madzhab Fiqih Penulis Kutub As Sittah
Para penulis kitab hadits yang masyhur, yakni Kutub as Sittah (kitab 6) pun diidentifikasi oleh para ulama mengenai madzhab fiqih yang dianut. Imam Al Bukhari, menurut pendapat masyhur beliau bermadzhab Syafi’i, Imam Tajuddin As Subki memasukkan Al Bukhari dalam Thabaqat As Syafi’iyah di mana beliau adalah murid Imam Al Humaidi ulama besar Syafi’iyah.
Pendapat fiqih beliau banyak yang sejalan dengan madzhab Syafi’i meskipun tidak sedikit yang menyelesihi. Oleh sebab itu pendapat beliau yang menyelisihi madzhab tidak dihitung sebagai pendapat dalam madzhab As Syafi’i. (lihat Al Inshaf, hal. 86, Ad Dihlawi)
Namun ada pula yang berpendapat bahwa beliau adalah mujtahid mutlak semisal Al Allamah Al Kasymiri, di mana beliau berpendapat jika Al Bukhari dinilai pengikut madzhab Syafi’i karena guru beliau dan pendapat beliau, maka Al Bukhari juga berguru kepada Ishaq bin Rahuyah yang menurut beliau bermadzhab Hanafi. Adapun masalah fiqih banyak juga yang selaras dengan fiqih Hanafi. Meski Al Kasymiri tidak menampik bahwa memang pendapat masyhur adalah bahwa Al Bukhari pengikut madzhab As Syafi’i. (Lihat, Faidh Al Bari, 1/53)
Imam Nasa’i dan Abu Dawud menurut Ibnu Taimiyah merupakan penganut madzhab Al Hanbali, namun ada pihak lain yang menyebut bahwa keduanya Syafi’i. Sedangkan Imam At Tirmidzi bermadzhab As Syafi’i di mana pendapat beliau secara terang-terangan tidak menyelesihi madzhab kecuali masalah Al Ibrad. Adapun Imam Muslim dan Ibnu Majah tidak diketahui madzhab fiqih beliau. Sedangkan bab yang berada dalam Shahih Muslim bukan dari penulisnya, sehingga tidak diketahui pendapat fiqih beliau. (Lihat, Faidh Al Bari, 1/53)
Namun Ad Dihlawi menilai bahwa Imam Muslim bermadzhab As Syafi’i, dan beliau memiliki jalur madzhab Syafi’i sendiri semisal Abu Al Abbas Al Asham. Dan beliau menilai bahwa Imam At Tirmidizi termasuk mujathid dalam madzhab Ahmad bin Hanbal. (lihat Al Inshaf, hal. 86)
Para Huffadz Madzhab Empat
Madzhab empat sendiri di dalamnya amat banyak para huffadz hadits. Dimualai dari madzhab Imam Abu Hanifah, sebagian hufadz hadits dalam madzhab ini antara lain Al Hafidz Abu Bishr Ad Dulabi, Al Hafidz Abu Ja’far Ath Thahawi, Al Hafidz Ibnu Abi Al Awwam As Sa’di, Al Hafidz Abu Muhammad Al Haritsi, Al Hafidz Abdul Baqi, Al Hafidz Abu Bakr Ar Razi Al Jashas, Al Hafidz Abu Nashr Al Kalabadzi, Al Hafidz Abu Muhammad As Samarqandi, Al Hafidz Syamsuddin As Saruji, Al Hafidz Quthb Ad Din Al Halabi, Al Hafidz Alauddin Al Mardini, Al Hafidz Az Zaila’i, Al Hafidz Mughulthai, Al Hafidz Badruddin Al Aini, Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha. Syaikh Anwar Zahid Al Kuatsari dan Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menyebutkan 150 ulama hufadz dan muhadits madzhab Hanafi (lihat, Fiqh Alhul Iraq wa Haditsuhum, hal. 60-82).
Sedangkan dalam madzhab Maliki sendiri pengikutnya yang merupakan hufadz hadits antara lain Al Hafidz Hussain bin Ismail Al Qadhi, Al Hafidz Al Ashili, Al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Al Hafidz Abu Walid Al Baji, Al Hafidz Ibnu Al Arabi, Al Hafidz Abdul Haq, Al Hafidz Qadhi Iyadh, Al Hafidz Al Maziri, Al Hafidz Ibnu Rusyd, Al Hafidz Abu Qashim As Suhaili dan lainya.
Adapun dalam madzhab As Syafi’i para hufadznya antara lain adalah Al Hafidz Ad Daraquthni, Al Hafidz Al Baihaqi, Al Hafidz Ibnu Asakir, Al Hafidz Ibnu Daqiq Al Ied, Al Hafidz Ad Dimyathi, Al Hafidz Al Mundziri, Al Hafidz Taqiyuddin As Subki, Al Hafidz Al Mizzi, Al Hafidz Adz Dzahabi, Al Hafidz Ibnu Katsir, Al Hafidz Al Haitsami, Al Hafidz Al Iraqi, Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Hafidz As Suyuthi dan lainnya.
Dalam madzhab Hanbali, para hufadz haditsnya antara lain Al Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi, Al Hafidz Ibnu Al Jauzi, Al Hafidz Ibnu Qudamah, Al Hafidz Abu Barakat Ibnu Taimiyah, Al Hafidz Ibnu Rajab dan lainnya.
Catatan ringkas ini hanya merupakan sampel saja, masih amat banyak para hufadz yang berada dalam madzhab empat, lebih-lebih para muhadits-nya yang tidak memungkinkan ditulis semua dalam kesempatan ini. Jika, demikian sekali lagi, kita tidak perlu berpayah-payah memisahkan antara ahlul fiqih dan ahlul hadits, antara madzhab empat dengan Sunnah, apalagi mempertentangkan keduanya. Karena keduanya memang sudah mendarah-daging. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/02/20/16850/ahlul-hadits-ahlul-madzhab.html#.VHvVbp520r_ 

Perintah Penguasa Kalah dengan Perintah Yang Maha Kuasa

QADHI YUNUS AL WARA’ merupakan seorang hakim Mesir yang memiliki sifat wara’. Dimana ia terpaksa menduduki jabatan sebagai hakim, makan dari gandum yang ditanam di lahan warisan dari saudaranya serta minum dari sumur warisan kakek- buyutnya.
Dikisahkan bahwa suatu saat penguasa memerintahkan kepadanya,”Dengarkan perkataan si fulan dan kesaksiannya.”
Maka Qadhi Yunus pun menjawab,”Sudah aku dengar perkataannya dan aku tolak kesaksiannya.”
Penguasa pun membalas,”Aku memerintahkanmu, sedangkan engkau menentangnya?!”
Qadhi Yunus pun menjawab,”Telah memerintahkan siapa yang perintah-Nya tidak bisa ditentang, ‘Dan  persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian’, sedangkan ini tidak demikian!” (Murshid Az Zuwar, hal. 606)
http://www.hidayatullah.com/kajian/hikmah/read/2014/12/01/34151/perintah-penguasa-kalah-dengan-perintah-yang-maha-kuasa.html#.VHvTzZ520r-

PM Davutoglu kepada Pejabatnya: Jangan Biarkan Mereka Mencium Tanganmu

Para pejabat Turki tidak boleh lagi membiarkan warga masyarakat mencium tangan mereka, demikian perintah Perdana Menteri Ahmet Davutoglu. Sayangnya, tak lama kemudian Davutoglu justru melanggar larangannya itu sendiri.
Hal itu dikatakan Davutoglu ketika berbicara dalam kongres provinsi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Sabtu (29/11/2014) dilansir Hurriyet.
“Sebagai perdana menteri, saya katakan bahwa ini perintah bagi seluruh pejabat negara: Tak seorang pun yang akan membiarkan warga masyarakat mencium tangannya lagi,” kata Davutoglu.
Namun sayangnya larangan itu justru kemudian dilanggar oleh Davutoglu.
Seorang pria mendekati Davutoglu untuk memberikannya selamat setelah mantan menteri luar negeri itu berpidato. Orang tersebut mencium tangannya, sementara perdana menteri Turki itu tidak terlalu memperhatikan.
Mencium tangan orang yang lebih tua atau memiliki jabatan tinggi sebelum meletakkannya ke kening merupakan simbol penghormatan dalam budaya Turki.
Seruan Davutoglu agar para pejabat negara tidak membiarkan tangannya dicium itu merupakan tanggapan atas kritikan ketua Partai Gerakan Nasionalis (MHP) Devlet Bahceli, yang menentang insiatif pemerintah untuk melakukan rekonsialisasi politik dalam masalah pembantaian tahun 1937-1938 di Provinsi Tunceli. Bahceli, yang menyebut kejadian-kejadian sebelum pembantaian itu sebagai pemberontakan, mengecam rencana rekonsiliasi Davutoglu, yang berkunjung ke Tunceli belum lama ini.
Bahceli mengecam rekonsiliasi itu dengan mengatakan bahwa keputusan itu merupakan “pengkhianatan” dan bahwa “negara tidak pernah mencium tangan.”
Sehari setelah Bahceli mempercepat kunjungannya ke Tunceli karena ada unjuk rasa, Davutoglu menyinggung kembali masalah cium tangan itu, dengan mengatakan bahwa “negara tidak pernah memaksa rakyat untuk mencium tangannya.”
PM Davutoglu menyebut tindakan negara di Provinsi Tunceli (dulu dikenal dengan Dersim) kala itu sebagai “kezaliman”.
http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2014/12/01/34212/pm-davutoglu-kepada-pejabatnya-jangan-biarkan-mereka-mencium-tanganmu.html#.VHvQ5J520r8

Bedah Kekuatan Politik dan Militer ISIS di Irak, Keunggulan dan Kelemahannya


Seperti apa manhaj mujahidin Daulah Islamiyah? Haruskah umat Islam di seluruh di dunia berbaiat kepada ISIS di Irak? Jawabannya adalah maaf, kali ini kita berhenti sejenak bicara soal itu.
Ada baiknya jika kita coba membuka mata dan melihat sisi-sisi lain dari berbagai topik seputar mujahidin Daulah Islamiyah. Salah satunya adalah melihat mujahidin Daulah Islamiyah murni dari kacamata politik dan militer. Harapannya, dari data dan analisis yang disajikan, dapat diambil pelajaran.
Berikut kami terjemahkan satu ulasan dari Combating Terrorism Center (CTC) Sentinel; West Point, Virginia, United States.
Dalam analisis ini, kita akan diajak untuk melihat perjalanan mujahidin Daulah Islamiyah dalam membangun kekuatan militernya. Mulai re-organisasi internal hingga membangun komunikasi yang baik dengan berbagai suku dan kelompok hingga mau berdiri di barisan mujahidin ISIS.
Serangan-serangan cepat mujahidin di pertengahan 2014 lalu; hingga menyebabkan hengkangnya pasukan Irak dari beberapa provinsi dalam waktu singkat, ternyata telah dipersiapkan selama bertahun-tahun.
Para analis barat pun terbelalak dan mengakui jika mujahidin ISIS berhasil berevolusi cepat dari sekedar ”pemberontak desa” yang beroperasi dari luar kota menjadi tentara regular yang mampu menguasai kota dan hingga saat ini masih mampu mengatur dan bertahan dari upaya counter attack pasukan Irak dan Kurdi sekuler.
Kunci keberhasilan mujahidin Daulah Islamiyah hingga akhirnya mendeklarasikan khilafah bertumpu pada kejelian memanfaatkan momentum dan memanfaatkan kelemahan lawan.
Tentu saja dibalik segala keunggulan mujahidin, ada beberapa kekurangan yang harus segera dibenahi oleh mujahidin Daulah Islamiyah. Sebab, beberapa celah kekurangan ini sangat berpotensi menjadi titik balik musuh untuk melancarkan hantaman kepada mujahidin.
Mampukah mujahidin Daulah Islamiyah yang lihai memanfaatkan momentum dan kelemahan lawan akan mampu bertahan seiring menguatnya lawan dan makin beratnya beban kontrol wilayah? Selamat mengikuti.
rtx129mj_cropped
Bedah Kekuatan Politik dan Militer ISIS di Irak; Keunggulan dan Kelemahannya
27 Agustus 2014
Author: Michael Knights
Dr. Michael Knights adalah analis untuk kebijakan Timur dekat di Washington Institute. Ia telah bekerja di seluruh provinsi di Irak, termasuk pada periode pendudukan pasukan keamanan Amerika di Irak. Dr. Knights telah mengarahkan para pejabat AS soal kebangkitan Al-Qa`eda di Irak sejak 2012 dan memberikan kesaksian di hadapan kongres mengenai masalah ini pada bulan Desember 2013. Dia telah menulis tentang militansi di Irak untuk CTC Sentinel sejak tahun 2008.
Islamic State of Iraq and The Levant (ISIL) dianggap telah berevolusi dari hanya sebuah kelompok teroris menjadi tentara regular yang kuat. Demikian menurut Deputi Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Timur Dekat; Brett McGurk.
Lembaga Studi Perang Amerika mencatat, secara keseluruhan, strategi ISIS adalah mengkonsolidasikan dan memperluas kekhalifahan versinya dengan bergantung pada keunggulan militer untuk merebut kendali atas satu wilayah.
Analisis atas prestasi militer ISIS akhir-akhir ini agak sulit dilakukan karena kurangnya fakta valid dan masih bias untuk dikonfirmasi kebenarannya, khususnya selama bulan-bulan sibuk sejak rontoknya pasukan keamanan Irak di Mosul pada tanggal 10 Juni 2014.
Pertanyaan yang muncul masih berkutat seputar kiprah ISIS yang menyebabkan hilangnya kontrol pemerintah Irak atas beberapa provinsi serta seperti apa komposisi pejuang ISIS & non ISIS yang ikut bertempur. Namun demikian, dengan menggunakan berbagai studi kasus dari sisi operasi militer ISIS, artikel ini mengeksplorasi apa yang saat ini bisa diketahui tentang gerakan itu dari sudut pandang militer.
Jika ISIS adalah tentara, tentara seperti apakah itu dan apa kelemahannya?
Artikel ini menemukan bahwa ISIS adalah kekuatan militer yang kuat karena bersamaan dengan kelemahan dan ketidaksiapan musuh-musuhnya. ISIS membentuk medan perang yang luas, mengandalkan kejutan dan mobilitas pasukan. Hasilnya pun seperti yang kini kita lihat. Sebagai kekuatan pertahanan, ISIS berjuang dengan menahan serangan -jika diserang secara bersamaan di beberapa titik atau jika ada sekutunya yangmembelot-.
Serangan Lintas Tahun ISIS
Ofensif sukses ISIS sejak Juni 2014 hanya dapat dipahami dengan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas; yaitu kampanye politik-militer ISIS sejak re-organisasi di bawah kepemimpinan Abu Bakr al-Baghdadi pada tanggal 15 Mei 2010.
ISIS tidak tiba-tiba menjadi efektif seperti pada awal Juni 2014, tapi merupakan hasil dari usaha untuk terus memperkuat diri dan secara aktif membentuk lingkungan operasi jangka panjang selama empat tahun. Seperti dicatat oleh Brett McGurk dan disampaikan pada kongres di bulan Februari 2014, menurutnya, ”perencanaan ISIS ini telah canggih, lebih sabar dan fokus.”
Hancurnya pasukan keamanan Irak (ISF) pada Juni 2014 hanyalah salah satu poin kasus saja, sebagai hasil dari persiapan operasi bertahun-tahun.
Pada awal masa kepemimpinan Abu Bakr al-Baghdadi, Negara Islam Irak (ISI); cikal bakal kelompok saat ini, mulai menargetkan anasir-anasir Arab pro-pemerintah Irak dalam kampanye bertahun-tahun dan ditandai dengan memuncaknya angka pembunuhan yang menarget anggota pasukan keamanan dari 29 Juli 2013 hingga Juni 2014.
Selain penghancuran markas prajurit Irak, pada enam bulan pertama, dunia menyaksikan peningkatan tajam sebesar 150% pada kasus pembunuhan tentara Irak dalam jarak dekat; termasuk di dalam pos-pos pemeriksaan mereka sendiri serta serangan efektif kepada kendaraan militer menggunakan alat peledak improvisasi (IED), juga serangan terhadap para pemimpin kunci.
Meski kampanye militer difokuskan pada Mosul dan Provinsi Ninawa, ISIS tetap meningkatkan upaya untuk memotong jalur besar Mosul-Baghdad. Pada bulan Juni 2014, menurut McGurk, (Mosul) menjalani hari-harinya dan semua tampak normal, tetapi pada malam hari, ISIS telah menguasai jalan-jalan!”
Ketika ofensif ISIS bergulir di Mosul pada tanggal 6 Juni 2014, ISF yang rapuh dan relatif lemah runtuh hanya dengan perang kota selama tiga hari.
Di samping melemahnya lawan, al-Baghdadi juga memanfaatkan keberhasilan operasi musim panas pada tahun-tahun sebelumnya untuk membangun kekuatan ISIS saat ini. Penarikan pasukan AS dari Irak dan perang sipil di Suriah menyediakan basis aman bagi ISIS.
Para analis mencatat, ISIS telah mengembangkan kader dan sangat termotivasi untuk membangun pasukan infanteri ringan yang berkualitas sejak 2012.
Mereka dilengkapi dengan pengalaman tempur perang kota dan mobile di Suriah, serta dari pengalaman tempur sebelumnya yang dimiliki para jihadis asing yang bertugas di Semenanjung Balkan (terutama di Bosnia). Berbagai pelajaran penting ini dikombinasikan dengan pengalaman di Chechnya, dan disempurnakan di kamp-kamp pelatihan di Suriah sejak paruh pertama tahun 2013, juga di Irak.
Pergeseran posisi para pejuang terlatih dari Suriah ke Irak sejak awal 2013 dan pendirian kamp-kamp baru di perbatasan Irak (rata-rata dilengkapi dengan pertahanan anti-pesawat) terbukti efektif dalam menangkal serangan-serangan helikopter Irak.
ISIS menyerang Mosul pada tanggal 6 Juni 2014 dengan kekuatan serangan utama yang dikerahkan dari Suriah sebagai unit infanteri mobile termasuk ratusan kendaraan bersenjata berat.
Dalam semua kasus ini, bala bantuan untuk ISIS dari Suriah bergabung dengan sel lokal Irak yang sudah disiapkan untuk menyambut genderang operasi dari tahun ke tahun. Berdasarkan perkiraan dari berbagai ahli, jumlah pejuang yang berada di bawah kendali ISIS langsung di Irak mungkin telah mencapai 10.000 -15.000 personal.
Dalam estimasi itu juga dihitung dengan mempertimbangkan pembelotan dari kelompok lain seperti anggota Jamaat Ansar al-Islam, anggota pasukan keamanan Irak, dan pejuang yang berbaiat.
Abu Bakar al-Baghdadi juga mengembangkan gaya tersendiri dalam garis komando dan kontrol. Selama operasi “Breaking the Walls” (Juli 2012-Juli 2013), ISI waktu itu menunjukkan dan berulang kali memperlihatkan sistem komando dan kontrol re-sentralisasi di lebih dari 20 kota; disinkronkan dengan gelombang bom mobildan rangkaian serangan yang berkelanjutan sampai akhir tahun 2013.
Al-Baghdadi men-setting pemboman dengan kontrol terpusat tetapi eksekusinya ter-desentralisasi, dengan sel komandonya yang mengatur sendiri tanggal serangan, tetapi para komandan tetap diatur wilayah operasinya dengan tingkat partisipasi mereka disesuaikan dengan kondisi lokal.

Operasi Ofensif di 2014
Kejutan, daya gerak yang tinggi dan shock adalah karakteristik utama dari operasi ofensif ISIS di Irak. Kelompok ini sering meraih kejutan taktis, baik terhadap pasukan federal Irak (ISF) atau pasukan Kurdi. Hal ini dicapai melalui pendekatan kecepatan; yang memanfaatkan kepadatan, jaringan jalan berkualitas tinggi di Irak dan seringkali dilakukan pada malam hari atau serangan dini hari.
Selain itu, sel-sel di Irak relatif kompak, di mana hal itu menjadi jalan yang baik dan memungkinkan ISIS untuk menguasai sebagian besar wilayah negara dalam satu hari, memberikan kekuatan kemampuan yang kuat lagi agresif untuk menitikkan kekuatan pada titik serangan tertentu.
Mobilitas dan tipudaya memungkinkan pasukan ISIS untuk mencapai keunggulan meskipun kekuatan mereka lebih kecil dibandingkan dengan angkatan bersenjata negara. Dengan serangan agresif yang dilakukan unit-unit setingkat peleton, ISIS secara bertahap berhasil mencabut tentara Irak dan tentara Kurdi dari posisinya.
Secara umum, elemen penyerang ISIS terlatih untuk mengejutkan lawan, mendobrak garis pertahanan yang solid serta menarik diri dari kejaran pasukan musuh.
ISIS memiliki mobilitas cepat untuk mengeksploitasi lemahnya pasukan musuh, seperti yang terjadi baru-baru ini ketika ISIS mencaplok Jalula pada 10 Agustus 2014, kota yang akhirnya ditinggalkan pasukan khusus Kurdi hingga terdesak di Makhmour.
Di sini, pasukan federal Irak ISF dan pasukan Kurdi memang kurang terampil dan tak cerdas menganal ISIS, mereka juga dibebani dengan luasnya wilayah yang harus diawasi, serta  kurangnya alat bantu teropong malam/Night Vision. Seluruh faktor kelemahan ini membuat pasukan Irak dan Kurdi terlambat menyadari kehadiran pasukan ISIS di depan mata mereka.
Sejak meningkatnya serangan dengan kendaraan bersenjata berat pada bulan Juni 2014, ISIS sering mengerahkan 2-5 kendaraan lapis baja untuk memberikan efek kejutan, dalam beberapa kasus, taktik ini menyebabkan ketakutan dikalangan pasukan junior ISF atau unit pasukan Irak yang tak dilengkapi pertahanan anti-tank.
Perang lapis baja ISIS dalam jumlah besar di Irak pertama kali terjadi pada 24 Juli 2014. Unit lapis baja dan kendaraan bersenjata berat ISIS melancarkan serangan pada Perusahaan Farmasi Negara; lima kilometer di belakang garis pertahanan Kurdi timur laut kota Mosul.
Serangan itu melibatkan beberapa truck pick up 4 x 4 dengan senapan mesin 12,7 mm terpasang dan setidaknya tiga lapis baja milik pemerintah berhasil dijarah dari pangkalan ISF di Mosul.
Serangan itu menyerbu pos pemeriksaan Peshmerga (milisi Kurdi) di Highway 2 kemudian terus mengeksploitasi garis belakang pertahanan pasukan Kurdish Peshmerga sepanjang lima mil setelah penetrasi pasukan ISIS ke pabrik farmasi; total penetrasi adalah sejauh 10 mil.
ISIS juga telah mengerahkan unit khusus artileri, meski hanya dalam sejumlah kecil kasus (seperti pada 3 Agustus 2014 dengan serangan terhadap Zummar dan Kisik di sebelah barat Mosul).
Ketika ISIS menggunakan artileri, biasanya mereka menggunakan artileri tunggal atau roket artileri kecil 57mm dan mortar dengan sangat efektif. Pada beberapa kesempatan, ISIS juga mengerahkan artileri berat, terutama di Zowiya; diperkirakan 500 peluru artileri ISIS mendarat di situ.
Sebaliknya, senjata berat yang paling sering digunakan oleh ISIS cenderung menjadi alat-tradisional untuk bom bunuh diri atau bom mobil remote. Untuk menciptakan kepanikan dan mengusir pasukan musuh, ISIS hampir selalu memulainya dengan serangan intensif yang memakan banyak korban di satu atau lebih markas musuh dan pos pemeriksaan.
Alur taktik penyerbuan telah dipraktikkan dan dikembangkan dari hari-hari awal kelahiran kembali ISI pada tahun 2010, ketika al-Baghdadi menggelar ofensif pertama bulan Ramadhan; dimulai pada 29 Juni 2010, dengan melumat salah satu pos pemeriksaan polisi di Adhamiyah hingga memungkinkan ISI mengibarkan benderanya di pusat kota Baghdad pada siang hari.
Dari musim panas 2011 dan seterusnya, insiden seperti ini menjadi pandangan umum dan biasanya diiringi bom mobil untuk menciptakan kekacauan dan melanggar barikade pasukan Irak, beberapa percobaan serangan bunuh diri dengan penyerang berompi dan bersenjata (seringkali menyamar dengan mengenakan seragam pasukan keamanan) ke dalam kompleks tentara, dan drama penyanderaan untuk memperpanjang insiden itu.
Meski biasanya pembukaan serangan menargetkan satu atau dua pos kecil, serangan ini kadang-kadang jauh lebih besar. Pada tanggal 11 Agustus 2014, ISIS melancarkan serangan ke Jalula yang dimulai dengan bom mobil di markas Peshmerga, menewaskan lebih dari 20 pejuang Peshmerga.
Diiringi juga dengan serangan bom kedua menggunakan tanker minyak di pusat kota. Diikuti dengan pemboman individu dengan rompi ledak serentak di 12 pos pemeriksaan oleh pejuang ISIS yang mengenakan seragam ala Kurdi.
Tidak mengherankan, serangan ini langsung menghancurkan moral pasukan Kurdi Peshmerga dan kota itupun jatuh.
ISIS juga menggunakan berbagai jenis kekerasan,  seperti diistilahkan oleh Robert Scales dan Douglas Ollivant sebagai “pembunuhan strategis,” menakuti musuh militer mereka dan mengusir penduduk sipil.
Selama awal bulan Juni, ISIS gencar menggunakan media sosial (terutama Twitter) untuk menyebarkan berita bahwa ISIS tidak akan memberi ampun pada calon pasukan keamanan yang nekat mendaftar jadi polisi/tentara dan menjamin keselamatan mereka yang mau bertaubat.
Pembunuhan atas sekitar 100 anggota pasukan keamanan dilakukan di Tikrit pada 11 Juni 2014 dan dipublikasikan secara luas. ISIS juga melancarkan kampanye etno-sektarian; seperti pembersihan di daerah yang mereka kendalikan, menghapus Syi`ah Turkmen, Yazidi, Shabaks, Kristen dan bahkan Sunni Muslim Kurdi dari wilayah baru.
Sebagian besar masyarakat telah diperingatkan untuk pergi, maka terjadi peningkatan kekerasan skala besar termasuk penculikan-pembunuhan dan pemboman mobil secara progresif selama 2-3 minggu.
ISIS juga sengaja menghambat aliran air dan listrik ke daerah-daerah di mana minoritas telah dibersihkan; tampaknya hal ini bertujuan untuk mencegah orang-orang itu kembali ke pemukiman di daerah ini.

Kemampuan Bertahan ISIS
Menghadapi sebuah organisasi (ISIS) yang banyak mengeksploitasi pemanfaatan mobilitas dan pertahanan zonal, tentu menyajikan sebuah tantangan tersendiri.
JM. Berger menjelaskan, “Kalkulus penguasaan wilayah sekarang telah berubah. Sebelum deklarasi [kekhalifahan], [ISIS] hanyalah domain seperti sebelumnya; yang hanya ada di sepanjang perbatasan Irak dan Suriah dengan sedikit kehilangan muka.”
Jessica Lewis menambahkan dalam sebuah artikel terpisah, “Upaya memvalidasi tata negara [ISIS] secara lebih lanjut, harus menunjukkan bahwa secara fisik dapat dipertahankan, atau setidaknya mencegah militer saingan (ISIS) agar tidak menyerang.”
Sebelumnya, para analis CTC Sentinel berpendapat bahwa ISIS adalah “harimau yang juga punya ekor”, di mana sekarang ISIS harus mempertahankan benteng perkotaan. Namun, dalam menghadapi serangan balik awal yang masih lemah dari ISF, ISIS telah menunjukkan dirinya cukup mahir membangun pertahanan.
Fakta ini bahkan mengungkap beberapa aspek baru yang paling menarik dan bisa menjadi obyek riset; yaitu evolusi militer ISIS baru-baru ini hingga menjadi tentara hibrida.
Playbook defensif ISIS dimulai dengan konsolidasi defence yang dinamis di “kerak”/ di tepi luar dari daerah yang baru diduduki; tempat di mana ISF atau Kurdi sangat memungkinkan untuk melakukan serangan balik.
ISIS telah menggunakan keahlian teknik lapangan dasar dan sigap untuk segera membangun tanggul tanah yang besar dan membuat parit pertahanan di daerah perbatasan.
Setelah menguasai Jalula pada 11 Agustus 2014, buldoser-buldoser ISIS segera memblokir rute kunci yang digunakan pasukan Kurdi untuk melancarkan serangan balik.
ISIS juga menanam banyak bom pinggir jalan di sepanjang jalur arteri tersebut. Selanjutnya, mereka  menciptakan barrier di sekitar Sungai Diyala; yaitu dengan menghancurkan jembatan jalan Jalula-Kalar. Ini adalah taktik umum ISIS dalam membentuk tameng geografis lokal untuk menghambat serangan balik atau memotong penguatan pasukan musuh.
Menciptakan banjir buatan ke dataran rendah adalah taktik lain yang juga digunakan untuk mengacaukan ISF.
Sejumlah kecil senjata berat juga dikerahkan ke lokasi penjagaan, lengkap dengan pertahanan anti-armor ditambah dengan single hull-down tank T-55 atau T-62, senapan recoilless, senjata panggul anti-tank, rudal anti-tank, dan booby-trapping yang dipasang di lokasi-lokasi yang dianggap mungkin direbut kembali oleh pasukan keamanan Irak.
Keterlibatan ISIS dengan para pemangku kepentingan lokal dan militan mungkin merupakan aspek yang paling penting dari pengaturan system defensive mereka.
Menyusul kekalahan al-Qa’eda di Irak dan ISI oleh pasukan Sahawat, ISIS dapat mengenali bahwa penduduk lokal juga menjadi ancaman besar seperti halnya musuh eksternal.
Seperti disebutkan sebelumnya, ISIS berusaha untuk mengusir orang-orang non-Sunni dan populasi non-Arab dari wilayahnya. Hal ini tampaknya didorong oleh pembenaran ideologis dan dengan pertimbangan yang lebih korup (seperti penjarahan ke desa-desa dan mengharap tebusan dari aksi penculikan), tetapi pembersihan tersebut juga menciptakan zona tak berpenghuni.
Dalam banyak lingkungan defensif seperti Falluja dan Suleiman Beg yang sebagian besar wilayahnya dikosongkan, ISIS memilih untuk bekerja di daerah-daerah itu dengan beberapa warga sipil, mungkin karena ketakutan mereka dengan potensi pemberontakan dan informan local.
Dimana ada populasi, ISIS tertarik untuk menghormati mereka dan menciptakan kerangka kolaboratif untuk membela daerah tersebut. Ahli dan pengamat pemberontakan Irak; Aymenn al-Tamimi mencatat, ISIS dengan cepat meningkatkan penyebaran spanduk mereka atas kantor pusat administrasi, kantor pusat keamanan dan landmark lain untuk menunjukkan bahwa mereka mengendalikan daerah tersebut.
ISIS benar-benar memanfaatkan billboard, leaflet, speakerphone, atau bahkan speaker masjid.
Di kebanyakan tempat, ISIS tidak langsung mengerahkan polisi syariahnya; kecuali di beberapa jantung kota Raqqa dan Mosul. Sebaliknya, interaksi ISIS praktis terfokus pada tentara rezim; di mana mantan ISF harus mendaftarkan diri dan bertobat, dari situ dimulailah proses evaluasi dimana mantan ISF tersebut dapat direkrut, disandera atau dibunuh.
ISIS biasanya sudah memiliki beberapa bekal latar belakang di daerah-daerah setelah bertahun-tahun belajar dan berinteraksi dengan masyarakat setempat, sehingga mereka mendapat info detail soal langkah-langkah keamanan yang ditempuh oleh rezim serta menerima janji kesetiaan individu.
ISIS sering menyerap jaringan seluruh militan ke jajarannya, dikenal sebagai merger dan pendekatan akuisisi, dengan berpikiran bahwa kelompok Salafi seperti Jamaat Ansar al-Islam menjadi lebih kooperatif dan lebih mudah dikendalikan.
Ada beberapa kelompok Salafi dan pasukan Dewan Militer Jenderal terkait dengan Jaysh Rijal al-Tariq al-Naqsyabandi (JRTN) dan militan lainnya; yang juga berkontribusi sebagai tenaga defensif inti di daerah-daerah yang didominasi ISIS.
ISIS mahir dalam menyelaraskan tujuannya dengan kebutuhan suku-suku, seperti dengan cara menghubungkan suku-suku Arab dengan sentiment anti-Kurdi di sekitar Jalula atau membiarkan suku-suku Arab untuk memanen ladang gandum milik petani Syi`ah Turkmen di Amerli.
Aymenn al-Tamimi menjelaskan, bahwa saat ini, sekutu kelompok menjadi lebih erat dan lebih selaras dengan ISIS. Ada transisi peran ISIS dari sekedar “backing” menjadi radikalisasi ideologis yang lebih dalam. Aymenn juga menambahkan bahwa semakin lama kelompok-kelompok itu semakin sulit untuk lepas atau melawan ISIS.
“Kelompok suku kini telah berdiri untuk ISIS, mereka (ISIS) berhasil mendorong reaksi yang sangat agresif, yang paling terkenal adalah di Zowiya (terletak di persimpangan sungai Tigris dan sungai Zab Lesser), di mana pemberontak suku secara brutal memberikan bantuan tembakan mortir  secara terus-menerus dan mengamuk bersama pasukan ISIS pada tanggal 7 Juli, 2014," ungkap Aymenn.
Ketika ISF atau pasukan Kurdi menyerang wilayah yang diklaim ISIS, ISIS ternyata lebih cepat dengan memberikan dukungan kepada penduduk setempat dengan berbagai kemampuan khusus.
Tim anti-armor ISIS yang berpengalaman telah mencapai beberapa hasil spektakuler ketika menghancurkan unit-unit tank tentara Irak. Misalnya, di Humayrah, dekat Ramadi, pada tanggal 20 April 2014, tentara Irak hancur dengan hilangnya seluruh peleton yang mengendarai tank T-62 dan kendaraan lapis baja MTLB.
Di Tikrit, ISIS memimpin serangkaian serangan spektakuler mulai dari penyergapan sampai bom bunuh diri dalam menghalau upaya tergesa-gesa dan salah yang dilancarkan oleh tentara Irak untuk mengambil alih kota pada tanggal 16 Juli 2014.
Di Jalula, ISIS berhasil menyapu pasukan khusus Kurdi yang dilengkapi armor dan artileri dalam perang di jalan-jalan berpasir. ISIS juga memimpin serangan balik yang didukung suku-suku lokal ke area yang sempat hilang kontrol pada 11 Agustus 2014.
Pada 8 Agustus 2014, unit tank T-55 ISIS berhasil menggagalkan upaya 250 milisi Syiah yang berkonvoi dengan mengerahkan kendaraan bersenjata berat untuk hendak melonggarkan pengepungan ISIS atas kota Amerli.
Sifat Kunci dan Kerentanan ISIS
Meskipun ISIS telah berbuat banyak dengan membentuk lingkungan operasional sendiri, tapi ISIS sebenarnya diliputi keberuntung karena hanya menghadapi lawan yang tidak siap dan dinilai lemah; yaitu tentara pemerintah Irak.
Negara yang lemah; terutama ISF, telah memperbesar reputasi dan kepercayaan diri ISIS, dan untuk sementara waktu, itu semua menutupi kelemahan dan kerentanan ISIS sendiri.
ISIS saat ini  masih dalam posisi puncak dan berlayar di atas gelombang pasang dalam  keberhasilan militer, namun lawan-lawannya juga mulai pulih dan mendapatkan peningkatan terutama dari dukungan internasional.
Kekuatan ofensif ISIS sebenarnya cenderung berkurang daya pukulnya terutama saat mendekati wilayah mayoritas Syi`ah atau daerah berpenduduk Kurdi.
Momentum memiliki nilai luar biasa dalam perang, tapi itu rapuh, dan ISIS mungkin terpaksa untuk secara bertahap menyerahkan inisiatif strategis di Irak, seperti yang telah dilakukan di Kirkuk dan Makhmour, di mana ISIS melepaskan kontrolnya pada pertengahan Juni dan merebutnya kembali pada 10 Agustus.
Langkah ini menunjukkan kepemimpinan kolektif ISIS yang jelas terdiri dari para perencana berbakat, mampu menyusun kampanye politik-militer jauh ke depan yang cukup tangguh untuk bertahan hidup.
Namun laju perang melawan ISIS juga makin melejit cepat, dan kemampuan kelompok untuk terus membentuk dan mengendalikan konflik akan sangat diuji.
Meskipun mereka mungkin membanggakan individu-individu berbakat dijajaran elitnya serta suntikan dari para komandan yang bebas dari tahanan Irak, belum lagi para pemimpin yang muncul dari perekrutan. Mereka semua diharapkan mampu memegang kendali di masa depan.
Mobilitas dan factor kejut telah memungkinkan ISIS untuk memukul musuhnya dalam operasi ofensif militer yang terhitung berat, namun keunggulan ini juga dapat berkurang. Jika dukungan militer AS untuk Irak meningkat, itu akan menjadi lebih sulit bagi ISIS untuk mencapai efek kejutan taktis menggunakan kekuatan penyerang yang mobile. Tanda-tanda itu telah terjadi di mana divisi penyerang ISIS mendapat mimpi buruk.
Di Tuz Khurmatu, misalnya, konvoi kendaraan militer ISIS berusaha menembus kota menggunakan gerakan malam pada tanggal 9 Agustus dan 13 Agustus, namun upaya itu terdeteksi oleh militer AS yang memberitahukan seluruh koordinat strategis pasukan ISIS kepada artileri Kurdi untuk menumpulkan serangan ISIS.
Banyak anasir-anasir pemerintah Irak atau milisi Kurdi sedang berkonsolidasi menyusun dasar pijakan kuat untuk operasi masa depan di bawah tatapan waspada intelijen, pengawasan dan pengintaian (ISR) sebagai aset AS.
ISIS pasti akan mencoba untuk mempertahankan inisiatif strategis, namun bertindak ofensif dengan menyerang kini menjadi makin sulit bagi gerakan.
Hal ini dapat menyebabkan ISIS untuk jatuh kembali pada pendekatan operasi klasik mereka seperti serangan dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar yang ikut turun menyerbu dan operasi rompi peledak seperti yang digunakan di Jalula pada tanggal 11 Agustus dan di sisi lain memanfaatkan “komuter pemberontakan” seperti Ramadi dan Baghdad.
Pertahanan juga dapat menjadi sulit bagi ISIS ketika ISF dan pasukan Kurdi meningkatkan operasi ofensif mereka. Menurut pandangan para ahli, ISIS memiliki kekuatan dengan tidak hadirnya pasukan Irak di lembah Tigris Tigris; seperti juga di di Mosul, Tall Afar, dan Tikrit, serta di lembah Efrat barat berbatasan dengan Suriah dan daerah-daerah lain di sekitar Jalula dan pegunungan Hamrin.
Dareah ini hanya dijaga oleh unsur-unsur sel kecil ISIS, berjumlah kurang dari 3.000 pejuang, sementara sebagian besar tenaga kerja defensif ISIS masih terikat dengan daerah tertentu saja dan terdiri dari anggota dan sekutu baru.
Meskipun ISIS berhasil memiliki momentum dan para sekutu ISIS ini tampaknya kokoh di belakang mereka, jika nantinya angina sejuk militer mulai berubah arah, terutama ketika kemampuan pengaturan hubungan ISIS mulai mengendur, kemungkinan besar ISIS akan mengalami penurunan kekuatan militer efektifnya secara dramatis.
Sekarang saja ISIS dipaksa untuk melepaskan beberapa kota -Makhmour, Saadiyya, Muqdadiyah, Zummar, Bashiqa, Bartella, Qara Qosh-dan mereka dituntut untul selalu menjaga kecepatan operasi.
Jika pasukan ISF dan Kurdi melakukan operasi ofensif selektif serta melakukan sejumlah pelebaran medan tempur, pertahanan yang digalang ISIS niscaya akan menjadi renggang, terutama jika kemampuannya untuk bergerak dan kekuatan serangan balik ISIS makin terbatas. ISIS bisa berubah kembali menjadi pemberontak pedesaan yang beroperasi di luar kota sekali lagi
http://www.lasdipo.com/artikel/analisa/2014/11/24/bedah-kekuatan-politik-dan-militer-isis-di-irak-keunggulan-dan-kelemahannya.html