Tetapi kerap terjadi, orangtua tidak tega
melihat anak mengalami kesulitan, sehingga alih-alih sayang anak justru
merebut kesempatan anak untuk belajar. Tak jarang orangtua melakukan itu
bukan karena sayang, tapi karena tidak sabar atau bahkan gengsi.
Menyuapi anak makan misalnya, kadang karena sayang. Tapi tak dapat
dipungkiri kerap orangtua menyuapi anak di saat anak sedang ingin
belajar menyuapi diri sendiri karena orangtua tidak sabar, menganggap
anak kelamaan, atau hanya karena tidak ingin lantainya kotor.
Sikap orangtua yang semacam ini akan
memperburuk keadaan jika di saat yang sama anak sedang mengembangkan
perilaku merajuk demi memperoleh perhatian yang lebih. Adakalanya anak
tidak mau melakukan sesuatu sendiri juga bersebab keasyikan terhadap
sesuatu, misalnya nonton TV atau main game. Jika ini dibiarkan, maka
bukan saja kemandirian sulit diraih, meskipun untuk perkara yang
sederhana. Lebih dari itu juga dapat mendorong anak menjadi pemalas atau
mengembangkan rasa tak berdaya karena menganggap diri ‘ajiz (lemah karena sial).
Lalu apa saja yang perlu mendapat perhatian kita? Beberapa hal berikut ini semoga bermanfaat:
Kemandirian dalam Keterampilan Hidup
Prinsip pokok menumbuhkan kemandirian
dalam soal ini adalah memberi kesempatan. Bukan melatih. Anak secara
alamiah memang cenderung berusaha belajar melakukan berbagai
keterampilan hidup sehari-hari secara mandiri, semisal makan. Jika kita
mengizinkan anak melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari tersebut
secara mandiri, lambat laun akan terampil. Yang kita perlukan hanyalah
kesediaan mendampingi sehingga anak tidak melakukan terlalu banyak
kesalahan, meskipun kita tetap harus menyadari bahwa untuk mencapai
keterampilan perlu latihan yang banyak dengan berbagai kesalahannya.
Makan misalnya, kita melihatnya sebagai
keterampilan yang sangat biasa dan tidak istimewa. Tetapi Anda akan
terkejut manakala mendapati orang dewasa tidak terampil menyuapkan
makanan ke mulutnya sendiri karena orangtua terlalu memanjakan sehingga
senantiasa menyuapi anak hingga dewasa. Ini memang jarang terjadi, tapi
kasus anak benar-benar tidak memiliki keterampilan makan hingga ia
dewasa itu sungguh-sungguh terjadi.
Kemandirian itu akan lebih meningkat
kualitasnya jika orangtua secara sengaja member rangsangan kepada anak
berupa tantangan untuk mengerjakan yang lebih rumit dan sulit. Ini bukan
saja melatih kemandirian dalam urusan keterampilan hidup sehari-hari,
melainkan juga menumbuhkan kemandirian secara emosional.
Kemandirian Psikososial
Bertengkar itu tidak baik. Tetapi
menghentikan pertengkaran begitu saja, menjadikan anak kehilangan
kesempatan untuk belajar menyelesaikan konflik. Kita memang harus
menengahi dan adakalanya menghentikan. Tetapi kita juga harus membantu
anak menggali masalanya, merunut sebabnya dan menawarkan jalan keluar
kepada anak, baik dengan menunjukkan berbagai alternatif tindakan yang
dapat diambil maupun menanyakan kepada anak tentang apa saja yang lebih
baik untuk dilakukan.
Apa yang terjadi jika kita bertindak keras
terhadap berbagai konflik yang terjadi antar anak? Banyak hal. Salah
satunya anak tidak berani mengambil sikap yang berbeda dengan
teman-temannya, meskipun dia tahu bahwa sikap itulah yang seharusnya dia
ambil. Anak tidak berani menolak ketika temannya mengajak merokok atau
mencoba minuman keras. Mengapa? Karena ia dididik untuk tidak berani
menghadapi konflik. Padahal kita seharusnya menanamkan pada diri anak
sikap untuk mendahulukan prinsip daripada harmoni. Rukun itu penting,
tapi hidup dengan berpegang pada prinsip yang benar itu jauh lebih
penting. Kita tanamkan kepada mereka: principles over harmony.
Lalu apakah yang harus kita lakukan jika
anak sedang bertengkar? Apakah kita biarkan mereka? Tidak. Kita tidak
boleh membiarkan. Kita harus menangani. Membiarkan anak bertengkar
dengan keyakinan mereka akan mampu menyelesaikan sendiri dapat memicu
terjadi situasi submisif, yakni siapa kuat dia yang menang. Dan inilah
yang sedang terjadi di negeri kita. Bahkan urusan antre pun, siapa yang
kuat dia yang duluan. Dampaknya akan sangat luas dan bisa menakutkan.
Di antara yang dapat kita lakukan dalam
kaitan konflik anak dengan temannya adalah menunjukkan kepada mereka
tindakan-tindakan yang patut dilakukan oleh anak. Dalam hal ini, aturan
dan prosedur sangat membantu anak dalam bertindak. Kita kenalkan anak
pada etika agama.
Kita juga dapat melatih kemandirian
psikososial anak secara lebih luas. Melatih mereka ke toilet sendiri
berikut adab-adabnya, mengajari mereka untuk mencari informasi pada saat
sedang berada di luar rumah (semisal di bandara), termasuk komplain
yang santun ke Customer Service. Bahkan berbelanja sendiri pun adakalanya perlu kita latihkan agar anak dapat melakukan transaksi dengan baik dan benar.
Apa yang terjadi jika kita layani anak dalam banyak hal? Salah kemungkinannya adalah affluenza.
Ini banyak terjadi pada anaknya orang-orang yang sangat kaya sehingga
mereka pada akhirnya justru sangat lemah. Mereka hanya terbiasa
dituruti. Dalam soal belanja tak terbiasa mengendalikan diri sesuai
kebutuhan, bahkan sulit membedakan kebutuhan dan keinginan, sehingga
cenderung impulsif. Dan ini mulai banyak terjadi.
Tampaknya bukan masalah. Tapi ketidakmampuan mengendalikan keinginan justru menyebabkan manusia sulit bahagia.
Kemandirian Belajar
Inilah proses serius kita hari ini. Banyak
sekolah yang bersibuk mengajari anak agar terampil membaca semenjak
usia dini, tapi lupa bahwa yang paling mendasar adalah sikap positif,
kemauan yang kuat, dorongan untuk membaca dan bangga dengan kegiatan
tersebut. Anak belum mampu membaca saat kelas 1 SD bukan masalah jika
mereka telah memiliki antusiasme belajar. Ini jauh lebih penting.
Jika anak memiliki kemauan yang kuat untuk
belajar disertai keyakinan (bukan hanya paham) bahwa belajar itu
penting, maka kita dapat berharap anak akan cenderung menjadi pembelajar
mandiri saat mereka memasuki usia 10 tahun. Mereka memiliki semangat
yang semakin menggebu. Sebaliknya jika kita hanya mengajari mereka
berbagai kecakapan belajar semisal membaca dan berhitung, maka usia 10
tahun justru menjadi titik balik. Awalnya menggebu-gebu selama kelas 1,
berangsur luntur, lalu benar-benar enggan belajar saat memasuki kelas 4
atau 5 SD. Maksudnya, ada yang mencapai titik balik berupa kejenuhan
serta keengganan belajar di awal kelas 4, ada yang pertengahan atau
akhir kelas 4, ada pula yang kelas 5 baru mengalami.
Kemandirian Emosional
Bekal pokoknya adalah pengenalan diri yang
diikuti dengan penerimaan diri. Ini memerlukan peran orangtua dalam
mengajak anak untuk mengenali kelebihan-kelebihan, kekurangan, kemampuan
dan kelemahannya sendiri. Pada saat yang sama orangtua menunjukkan
penerimaan terhadap kekurangan maupun kelemahan anak, tetapi bukan
berarti membiarkan anak melemahkan dirinya sendiri. Malas dan enggan
mengatasi masalah merupakan bentuk sikap melemahkan diri
sendiri. Orangtua juga menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kelebihan
dan kekurangannya masing-masing. Maka tak patut merendahkan orang lain,
tak pantas pula meninggikan diri. Lebih-lebih untuk sesuatu yang
diperoleh tanpa melakukan usaha apa pun alias sepenuhnya merupakan
pemberian semenjak lahir.
Yang juga penting untuk dilakukan adalah
mendampingi anak mengenali kebutuhannya. Konon anak kecil pasti akan
rewel jika sedang mengantuk sampai-sampai banyak orangtua yang meyakini
bahwa rewel merupakan pertanda anak perlu tidur. Tetapi ternyata anak
tidak perlu mengalami situasi tersebut jika ia mengenali kebutuhannya.
Balita pun tak perlu rewel jika ia telah dapat mengenali kebutuhannya
untuk istirahat. Setidaknya ini yang saya catat dari anak saya mulai
dari anak ketiga, khususnya lagi sejak anak keempat hingga ketujuh.
Perlu juga mendampingi mereka untuk
belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan perlu
dipenuhi, meski tak serta-merta. Sedangkan keinginan, adakalanya dapat
dituruti, tetapi tetap perlu belajar menahan diri. Semua ini ditumbuhkan
bersamaan dengan menguatkan dorongan sekaligus kemampuan
bertanggung-jawab, termasuk berkait dengan konsekuensi atas berbagai
tindakan mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar