Sabtu, 25 April 2015

Jilbab Buka-tutup

Kasus I
Di sebuah resepsi pernikahan mewah seorang bos , seorang wanita menyapa saya. Sejenak, saya tertegun menatap wajah wanita yang mengenakan gaun malam ketat dengan belahan rendah di bagian dada itu. Sepertinya, saya mengenali wanita tersebut. Perlu waktu sekitar satu menit sebelum saya benar-benar mengenalinya. Anita-sebutlah demikian- adalah teman satu kantor tetapi beda divisi. Saya shock sekali melihat penampilan Anita malam itu. Pasalnya, saya terbiasa melihat dia di kantor sehari-hari dengan jilbab. Saat itu saya hanya bisa terpana dan tertegun, sedangkan Anita dengan santai dan senyum berlalu dari hadapan saya untuk menyapa tamu-tamu undangan yang lain. Masih penuhi oleh rasa terkejut dan penasaran, saya kemudian mencari teman kantor yang lain dan menceritakan perihal Anita. Teman saya itu menjawab,”Oh, Anita memang seperti itu. Buka-tutup. Kalau ke pesta, atau habis dari salon, dia gak pakai jilbab.” Hmm…
Kasus II
Sari-bukan nama sebenarnya-seorang gadis berjilbab berterus terang kepada saya bahwa dia tidak memakai jilbab jika sedang ‘jalan’ dengan seorang lelaki yang menjadi pacarnya. Mendengar pengakuannya, alis saya terangkat dan kening saya berkerut. “Loh kok begitu ? Memangnya kenapa harus buka jilbab. Pacaran saja sudah di larang, ini kok ditambah buka-buka aurat?” Tanya saya. Ternyata, Sari merasa jilbab membuatnya merasa terlihat lebih tua. “Gue kan malu, Wi. Umur gue kan emang lebih tua dari cowok gue, yaah….Cuma beda beberapa bulan aja sih. Kalau gue jalan sama dia pakai jilbab, gue keliatan makin tambah tuir. Lebih bebas tanpa jilbab. Kata cowok gue, gue keliatan kaya anak SMA, ABG gitu loooh…Lagian, cowok gue lebih suka gue lepas jilbab kalau lagi sama dia….begitu, jeung…!” o…o….w
Kasus III
Mba Yani-juga nama samaran- teller sebuah bank swasta mengeluh kepada saya bahwa dia belum diperbolehkan memakai jilbab. Padahal dia sudah naik haji tahun lalu dan ingin sekali menutup auratnya dengan sempurna. Saya heran. Ah, masa sih ? Padahal kan sudah banyak bank yang pegawai wanitanya memakai jilbab bukan hanya di bank-bank Syariah. “Yah, gak tau deh. Yang pasti di Bank Panin belum boleh pakai jilbab. Jadi, sementara ini solusi buat saya adalah buka-tutup. Berangkat pakai jilbab, selama jam kerja lepas jilbab, nanti pulang dipakai lagi.” Tuturnya. Kasus Mba Yani ini sama dengan seorang Cleaning Service yang sempat mengobrol dengan saya. “Mba sih, enak. Gak masalah kerja pakai jilbab. Kalau di tempat saya, belum boleh tuh ! Pilihannya, buka jilbab pas lagi kerja atau cari kerja di tempat lain.”
Tiga kasus di atas membuat saya merenung sejenak.
Pada kasus Anita dan Sari, apa sih yang menjadi alasan kuat mereka untuk melepaskan kain penutup kepala itu ? Rasanya, tidak ada. Mereka tidak di larang oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja untuk memakai jilbab seperti Mba Yani dan gadis Cleaning Service. Mungkin yang harus di tanyakan kepada mereka adalah apa yang menjadi dasar ketika mereka memutuskan untuk memakai jilbab.
Dasar yang utama adalah perintah Allah dalam Alquran.
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (QS 33:59)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(QS 24:31)
Jilbab bukan sekedar mode sesaat yang dipakai jika sedang ‘trend’ dan di lepas jika sudah tidak ‘nge-trend’ lagi. Jilbab adalah kewajiban bagi seorang wanita muslim yang telah baliqh. Andrea Hirata menulis di salah satu bukunya, Sang Pemimpi “Bagiku jilbab adalah piagam kemenangan gilang gemilang, kemenangan terbesar bagi seorang perempuan Islam atas dirinya, atas imannya dan atas dunia.”
Jilbab adalah identitas wanita Islam, mahkota yang harus di junjung tinggi. Jika seorang wanita telah memutuskan untuk berjilbab, maka ia harus siap dengan segala konsekuensinya. Siap menjaga sikap dan perilakunya. Sebab, jika seorang wanita berjilbab melakukan hal-hal yang tidak semestinya, maka yang dituding bukan hanya diri wanita itu, tetapi jilbab dan Islam. Contohnya, jika seorang wanita berjilbab merokok di tempat umum, maka masyarakat akan berkata “Kok pakai jilbab merokok ?” Jilbab dan Islam mendapat kesan negatif. Terlepas dari segala argument tentang hak asasi seseorang untuk bebas melakukan apapun sepanjang tidak mengganggu kepentingan orang lain, wanita yang telah memutuskan untuk berjilbab hendaknya menjaga adab perilaku.
Untuk kasus buka-tutup yang diuraikan di atas, saya berpendapat bahwa sebaiknya mereka –kaum muslimah- meluruskan niat, membekali diri dengan pemahaman dan ilmu yang cukup terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memakai jilbab. Karena bagi saya, detik saat memutuskan untuk memakai jilbab sama seperti membeli ‘one way ticket’. Maksudnya, tidak bisa berjalan mundur kembali. Dalam hal ini tidak ada alasan untuk menanggalkan jilbab kecuali pada mereka yang memang muhrimnya. Untuk yang ‘terpaksa’ buka-tutup jilbab karena alasan ekonomi, maka perbanyaklah mencari ilmu untuk mempertebal keyakinan bahwa rejeki itu sudah di atur-NYA. Tidak mungkin Allah mempersempit rejeki karena kita menjalankan apa-apa yang diperintahkan-NYA.
Saya bukanlah seorang ‘jilbaber’-jilbab super lebar dan gamis gombrong- namun saya terus belajar untuk meluruskan niat, memperkuat iman , mempertebal keyakinan dan memperbaiki diri.
Saya juga tidak berani ‘nge-judge’’ bahwa mereka yang memakai jilbab’biasa’ tidak sebaik mereka yang berjilbab lebar dan gamis. Sebab hanya Allah yang Maha Tahu dan berhak menilai masing-masing orang. “Don’t judge a book by its cover”
http://www.eramuslim.com/oase-iman/jilbab-buka-tutup.htm#.VTvzE8ZWxzl 

Soal Gus Dur Sosok Muslim Ideal, Jika Tidak Paham Islam Sebaiknya Ahok Diam #AhokAsbun

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang kerap dipanggil Ahok menganggap pemimpin yang baik adalah yang apa adanya menampilkan kepribadian dirinya, seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia sendiri juga merasa sudah berusaha untuk menjadi diri yang apa adanya, namun kenyataannya masih banyak orang yang tidak bisa menerima sikap keras dan terus terangnya tersebut.
“Zaman kita lucu, kita ngomong bener tapi disalahin, ngomong di depan eh dimaki-maki. Masyarakat kita sebenarnya siap enggak sih untuk sama-sama berbuat benar?” kata Basuki (25/4).
Basuki melihat bahwa masyarakat DKI masih banyak yang belum bisa menerima kata-kata “pedas” dari dirinya. Masyarakat dilihat lebih suka menerima ucapan yang manis-manis namun kenyataannya ucapan manis tersebut tidak bermanfaat sama sekali bagi kehidupan masyarakat.
Terkait dengan bersikap dan berbicara manis, Basuki juga menceritakan pengalamannya saat ia akan maju menjadi calon gubernur di Bangka Belitung, beberapa tahun silam. Saat itu, Basuki pernah ditawari seseorang bahwa jika ia masuk ke Islam atau menjadi seorang mualaf, maka kemungkinan ia terpilih sebagai gubernur bisa mencapai 80 persen. Namun tawaran itu ditolak.
“Kalau cuma karena itu saya jadi mualaf ya enggak bisa. Saya bilang saya enggak ada hidayah, kalau jadi mualaf nanti munafik namanya. Kalau begitu daripada beragama tapi munafik, mending saya kafir sekalian,” tambah Basuki.
Basuki sendiri mengaku pernah sekolah di sekolah Islam dan sedikit banyak tahu tentang Islam. Dia pun mencontohkan seharusnya orang Islam mencontoh Gus Dur, yang berani mengutamakan kebenaran dan tidak malu mengungkapkan siapa dirinya. Selain itu, sikap Gus Dur yang toleran terhadap orang yang berbeda dengannya juga dianggap menjadi salah satu contoh sikap yang baik.
Pandangan Ahok ini tentu saja tidak didasari pemahaman yang benar tentang Islam. Teladan umat Islam sepanjang masa adalah Rasulullah SAW, yang bersikap lembut kepada sesama Muslim dan keras terhadap oraang kafir yang memusuhi Islam. Sedangkan Gus Dur terang-terangan sering bermesraan dengan Zionis-Israel. Siapakah Zionis-Israel? Jika Ahok tidak tahu, maka dia harus belajar lagi sejarah. Zionis-Israel adalah anak cucu dari orang-orang Yahudi Kabbalah yang membunuh Nabi Isa alias Yesus, tuhannya Ahok. (rz)
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/soal-gus-dur-sosok-muslim-ideal-jika-tidak-paham-islam-sebaiknya-ahok-diam-ahokasbun.htm#.VTvxiMZWxzk

Sabtu, 18 April 2015

Tuduhan Rasulullah Bisa Mengawini Semua Wanita

Assalamu’alaykum ustadz
Saya mendapat sebuah email spam dari seorang misionaris yang mengatakan bahwa rasulullah ‘diperbolehkan’ untuk ‘menggauli’ wanita mana saja termasuk istri yang sudah diceraikan, bahkan ‘dihalalkan’  anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibunya.
Sebenarnya maksud dari QS: Al-ahzab :50-51 ini bagaimana ustadz ? mohon pencerahannya
Terimakasih atas jawabannya
Wassalamu’alaykum
Waalaikumussalam Wr Wb
Perkataan bahwa Rasulullah saw diperbolehkan untuk menggauli wanita mana saja adalah perkataan buruk, dusta dan tidak berdasar yang biasa dikatakan oleh para pendengki syariat Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian perkataan ‘termasuk istri yang sudah diceraikan’ barangkali yang dimaksudkan oleh misionaris itu adalah pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab binti Jahsy. Sebagaimana diketahui bahwa sebelumnya Zainab adalah istri dari Zaid bin Haritsah sehingga terkadang dia dipanggil dengan Zaid bin Muhammad dan sesungguhnya pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab binti Jahsy—setelah diceraikan oleh Zaid—mengandung berbagai hikmah tasyri’iyah (perundang-undangan syariah) yaitu : membatalkan kebiasaan pengangkatan anak yang banyak tersebar luas dikalangan masyarakat jahiliyah.
Zaid mendatangi Nabi saw dengan mengeluhkan istrinya, Zainab. Dan sesungguhnya Allah swt telah memberitahu kepada Nabi-Nya bahwa Zaid akan menceraikannya lalu Nabi saw yang akan menikahinya. Kemudian Rasulullah saw menolaknya dengan mengatakan : “أمسك عليك زوجك واتق الله” (“Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah” (QS. Al Ahzab : 37)
Kemudian tatkala terjadi perpecahan antara Zainab dan Zaid yang kemudian dinikahi oleh Nabi saw dikarenakan hikmah tasyri’iyah yaitu membatalkan kebiasaan pengangkatan anak. (Markaz al Fatwa no. 1570)
Sebagaimana diketahui bahwa kebiasaan yang berlaku pada bangsa Arab didalam adopsi (tabanni) ini adalah mereka menyamakan anak angkat dengan anak-anak kandung mereka didalam warisan dan pernikahan atau menasabkan anak-anak angkat itu kepada mereka, seperti pemanggilan masyarakat Quraisy terhadap Zaid dengan Zaid bin Muhammad.
Adapun permasalahan kedua tentang ‘dihalalkan’ anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibunya sebagaimana disebutkan didalam surat al Ahzab ayat 50 :
وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ
Artinya : “Dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu” (QS. Al Ahzab : 50)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa ini merupakan sikap moderat dan tengah-tengah yang jauh dari peremehan dan berlebih-lebihan. Sesungguhnya seorang Nasrani tidaklah dibolehkan menikahi seorang wanita kecuali jika jarak antara laki-laki dan wanita itu dipisahkan dengan tujuh orang kakek atau lebih. Sedangkan didalam agama Yahudi maka dibolehkan seorang laki-lakinya menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki kandungnya dan anak perempuan dari saudara perempuan kandungnya.
Kemudian datanglah syariat (islam) yang sempurna dan suci ini menghancurkan sikap berlebih-lebihan orang-orang Nasrani dengan membolehkan menikahi anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya, anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya dan anak perempuan dari saudara perempuan ibunya.
Syariat ini juga mengharamkan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang membolehkan menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki kandungnya dan anak perempuan dari saudara perempuan kandungnya dan sungguh ini adalah perbutan buruk dan megerikan. (Tafsir al Qur’an al Azhim juz VI hal 442)
Wallahu A’lam
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/maksud-qs-al-ahzab-51.htm#.VTMBeMZWxzl

Kamis, 02 April 2015

Konsumsi Sayuran dan Telur Tingkatkan Penyerapan Karotenoid

Mengkonsumsi telur bersamaan dengan sayuran mentah menambah penyerapan karotenoid.
“Warga Amerika kurang mengkonsumsi sayuran. Dengan ini, kami berupaya meningkatkan nilai nutrisi sayuran, sekaligus mengambil keuntungan dari kuning telur,” kata ahli ilmu gizi dari Purdue University Wayne Campbell, dikutip dari laman sciencedaily.
Campbell dan rekannya mengadakan studi untuk melihat efek konsumsi telur terhadap penyerapan karotenoid dari salad sayuran mentah.
Dalam studi itu 16 pemuda yang sehat diminta memakan tiga versi salad: tanpa telur, dengan setengah telur orak-arik, dan tiga telur orak-arik.
Mereka yang makan jumlah telur terbanyak dengan salad berisi tomat, wortel parut, bayam, selada, dan goji berry menyerap karotenoid lebih banyak 3-9 kali.
Karotenoid yang terkandung di salad itu antara laim beta-karoten, alpha-karoten, likopen, lutein, dan zeaxanthin. Dua terakhir juga ditemukan di kuning telur.
“Lain kali, bila makan salad, tambahkan telur matang ke sayuran mentah,” kata Campbell.
“Tidak hanya lutein dan zeaxanthin yang ada di telur, tapi nilai sayuran juga bertambah,” tambah dia.
Penelitian ini bermula dari studi mereka sebelumnya yang menunjukkan bahwa menambah minyak tertentu ke salad sayuran mentah akan menambah penyerapan karotenoid.
Menurut Campbell, manfaat ini dapat dirasakan oleh semua orang dari segala usia.
Ia dan timnya berencana mengembangkan penelitian untuk melihat efeknya terhadap nutrisi yang larut lemak, termasuk vitamin D dan E.*

Bagaimana Hukum Islam Melihat Status Harta Gono Gini?

Assalamualaikum wr wb. Pak ustad saya sedang menghadapi perselisihan dengan istri saya di mana saya saat ini sedang menjalani proses perdamaian atas laporan istri ke polisian atas tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Saya di kenai pasal 144 KUHP dan tidak disertai ayat yang lebih jelas. Pada dasarnya saya terjadi keributan pendapat di antara kami.
Kami menikah secara hukum Islam. Saya diminta untuk minta maaf sama istri dan mencabut laporan saya di kepolisian.
Yang jadi pertanyaan saya di dalam hal perdamaian saya diminta membagi harta 1 unit rumah yang masih dalam kredit. Dengan uang muka (DP) pemberian orangtua sebesar 30%. Dan cicilan murni dari uang gaji saya (tidak ada uang gaji istri) apakah harta ini bisa disebut sebagai harta gono gini. Satu hal lagi, istri juga memiliki 1 rumah yang iya masih bayar kredit nya sampai sekarang. Rumah tersebut sudah dibeli secara kredit 3 tahun sebelum menikah, dan sampai sekarang masih menjalankan pembayaran setiap bulannya. Apakah rumah ini bisa di sebut sebagai harta gono gini? Atas waktu dan perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wasalam
Adi
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salah satu pengertian harta gono-gini adalah harta milik bersama suami-istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono-gini atau harta bersama.
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini.
Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :
Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “ash-Shulhu“ yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih.
Allah subhanhu wa ta’ala berfirman :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz  atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).“ (QS:  An Nisa’ : 128 )
Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Dari Amru’ bin Auf al-Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallu ‘Alaihi Wassallam bersabda: ”Perdamaian adalah boleh di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram.“  (HR: Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.
Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yang menyebutkan bahwa :
“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.
Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono- gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik istri. Wallahu A’lam.*/ (Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A)