Selasa, 25 April 2017

Nikah Siri

Sumber Gambar : Rukun-Islam.com
‘Nikah Siri adalah nikah secara diam-diam atau dirahasiakan. Kata Siri berasal dari bahasa Arab, Sirr, yang artinya rahasia.
Dalam kamus bahasa indonesia, siri artinya (1) sistem nilai sosiokultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dalam masyarakat Bugis; (2) keadaan tertimpa malu atau terhina dl masyarakat Bugis dan Makassar.
Masyarakat memahami Nikah Siri sebagai sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) alias “nikah di bawah tangan”. Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara agama, tapi tidak sah menurut hukum positif (hukum negara).
Ada juga pemahaman, nikah siri adalah nikah tanpa wali pihak istri. Jika nikah siri tanpa wali begini, maka hukumnya tidak sah baik secara agama maupun secara hukum negara.
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” (HR. Khomsah).
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil (tidak sah); pernikahannya batil; pernikahannya batil”. (HR Khomsah).
Jika nikah tanpa dicatat negara (KUA) alias diam-diam, namun ada wali sah, menurut syariat Islam itu sah selama memenuhi Rukun Nikah:
  1. Ada Wali,
  2. Dua orang saksi,
  3. Ijab qabul.
  4. Mahar

Risalah Islam mengajarkan, pernikahan harus diumumkan dan sebagai “alat bukti” (bayyinah) sudah sah sebagai pasangan suami-istri sekaligus menghindari fitnah.
Rasulullah Saw mengajarkan umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan Walimatul ‘Ursy. “Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Nikah Siri banyak risikonya, seperti dalam kasus sengketa pernikahan, hak waris, dan sebagainya yang diurus oleh pengadilan agama –karena tidak ada “alat bukti” buku nikah. Jika ada buku nikah, padahal nikah tidak di KAU, maka dipastikan buku nikahnya palsu dan ini sebuah kebohongan/penipuan yang hukumnya berdosa. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber:Eramuslim

Salah Kaprah "Sesaji" di Masyarakat Jawa


Sumber Gambar : Suara Merdeka
Masih sering saya temui dalam pesta pernikahan yang memakai adat jawa khususnya, banyak yang menerapkan tradisi sesaji. Sesaji ini biasanya diletakkan di dekat diesel sebagai sumber listrik untuk menyalakan soun sistem dan lampu. Juga biasanya diletakkan di tempat-tempat yang dicurigai ada gangguan makhluk halus.
Meskipun hal ini sering dilakukan. Tetapi pada dasarnya banyak yang tidak mengerti maksud dari “sesaji” ini. Bagi kalangan santri, pasti akan langsung memvonis kegiatan ini sebagai syirik. Saya juga tidak menyalahkan pendapat mereka. Karena pada kenyataannya memang kegiatan “sesaji” ini oleh pelakunya dimaksudkan untuk mengusir setan.
Tapi agar kita tidak sembarangan memvonis orang lain sebagai musyrik atau kafir, dan bagi para pelakunya agar tidak terjerumus lebih jauh pada perbuatan syirik maka saya akan menjelaskan tentang maksud dan tujuan sebenarnya dari “sesaji” ini.
Tujuan dari sesaji ini adalah menjauhkan dari gangguan setan. Hal ini tidaklah salah. Tapi jangan salah paham dulu setan yang dimaksud disini bukan dari kalangan bangsa jin, tapi dari kalangan bangsa manusia. Orang punya hajatan itu kan identik dengan kesenangan terutama makan-makan. Nah belum tentu juga orang lain, terutama tetangga kita juga bisa merasakan kesenangan tersebut. Mungkin saja mereka sedang kelaparan ketika kita sedang senang-senang. Jika tetangga kita termasuk orang baik mungkin bisa sabar jika tidak bisa ikut menikmati kesenangan. Tapi bagaimana jika tetangga kita orang yang usil, terlebih orang yang jahat ?.
Bisa saja dia akan mengganggu jalannya pesta pernikahan. Misal mematikan diesel sebagai sumber listrik. Nah untuk mencegah hal itu terjadi maka di dekat diesel tadi ditaruhlah “sesaji” itu. Yang biasanya berupa makanan, kelapa, rokok dan uang. Jika tadinya “tetangga” kita berniat mengganggu jalannya pesta pernikahan akibat rasa lapar, tapi karena di situ sudah ada makanan, rokok dan uang maka diapun tidak jadi mengganggu.
Lah buat apa mengganggu kalau dia sudah mendapatkan apa yang jadi “kebutuhannya”. Setelah perut kenyang, mulut bisa menghisap rokok, sudah punya bahan makanan yang akan dimasak dan uangpun dapat, pastinya dia akan pulang. Nah tuan rumahpun aman dari gangguan.
“Sesaji” ini biasanya juga masih bisa ditemui saat masyarakat akan memanen hasil padinya. Yang biasa disebut methik. Mereka meletakkan “sesaji” di pematang sawah. Lalu meninggalkannya. Ini sebenarnya bukan untuk memberikan sesaji pada dewi sri, tetapi untuk menghindari pencurian padi. Karena jaman orang tua kita dulu orang mencuri hanya karena masalah perut yang lapar.
Jadi sekali lagi, bahwa memang benar “sesaji” ini untuk menjauhkan dari gangguan setan. Tapi bukan dari kalangan jin, tapi dari kalangan manusia.
Berdasarkan Firman Allah SWT:
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ﴿٤﴾

(4)Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ﴿٥﴾

(5)yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ﴿٦﴾

(6)dari (golongan) jin dan manusia.


Mohon kiranya agar kita tidak dengan mudahnya memvonis saudara kita sebagai musyrik atau kafir. Dan bagi orang-orang yang masih melakukan kegiatan “sesaji” agar lebih diluruskan lagi niatnya, diperbaiki caranya. Agar tidak terjerumus pada kemusyrikan.