Kejahatan, perilaku tak senonoh yang termasuk dalam
maksiat akhir-akhir seolah menjadi suguhan masyarakat. Para pelakunya
tak hanya orang dewasa dan orang tak terdidik. Maksiat bahkan dilakukan
usia anak-anak hingga abdi negara, petugas hukum bahkan ahli agama.
Di media sosial diramaikan dengan peristiwa cukup menyedihahkan,
seorang pelajar berpakaian seragam sekolah tertangkap masyarakat karena
melahirkan di kebun.
Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPP) menangkap mantan
bupati Bangkalan-Madura yang dikenal seorang abdi pemerintah sekaligus
tokoh agama setempat.
Bagi orang Bugis Bone, dikenal istilah menjunjung tinggi siri’—harga
diri—serta sangat mencela perbuatan biadab dan memalukan. Masyarakat
Bone percaya bahwa jika maksiat telah merajalela, maka bencana (bala’)
hanya menunggu waktu. Padahal itu hanya ditinjau dari segi adat,
bagaimana agama?
Maksiat dari segi bahasa bermakna durhaka dari segi istilah ialah
perbuatan yang membawa dosa yaitu yang bertentangan dengan akidah,
syariat dan ajaran Islam karena melakukan larangan Allah dan Rasulnya.
Maksiat bisa merusak agama, iman, akhlak, kemuliaan diri dan
kesejahteraan individu, keluarga, masyarakat, negara dan umat secara
keseluruhan.
Umat Islam memiliki satu konsep yang dipahami secara konsensus bahwa
perintah dan larangan dalam agama dapat dijalankan dengan dasar ta’abbudi—kepatuhan sebagai hamba Allah (abdullah) tanpa banyak bicara —dan ta’aqquli—dapat
dinalar oleh akal. Oleh karena itu,bahaya maksiat ditinjau dari dua
segi di atas, ta’abbudi maupun ta’aqquli sangat jelas dan terang.
Sebagai contoh, adanya larangan untuk mengkonsumsi daging babi, bagi
segenap umat Muhammad, mematuhi larangan tersebut adalah sebuah
keniscayaan tanpa ada protes, mengapa dan bagaimana hal itu terlarang,
inilah bentuk ta’abbudi. Belakangan didapati bahwa ternyata memakan
daging babi akan mendatangkan penyakit tertentu karena pada daging
tersebut mengandung cacing pita.
Itu berarti menghindari daging babi akan mendatangkan kemaslahatan,
inilah bentuk ta’aqquli. Kecuali itu, ada pula ta’abbudi dan ta’aqquli
sekaligus, seperti larangan berzina dengan menghukum pelakunya seberat
mungkin, karena memang telah terdapat larangan untuk
mendekatinya—apalagi melakukannya—dalam bentuk wahyu Al-Qur’an dan hadis
Nabi juga telah dipaparkan cara-cara pelaksanaan hukumannya dengan
gamblang, tidak ada ruang untuk mengingkarinya, ini dipandang dari
ta’abbudi sedang dari ta’aqquli jelas-jelas bahwa zina adalah perbuatan
yang dapat merugikan kedua belah pihak, terutama wanita yang menjadi
korban, dan dalam tahap tertentu—jika terlalu bebas—dapat mendatangkan
penyakit (kutukan) seperti HIV/AIDS.
Perbuatan maksiat, jika ditinjau dari segi sosial akan merugikan
masyarakat karena jika musibah datang tidak hanya menimpa pada pelakunya
seorang, akan tetapi pada segenap masyarakat yang ada di sekitar pelaku
maksiat, sebagaimana disitir Al-Qur’an, Wattaqu fitnatan la tushibanna
al-ladzina dzalamu minkum khassah. Takutlah akan musibah–akibat
maksiat–yang jika turun tidak hanya menimpa para pelaku maksiat, (QS.
Al-Anfal: 25).
Sedang jika ditinjau dari segi personal, pelaku maksiat akan
mendatangkan banyak kehinaan. Berikut, beberapa implikasi yang
ditimbulkan oleh maksiat.
Pertama. Maksiat Menghalangi Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan
dalam diri kita dapat menghalangi dan memadamkan cahaya tersebut.
Karena itu, tatkala Imam Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan Imam
Malik untuk belajar, Imam Malik sangat kagum akan kecerdasan dan daya
hafalnya hingga beliau bertutur, “Aku melihat Allah telah menyiratkan
cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu
dengan maksiat. “Imam Syafi’i bertutur, Aku mengadu tentang kelemahan
hafalanku yang buruk. Dia memberiku bimbingan untuk meninggalkan
kemaksiatan seraya berkata, ‘Ketahuilah, ilmu adalah cahaya. Dan cahaya
Allah tidak diberikan kepada si pelaku dosa dan kemaksiatan’[Syakautu
ila waqi’i ‘an su’a hifdzi. Fa’arsyadani ila tarkil-ma’ashi. Fa
akhbarani biannal-‘ilma nurun wa nurullah la yuhda lil ‘ashy!].
Kedua; Maksiat Menghalangi Rezeki
Dalam kitab “Musnad Ahmad” disebutkan, “Seorang hamba dicegah dari
rezki akibat dosa yang diperbuatnya”. Jika ketakwaan merupakan penyebab
datangnya rezeki, maka meninggalkannya dapat menimbulkan kekafiran.
Tidak ada satupun yang dapat memudahkan rezeki Allah kecuali dengan
meninggalkan maksiat.
Ketiga, Maksiat Menimbulkan Jarak dengan Allah
Jauh atau sunyinya hati seorang manusia dari cahaya Allah disebabkan
oleh perbuatan maksiatnya. Tidak ada perbuatan meninggalkan dosa yang
dapat menghilangkan kesunyian tersebut kecuali berwaspada dari perbuatan
maksiat. Seseorang yang berakal tentu akan dengan mudah meninggalkan
kesunyian itu. Diriwayatkan, bahwa ada seorang laki-laki yang mengeluh
kepada seorang yang arif tentang kesunyian jiwanya. Sang Arif berpesan,
Jika kegersangan hatimu akibat dosa-dosa , maka tinggalkanlah. Dalam
hati, tak ada perkara yang lebih pahit daripada kegersangan dosa di atas
dosa.
Keempat; Maksiat Menjauhkan Pelakunya dengan Orang Lain
Kemaksiatan dapat menjauhkan seorang manusia dengan manusia yang
lain, lebih-lebih dengan golongan yang baik. Semakin kuat tekanan
perasaan tersebut, semakin jauhlah ia dari mereka dan semakin
terhalangilah berbagai manfaat dari mereka; akhirnya dia semakin
mendekati setan. Kesunyian dan kegersangan itu semakin menguat hingga
berpengaruh pada hubungan dia dengan istri dan anak-anaknya, juga antara
dia dengan nuraninya sendiri. Seorang salaf berkata, Sesungguhnya aku
bermaksiat kepada Allah, maka aku lihat pengaruhnya pada perilaku
binatang dan istriku.
Kelima; Maksiat Menyulitkan Urusan
Pelaku maksiat akan menghadapi kesulitan dalam mengatasi segala
masalahnya sebagaimana ketakwaan dapat memudahkan segala urusan.
Karenanya, sungguh mengherankan jika seorang hamba sulit menghampiri
pintu-pintu kebenaran sementara penyebabnya tidak ia ketahui.
Keenam, Maksiat Menggelapkan Hati
Pelaku maksiat akan senantiasa mengalami kegelapan hati seperti
gelapnya malam. Ketaatan itu adalah cahaya sebagaimana sinar matahari,
sedangkan kemaksiatan adalah gelap gulita di malam hari. Ibnu Abbas r.a
berkata, Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan pencerahan pada
wajah dan cahaya pada hati, kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan
kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengandung ketidakceriaan
pada raut muka, kegelapan di kubur dan di hati, kelemahan badan,
susutnya rezeki, dan kebencian makhluk.*
/Ilham Kadir, MA. Mahasiswa program doktoral Universitas Ibnu Khaldun Bogor
http://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2014/12/08/34578/20-alasan-bahaya-maksiat-bagian-pertama.html#.VIYTtp520r8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar