Uang yang berlimpah saja tidak cukup. Saat
kita serba kekurangan, uang memang bisa memberi kebahagiaan yang sangat
besar. Lebih-lebih ketika perut dililit rasa lapar, sementara tangis
anak-anak yang menginginkan mainan tak bisa kita redakan karena tak ada
uang. Tetapi ketika Allah Ta’ala telah memberi kita kecukupan rezeki,
permata yang terbaik pun tidak cukup untuk menunjukkan cinta kita kepada
istri. Ada yang lebih berharga daripada ruby atau berlian yang paling
jernih. Ada yang lebih membahagiakan daripada sutera yang paling halus
atau jam tangan paling elegan.
Apa itu? Waktu kita dan perhatian kita.
Kita punya waktu setiap hari. Tidak ada
perbedaan sedikit pun antara waktu kita dan waktu yang dimiliki
orang-orang sibuk di seluruh dunia.
Kita juga mempunyai waktu luang yang tidak
sedikit. Hanya saja, kerapkali kita tidak menyadari waktu luang itu. Di
pesawat misalnya, kita punya waktu luang yang sangat banyak untuk
membaca. Tetapi karena tidak kita sadari –dan akhirnya tidak kita
manfaatkan dengan baik—beberapa tugas yang seharusnya bisa kita
selesaikan di perjalanan, akhirnya mengambil hak istri dan anak-anak
kita. Waktu yang seharusnya menjadi saat-saat yang membahagiakan mereka,
kita ambil untuk urusan yang sebenarnya bisa kita selesaikan di luar
rumah.
Bagaimana kita menghabiskan waktu bersama
istri di rumah juga sangat berpengaruh terhadap perasaannya. Satu jam
bersama istri karena kita tidak punya kesibukan di luar, berbeda sekali
dengan satu jam yang memang secara khusus kita sisihkan. Bukan kita
sisakan.
Menyisihkan waktu satu jam khusus untuknya
akan membuat ia merasa lebih kita cintai. Ia merasa istimewa. Tetapi
dua jam waktu sisa, akan lain artinya.
Sayangnya, istri kita seringkali hanya
mendapatkan waktu-waktu sisa dan perhatian yang juga hanya sisa-sisa.
Atau, kadang justru bukan perhatian baginya, melainkan kitalah yang
meminta perhatian darinya untuk menghapus penat dan lelah kita. Kita
mendekat kepadanya hanya karena kita berhasrat untuk menuntaskan gejolak
syahwat yang sudah begitu kuat. Setelah itu ia harus menahan dongkol
mendengar suara kita mendengkur.
Astaghfirullahal ‘adziim….
Lalu atas dasar apa kita merasa telah
menjadi suami yang baik baginya? Atas dasar apa kita merasa menjadi
bapak yang baik, sedangkan kunci pembuka yang pertama, yakni cinta yang
tulus bagi ibu anak-anak kita tidak ada dalam diri kita.
Sesungguhnya, kita punya waktu yang banyak
setiap hari. Yang tidak kita punya adalah kesediaan untuk meluangkan
waktu secara sengaja bagi istri kita.
Waktu untuk apa? Waktu untuk bersamanya.
Bukankah kita menikah karena ingin hidup bersama mewujudkan cita-cita
besar yang sama? Bukankah kita menikah karena menginginkan kebersamaan,
sehingga dengan itu kita bekerja sama membangun rumah-tangga yang di
dalamnya penuh cinta dan barakah? Bukan kita menikah karena ada kebaikan
yang hendak kita wujudkan melalui kerja-sama yang indah?
Tetapi…
Begitu menikah, kita sering lupa.
Alih-alih kerja-sama, kita justru sama-sama kerja dan sama-sama menomor
satukan urusan pekerjaan di atas segala-galanya. Kita lupa menempat¬kan
urusan pada tempatnya yang pas, sehingga untuk bertemu dan berbincang
santai dengan istri pun harus menunggu saat sakit datang. Itu pun
terkadang tak tersedia banyak waktu, sebab bertumpuk urusan sudah
menunggu di benak kita.
Banyak suami-istri yang tidak punya waktu
untuk ngobrol ringan berdua, tetapi sanggup menghabiskan waktu
berjam-jam di depan TV. Seakan-akan mereka sedang menikmati kebersamaan,
padahal yang kerapkali terjadi sesungguhnya mereka sedang menciptakan
ke-sendirian bersama-sama. Secara fisik mereka berdekatan, tetapi
pikiran mereka sibuk sendiri-sendiri.
Tentu saja bukan berarti tak ada tempat
bagi suami istri untuk melihat tayangan bergizi, dari TV atau komputer
(meski saya dan istri memilih tidak ada TV di rumah karena sangat sulit
menemukan acara bergizi. Sampah jauh lebih banyak). Tetapi ketika
suami-istri telah terbiasa menenggelamkan diri dengan tayangan TV untuk
menghapus penat, pada akhirnya bisa terjadi ada satu titik ketika hati
tak lagi saling merindu saat tak bertemu berminggu-minggu. Ada
pertemuan, tapi tak ada kehangatan. Ada perjumpaan, tapi tak ada
kemesraan. Bahkan percintaan pun barangkali tanpa cinta, sebab untuk
tetap bersemi, cinta memerlukan kesediaan untuk berbagi waktu dan
perhatian.
Ada beberapa hal yang bisa kita kita
lakukan untuk menyemai cinta agar bersemi indah. Kita tidak
memperbincangkannya saat ini. Secara sederhana, jalan untuk menyemai
cinta itu terutama terletak pada bagaimana kita menggunakan telinga dan
lisan kita dengan bijak terhadap istri atau suami kita. Inilah kekuatan
besar yang kerap kali diabaikan. Tampaknya sepele, tetapi akibatnya bisa
mengejutkan.
Tentang bagaimana menyemai cinta di rumah
kita, silakan baca kembali Agar Cinta Bersemi Indah (Gema Insani Press,
2002, edisi revisi insya Allah akan diterbitkan Pro-U Media).
Selebihnya, di atas cara-cara menyemai cinta, yang paling pokok adalah
kesediaan kita untuk meluangkan waktu dan memberi perhatian. Tidak ada
pendekatan yang efektif jika kita tak bersedia meluangkan waktu untuk
melakukannya.
Nah.
Jika istri merasa dicintai dan
diperhatikan, ia cenderung akan memiliki kesediaan untuk mendengar dan
mengasuh anak-anak dengan lebih baik. Ia bisa memberi perhatian yang
sempurna karena kebutuhannya untuk memperoleh perhatian dari suami telah
tercukupi. Ia bisa memberikan waktunya secara total bagi anak-anak
karena setiap saat ia mempunyai kesempatan untuk mereguk cinta bersama
suami. Bukankah tulusnya cinta justru tampak dari kesediaan kita untuk
berbagi waktu berbagi cerita pada saat tidak sedang bercinta?
Kerapkali yang membuat seorang ibu
kehilangan rasa sabarnya adalah tidak adanya kesediaan suami untuk
mendengar cerita-ceritanya tentang betapa hebohnya ia menghadapi
anak-anak hari ini. Tak banyak yang diharapkan istri. Ia hanya berharap
suaminya mau mendengar dengan sungguh-sungguh cerita tentang anaknya
–tidak terkecuali tentang bagaimana seriusnya ia mengasuh anak—dan itu
“sudah cukup” menjadi tanda cinta. Kadang hanya dengan kesediaan kita
meluangkan waktu untuk berbincang berdua, rasa capek menghadapi anak
seharian serasa hilang begitu saja. Seakan-akan tumpukan pekerjaan dan
hingar-bingar tingkah anak sedari pagi hingga malam, tak berbekas
sedikit pun di wajahnya.
Alhasil, kesediaan untuk secara sengaja
menyisihkan waktu bagi istri tidak saja mem¬buat pernikahan lebih terasa
maknanya, lebih dari itu merupakan hadiah terbaik buat anak. Perhatian
yang tulus membuat kemesraan bertambah-tambah. Pada saat yang sama,
menjadikan ia memiliki semangat yang lebih besar untuk sabar dalam
mengasuh, mendidik dan menemani anak.
Ya… ya… ya…, cintailah istri Anda sepenuh
hati agar ia bisa menjadi ibu yang paling ikhlas mendidik anak-anaknya
dengan cinta dan perhatian. Semoga!
Mohammad Fauzil Adhim adalah penuli buku-buku parenting.Twitter @Kupinang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar