Senin, 15 Desember 2014

Ukhti, Inilah Jalan Surgamu yang Ringan

Sore itu Ummu Abdillah duduk termenung di depan rumahnya sambil memegang sapu, senjata andalannya. Bajunya agak basah setelah sebelumnya harus mencuci piring dan baju. Mengurus lima anak memang membuat Ummu Abdillah tak bisa ke mana-mana. Hanya saja sore itu ia bisa bernafas lega karena ketiga anaknya sedang bermain ke rumah nenek, nan jauh di seberang kota.
Sembari melihat tetangganya yang terbiasa duduk di serambi rumah tiap sore, ia mulai tercenung. Selintas pikiran menggelayut di otaknya. Entah bisikan siapa, tapi itu membuat Ummu Abdillah mengernyitkan dahi meski seorang diri. “Ah, alangkah enaknya orang-orang itu. Setiap sore bisa duduk santai seperti ini. Tanpa memikirkan beban orang lain (baca: ummat)” pikirnya.
Memang Ummu Abdillah jarang bisa bersantai seperti sore itu. Waktunya habis untuk rumah. Entah mencuci pakaian, menyapu rumah, meladeni si kecil yang baru 1 tahun, meladeni si Aya bermain sepeda, memasak, dan seabrek pekerjaan lainnya yang selalu menghiasi Ummu Abdillah 24 jam sehari.
Belum lagi jika harus mengisi TPA, pengajian ummahat, atau membantu pekerjaan suami menyiapkan barang dagangan sebelum dibawa ke pasar. Membuat waktu untuk bersantai seperti sore itu nyaris tiada.
Suami Ummu Abdillah juga bukan orang kaya yang bisa membeli apa saja yang Ummu Abdillah inginkan. Belum lagi banyak waktu suami yang tersita untuk ummat. Kadang dua hari suami Ummu Abdillah tidak pulang, karena ada tugas dakwah yang harus diselesaikan.
Tapi tiba-tiba Ummu Abdillah terhenyak. Ia ingat kembali dengan ghirahnya dahulu saat masih remaja. Saat cita-cita diperistri aktivis dengan segala risikonya begitu menggelora. Ia ingin mengabdi pada Islam lewat pengabdiannya pada suaminya.
Dulu ia membayangkan alangkah indahnya dalam suasana seperti itu. Membangun keluarga yang tujuan utamanya adalah iqamatuddin dengan segala pernak-pernik yang menghiasinya.
Ia teringat kembali pesan ustadzahnya dulu yang mengampunya bahwa pernikahan dengan seorang aktivis tidak mudah. Harus dobel bekalnya, karena selain masalah keluarga, suami, juga harus memikirkan juga masalah ummat. Mau tidak mau, energi, waktu, bahkan harta harus “terkurangi” ke sana.
Otomatis jatah pekerjaan yang dipikul jadi lebih berat. Pesannya juga yang lain bahwa orang awam pun mengalami hal yang sama. Ia juga bergelut dengan waktu mengurusi keluarga dan anaknya. Bedanya, ada waktu yang harus dikurangi untuk ummat dan iqamatuddin bagi seorang aktivis.
Ummu Abdillah teringat kembali nasihat suaminya saat awal-awal pernikahan tentang hadits Asma’ binti Umais.
Suatu ketika Asma’ mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah yang di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan wanita, kemudian kami beriman kepada anda dan membai’at Engkau.
Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum laki-laki dan kami adalah tempat menyalurkan syahwatnya.
Kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Akan tetapi kaum laki-laki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, dan berjihad.
Apabila mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka. Maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah SAW  menoleh kepada para sahabat dan bersabda, “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”
Para sahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya, Rasulullah!”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita yang berada di belakangmu, bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, upayanya untuk mendapat keridhaan suaminya, dan ketundukkannya untuk senantiasa menaati suami, itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum laki-laki.”
Maka kembalilah Asma’ sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW. (HR. Muslim)
Alangkah indahnya hadits ini, membuat Ummu Abdillah bergetar tanpa ia sadari. Ia bersyukur pada Allah atas segala karunia-Nya. Bahwa ia harus berjubel dengan waktu, bergelut dengan keadaan yang kadang menyesakkan hati, itu semua merupakan jalan yang Allah pilihkan kepadanya agar senantiasa kembali dan ingat pada-Nya.
Kesibukannya bukan kesibukan sepele seperti orang pada umumnya. Bukan masalah kurang jatah belanja, bukan ngrumpi artis, bukan karena sinetron di TV yang mengharu biru,  masalah model baju dan dandanan yang kurang menor, atau menggunjing tetangga yang tiada habisnya.
Ia diselamatkan oleh Allah ta’ala dari itu semua karena jalan yang terasa “membosankan” ini. Melayani suami dengan mendidik dan merawat anak-anaknya, tidak mudah mengeluh saat suami ke luar rumah merupakan bentuk ibadah tersendiri yang menyamai ibadah suami.
Bahkan, ibadah jenis ini sedikit tercemar unsur riya’ dan sum’ah yang banyak menggerogoti amal, karena dilakukan sendiri, di rumah.
Akhirnya lamunan Ummu Abdillah buyar dengan senyum simpul di ujung bibirnya sembari menghampiri suami yang baru pulang dari tugasnya. Seperti sore-sore sebelumnya… 
http://www.lasdipo.com/bilik-muslimah/2014/12/07/ukhti-inilah-jalan-surgamu-yang-ringan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar