Sore itu Ummu Abdillah duduk termenung
di depan rumahnya sambil memegang sapu, senjata andalannya. Bajunya agak
basah setelah sebelumnya harus mencuci piring dan baju. Mengurus lima
anak memang membuat Ummu Abdillah tak bisa ke mana-mana. Hanya saja sore
itu ia bisa bernafas lega karena ketiga anaknya sedang bermain ke rumah
nenek, nan jauh di seberang kota.
Sembari melihat tetangganya yang
terbiasa duduk di serambi rumah tiap sore, ia mulai tercenung. Selintas
pikiran menggelayut di otaknya. Entah bisikan siapa, tapi itu membuat
Ummu Abdillah mengernyitkan dahi meski seorang diri. “Ah, alangkah
enaknya orang-orang itu. Setiap sore bisa duduk santai seperti ini.
Tanpa memikirkan beban orang lain (baca: ummat)” pikirnya.
Memang Ummu Abdillah jarang bisa
bersantai seperti sore itu. Waktunya habis untuk rumah. Entah mencuci
pakaian, menyapu rumah, meladeni si kecil yang baru 1 tahun, meladeni si
Aya bermain sepeda, memasak, dan seabrek pekerjaan lainnya yang selalu
menghiasi Ummu Abdillah 24 jam sehari.
Belum lagi jika harus mengisi TPA,
pengajian ummahat, atau membantu pekerjaan suami menyiapkan barang
dagangan sebelum dibawa ke pasar. Membuat waktu untuk bersantai seperti
sore itu nyaris tiada.
Suami Ummu Abdillah juga bukan orang
kaya yang bisa membeli apa saja yang Ummu Abdillah inginkan. Belum lagi
banyak waktu suami yang tersita untuk ummat. Kadang dua hari suami Ummu
Abdillah tidak pulang, karena ada tugas dakwah yang harus diselesaikan.
Tapi tiba-tiba Ummu Abdillah terhenyak.
Ia ingat kembali dengan ghirahnya dahulu saat masih remaja. Saat
cita-cita diperistri aktivis dengan segala risikonya begitu menggelora.
Ia ingin mengabdi pada Islam lewat pengabdiannya pada suaminya.
Dulu ia membayangkan alangkah indahnya
dalam suasana seperti itu. Membangun keluarga yang tujuan utamanya
adalah iqamatuddin dengan segala pernak-pernik yang menghiasinya.
Ia teringat kembali pesan ustadzahnya
dulu yang mengampunya bahwa pernikahan dengan seorang aktivis tidak
mudah. Harus dobel bekalnya, karena selain masalah keluarga, suami, juga
harus memikirkan juga masalah ummat. Mau tidak mau, energi, waktu,
bahkan harta harus “terkurangi” ke sana.
Otomatis jatah pekerjaan yang dipikul
jadi lebih berat. Pesannya juga yang lain bahwa orang awam pun mengalami
hal yang sama. Ia juga bergelut dengan waktu mengurusi keluarga dan
anaknya. Bedanya, ada waktu yang harus dikurangi untuk ummat dan
iqamatuddin bagi seorang aktivis.
Ummu Abdillah teringat kembali nasihat suaminya saat awal-awal pernikahan tentang hadits Asma’ binti Umais.
Suatu ketika Asma’ mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan
bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi
seluruh wanita muslimah yang di belakangku, seluruhnya mengatakan
sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan
pendapatku. Sesungguhnya Allah mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan
wanita, kemudian kami beriman kepada anda dan membai’at Engkau.
Adapun kami para wanita terkurung dan
terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum
laki-laki dan kami adalah tempat menyalurkan syahwatnya.
Kamilah yang mengandung anak-anak
mereka. Akan tetapi kaum laki-laki mendapat keutamaan melebihi kami
dengan shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, dan berjihad.
Apabila mereka keluar untuk berjihad,
kamilah yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka. Maka
apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan
amalan mereka?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah SAW menoleh kepada para sahabat dan bersabda, “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”
Para sahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya, Rasulullah!”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan
beritahukan kepada para wanita yang berada di belakangmu, bahwa
perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, upayanya
untuk mendapat keridhaan suaminya, dan ketundukkannya untuk senantiasa
menaati suami, itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu
sebutkan yang dikerjakan oleh kaum laki-laki.”
Maka kembalilah Asma’ sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW. (HR. Muslim)
Alangkah indahnya hadits ini, membuat
Ummu Abdillah bergetar tanpa ia sadari. Ia bersyukur pada Allah atas
segala karunia-Nya. Bahwa ia harus berjubel dengan waktu, bergelut
dengan keadaan yang kadang menyesakkan hati, itu semua merupakan jalan
yang Allah pilihkan kepadanya agar senantiasa kembali dan ingat
pada-Nya.
Kesibukannya bukan kesibukan sepele
seperti orang pada umumnya. Bukan masalah kurang jatah belanja, bukan
ngrumpi artis, bukan karena sinetron di TV yang mengharu biru, masalah
model baju dan dandanan yang kurang menor, atau menggunjing tetangga
yang tiada habisnya.
Ia diselamatkan oleh Allah ta’ala dari
itu semua karena jalan yang terasa “membosankan” ini. Melayani suami
dengan mendidik dan merawat anak-anaknya, tidak mudah mengeluh saat
suami ke luar rumah merupakan bentuk ibadah tersendiri yang menyamai
ibadah suami.
Bahkan, ibadah jenis ini sedikit
tercemar unsur riya’ dan sum’ah yang banyak menggerogoti amal, karena
dilakukan sendiri, di rumah.
Akhirnya lamunan Ummu Abdillah buyar
dengan senyum simpul di ujung bibirnya sembari menghampiri suami yang
baru pulang dari tugasnya. Seperti sore-sore sebelumnya…
http://www.lasdipo.com/bilik-muslimah/2014/12/07/ukhti-inilah-jalan-surgamu-yang-ringan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar