MASYHUR dan shahih periwayatan dari Imam As Syafi’i, bahwa beliau telah menyatakan, ”Jika kalian melihat dalam kitabku menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam maka tinggalkanlah perkataanku”, atau angkapan yang semakna dengannya, ”Jika telah shahih sebuah hadits, maka ia adalah madzhabku”.
Para ulama mujtahid, semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas,
Imam As Syafi’i juga menyatakan hal yang semakna dengan apa yang telah
disampaikan oleh Imam As Syafi’i.
Namun, apakah itu bermakna bahwa siapa saja ketika mengetahui hadits
shahih maka ia bisa mengatakan, ”Ini adalah madzhab As Syafi’i”, lalu ia
mengamalkan makna dzahir dari hadits itu? Ternyata tidak demikian.
Para ulama mu’tabar telah menjelaskan maksud dari pernyataan para imam mujtahid
tersebut serta menetapkan kriteria siapa yang memiliki kapasitas dalam
menilai bahwa pendapat Imam telah bertentangan dengan hadits shahih, sehingga perlu didahulukan hadits shahih tersebut daripada pernyataan sang Imam?
Kapasitas dalam Menilai Pendapat Imam untuk Dihadapkan dengan Hadits Shahih
Dalam hal ini, Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan, bahwa beberapa
ulama besar As Syafi’iyah melakukan hal ini, yakni berfatwa dengan
hadits ketika melihat bahwa pendapat madzhab berselisihan
dengan hadits. Semisal dari mereka adalah Imam Al Buwaithi, Abu Qasim Ad
Dariki serta Abu Hasan Ath Thabari (lihat, Adab Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 53).
Kemudian Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan bahwa mereka yang
melakukan hal ini tidaklah banyak dan beliau menyampaikan, ”Hal ini
bukanlah perkara yang remeh, tidak setiap faqih mudah baginya independen
dalam mengamalkan apa yang ia pandang sebagai hujjah dalam hadits”.
(lihat, Adab Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 54)
Dari para ulama yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Shalah, diketahui bahwa yang mampu melakukan hal ini adalah mujtahid madzhab.
Imam An Nawawi juga menjelaskan,”Hal ini, apa yang dikatakan As
Syafi’i, bukan bermakna bahwa siapa saja yang melihat hadits shahih dia
mengatakan,’ini adalah madzhab As Syafi’i’, dan mengamalkan dzahirnya.
Dan sesungguhnya hal ini bagi siapa yang sampai pada derajat ijtihad
dalam madzhab”. (Al Majmu’, 1/105)
Selanjutnya, Imam An Nawawi menyampaikan,”Dan syaratnya dalam
prasangkanya didominasi bahwa As Syafi’i-semoga Allah merahmatinya-belum
mengetahui hadits tersebut atau belum mengetahui keshahihannya. Hal ini
tidak lain setelah mentela’ah kitab-kitab As Syafi’I seluruhnya
demikian juga kitab-kitab para pengikutnya yang mengambil darinya juga
yang semisal dengan kitab-kitab tersebut. Dan syarat ini sulit, sedikit
orang yang memiliki sifat tersebut.” (Al Majmu’, 1/105)
Perlunya syarat itu menurut Imam An Nawawi, dikarenakan Imam As
Syafi’i sengaja meninggalkan pengamalan dhahir hadits yang beliau
mengatahuinya dan itu cukup banyak. Hal itu dikarenakan beliau
memperoleh dalil yang menunjukkan kecacatan, naskh, takhsis atau
melakukan takwil padanya. (lihat, Al Majmu’, 1/105)
Sedangkan pengetahuan Imam As Syafi’I yang menyeluruh mengenai hadits
hukum, Ibnu Huzaimah yang merupakan hafidz hadits yang juga seorang
faqih yang telah mengkaji pendapat-pendapat Imam As Syafi
menyatakan,”Aku tidak mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam dalam masalah halal dan haram yang tidak dicantumkan As Syafi’i
dalam kitab-kitabnya”. (lihat Al Majmu, 1/105)
Dengan demikian, amat kecil kemungkinan ada hadits yang terlewat dari
kajian Imam As Syafi’i. Namun meski demikian tetap ada upaya koreksi
terhadap pendapat Imam madzhab yang telah dilakukan oleh para ulama derajat yang sampai pada mujtahid madzhab, seperti masalah tatswib, rajih dalam madzhab adalah Sunnah, dikarenakan adanya dalil shahih, meski bertentangan dengan pendapat jadid Imam As Syafi’i.
Kritik terhadap Ulama yang Tidak Tepat dalam Menerapkan Pernyataan Imam As Syafi’i
Para ulama menyebutkan sejumlah ulama yang menerapkan kaidah Imam As
Syafi’i di atas, namun kurang tepat dalam pelaksaannya. Diantara adalah
Ibnu Al Jarud yang menyampaikan, ”Telah shahih hadits mengenai
batalnya puasa orang yang membekam dan yang dibekam. Maka aku berkata,
’As Syafi’i menyatakan, ’telah berbuka orang yang membekam dan yang
dibekam’”. Para ulama pun menyanggah pendapat Ibnu Al Jarud, karena Imam
As Syafi’i telah mengetahui hadits tersebut dan sengaja
meninggalkannya, karena menurut beliau hadits itu mansukh. (lihat, Al Majmu’, 1/105)
Hal yang sama terjadi pada Abu Al Walid An Naisaburi, ulama madzhab
As Syafi’i yang mengikuti pendapat Ibnu Al Jarud dalam masalah
berbukanya orang yang dibekam dan yang membekam. Para ulama Syafi’iyah
pun menyanggah beliau sebagaimana menyanggah Ibnu Al Jarud. Menurut Imam
As Subki, hal itu terjadi karena keterbatasan upaya mereka dalam
melakukan pengkajian (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi, hal. 95).
Hal serupa terjadi pada Abu Al Hasan Al Karaji, yang meninggalkan qunut Shubuh dengan argumen, ”Telah shahih hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meninggalkan qunut shubuh”. Imam As Subki sempat meninggalkan qunut shubuh karena pendapat tersebut. Namun setelah mengetahui bahwa yang ditinggalkan dari qunut waktu Shubuh dan di luarnya adalah berdoa atas qabilah Ri’l dan Dzakwan, sedangkan doa qunut Shubuh secara mutlak ada haditsnya, beliau pun kembali berqunut.
As Subki pun menyampaikan, ”Tidak ada sedikitpun permasalahan hal itu
dengan pernyataan As Syafi’i, dan sesungguhnya keterbatasan menimpa kita
dalam sejumlah pandangan”. (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi, hal. 95)
Jika para ulama besar terkadang kurang tapat, karena keterbatasan
dalam upaya melakukan kajian dalam menerapkan pernyataan Imam As
Syafi’i, bagaimana dengan kita yang alim pun tidak, faqih pun bukan
mujtahid apalagi, yang menyeru untuk mengoreksi pendapat Imam As Syafi’i
dan meninggalkannya, dengan alasan bahwa madzhab As Syafi’i adalah hadits shahih.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/05/29/22287/hadits-shahih-madzhabku-ditujukan-kepada-mujtahid.html#.VHvUZp520r8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar