Tidak bisa
dipungkiri bahwa para ulama telah menyampaikan pernyataan dari imam
mujtahid semisal Imam As Syafi’i dan Imam Ahmad, ungkapan yang secara
dhahir menunjukkan bahwa kedua ulama tersebut melarang taqlid.
Pernyataan Imam As Syafi’i yang masyhur dalam masalah ini adalah yang
dinukil oleh murid beliau Imam Al Muzani. Dimana dalam muqadimah
Mukhtashar Al Muzani beliau menyebutkan, bahwa Imam As Syafi’i melarang
untuk taqlid kepada dirinya dan kepada para mujtahid lainnya. (lihat,
Mukhtashar Al Muzani fi Furu’ As Syafi’iyah, hal. 7)
Secara sepintas, dari pernyataan Imam Al Muzani tersebut bisa
dipahami bahwa seakan-akan Imam As Syafi’i melarang mutlak kepada siapa
saja untuk bertaklid kepada beliau, juga kepada para mujtahid lainnya.
Namun sebenarnya makna pernyataan Imam Al Mizani tersebut amat mendalam,
sehingga para ulama Syafi’iyah sendiri perlu menjelaskan apa yang
terkandung dibalik pernyataan tersbut, siapa pula yang dituju dalam
pernyataan tersebut.
Penjelasan Imam Al Mawardi
Adalah Imam Al Mawardi penulis Al Hawi Al Kabir yang
merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Mukhtashar Al Muzani itu
menjelaskan, bahwa para ulama Syafi’iyah sendiri berbeda pendapat
mengenai siapa yang terkena sasaran oleh perkataan Imam As Syafi’i untuk
tidak taqlid kepada beliau dan kepada ulama lainnya. Namun pendapat Abu
Ishaq Al Marwazi dan mayoritas Syafi’iyah berpendapat bahwa perkataan
itu ditujukan kepada Imam Al Muzani, yakni murid dari Imam As
Syafi’i,”….Maka larang untuk taklid datang dari As Syafi’i kepada Al
Muzani…” (Al Hawi Al Kabir, 1/14)
Imam Al Mawardi juga menjelaskan bahwa ketika pernyataan Imam As
Syafi’i ini dipakai secara mutlak,”… ditafsiri dengan apa yang kita
jelaskan dari sejumlah kondisi dalam taqlid.” Kemudian Imam Al Mawardi
menjelaskan secara terperinci perkara apa yang boleh taklid dan yang
tidak boleh, siapa yang boleh untuk taqlid padanya dan siapa yang tidak
boleh, kemudian kondisi muqallid dalam hukum syar’i. Dalam pembahasan
terakhir Imam Al Mawardi menyatakan,”Maka taqlid dalam hal ini
berbeda-beda sesuai dengan kondisi manusia dalam memahami perangkat
ijtihad yang berfungsi untuk hal itu dan tidaknya. Kalau seluruh manusia
dilarang untuk taqlid dan mereka dibebani untuk berijtihad, maka
kewajiban untuk memahami perangkat ijtihad wajib bagi seluruh manusia.
Hal ini adalah kekacauan tatanan dan merupakan kerusakan…”
Dari pernyataan Imam Al Mawardi tersebut, bisa disimpulkan bahwa
pernyataan Imam As Syafi’i yang melarang taqlid tidak berlaku mutlak
kepada siapa saja, namun kepada mereka yang cukup memiliki perangkat
untuk ijtihad. Dan hal ini sejalan dengan penafsiran mayoritas
Syafi’iyah yang berpendapat bahwa pernyataan itu ditujukan kepada Imam
Al Muzani, dimana beliau telah mencapai pada tingkatan sebagai mujtahid
madzhab.
Penjelasan Al Hafidz Ibnu Shalah
Ibnu Shalah sendiri menyatakan bahwa seruan meninggalkan taqlid dari
para Imam bukan perkara yang mutlak,”Seruan untuk tidak bertaqlid kepada
mereka (para imam) secara mutlak bukanlah dakwaan yang lurus, dan tidak
sesuai dengan apa yang diketahui dari keadaan mereka atau mayoritas
dari mereka.” (Lihat, Al Majmu’ 1/72).
Penjelasan Imam An Nawawi
Ketika Imam An Nawawi menjelaskan mengenai posisi mujtahid madzhab,
dimana mereka dinisbatkan ke madzhab bukan karena taqlid terhadap
terhadap pendapat atau dalil, namun karena menggunakan metodologi imam
madzhab dalam berijtihad, maka setelah itu beliau menyatakan,”Hal yang
disebutkan oleh kedua orang (Abu Ishaq dan Abu Ali As Sinji) ini, sesuai
dengan apa yang diperintahkan kepada mereka (mujtahid madzhab) dalam
ijtihad oleh As Syafi’i kemudian Al Muzani di awal Muhktashar Al
Muzani,’Dengan pemaklumatannya (As Syafi’i) (mengenai) pelarangannya
untuk taqlid kepadanya dan kepada selainnya.’” (lihat Al Majmu, 1/76)
Dari pernyataan Imam An Nawawi di atas, maka bisa disimpulkan bahwa
pernyataan Imam As Syafi’i yang disebut oleh Imam Al Muzani mengenai
larangan untuk taqlid relevan dengan mereka yang sampai pada tingkatan
mujtahid madzhab.
Larangan Taqlid dari Imam Ahmad
Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali sendiri telah menyebutkan argumen
yang biasa digunakan oleh mereka yang mengklaim sampai kepada derajat
ijtihad dan menolak mengikuti madzhab empat,”Apa yang kalian katakan
terhadap larangan Imam Ahmad dan para Imam lainnya mengenai taqlid
terhadap mereka dan menulis pendapat mereka? Juga dengan pernyataan Imam
Ahmad,’Janganlah kalian mencatat pendapatku, juga pendapat si fulan dan
si fulan. Belajarlah kalian sebagaimana kami belajar?’” (lihat, Ar Radd
ila Man Ittaba’a Ghaira Al Madzhahib Al Arba’ah, hal. 268)
Al Hafidz Ibnu Rajab pun menjawab argumen itu, bahwa itu ditujukan
kepada mereka yang mencapai puncak dalam pengetahuan terhadap Al Qur`an
dan As Sunnah baik dalam hal hafalan maupun pemahaman serta penulisan
dan penela’ahan, juga menyibukkan diri dengan atsar sahabat dan tabi’in serta mengetahui yang shahih dan yang syadz.
Maka pengetahuan mereka dekat dengan pengetahuan Imam Ahmad. (lihat, Ar
Radd ila Man Ittaba’a Ghaira Al Madzhahib Al Arba’ah, hal. 268)
Selanjutnya Al Hafidz Ibnu Rajab menyatakan, adapun larangan untuk
menempuh ijtihad ditujukan kepada mereka yang tidak sampai pada derajat
puncak ini, lalu beliau menjelaskan,”Tidak memiliki pemahaman dari hal
ini kecuali sedikit orang, sebagaimana kondisi di zaman ini…” (lihat, Ar
Radd ila Man Ittaba’a Ghaira Al Madzhahib Al Arba’ah, hal. 268)
Dari sini bisa diketahui, bahwa larangan taqlid yang datang dari para
mujtahid tidak berlaku mutlak kepada semua pihak, namun hanya ditujukan
kepada mereka yang sampai pada derajat ijtihad. Hal ini sesuai dengan
apa yang dipahami para ulama mu’tabar dari pernyataan para mujtahid
semisal Imam As Syafi’i dan Imam Ahmad.
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/06/19/23625/maksud-pelarangan-taqlid-dari-imam-syafii-dan-imam-ahmad.html#.VHpY5J520r8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar