Kamis, 27 November 2014

Tak Ada Burung Mati Karena Kelaparan, Apalagi Manusia Yang Mau Berusaha! (1)

Orang yang bertawakal hanya memiliki ketergantungan kepada Allah Ta’ala dalam berbagai keadaan dan selalu menyandarkan segala urusan kepadaNya

Tantangan yang dihadapi manusia makin hari makin berat. Lahan pekerjaan yang terbatas, harga kebutuhan rumah tangga terus naik, biaya pendidikan tinggi sehingga tak sedikit orang yang putus dari sekolahnya. Berobat semakin mahal karena tidak semua orang mendapat jaminan dari pemerintah. Bahkan tak sedikit lelaki menunda menikah karena alasan ekonomi padahal usianyasudah lanjut.
Benarkah hidup ini serasa semakin sempit saja?
Mari merenung sejenak. Pelbagai masalah dunia sebenarnya selalu ada jalan keluar. Pekerjaan tidaklah sulit didapat jika seseorang mau bergerak dan keluar berusaha. Lahan kesempatan dan rezeki selalu terbentang luas, asal pikiran kita tidak terbelenggu oleh persepsi-persepsi sempit yang ujungnya ikt membatasi langkah kita.
Menjemput rizki Allah tak harus menjadi pegawai kantoran, menjadi PNS atau harus begaji bulanan dengan seragam resmi. Terkadang, banyak paradigma seperti menjadikan seseorang terbelenggu.
Tak sedikit kaum Hawa terbelenggu oleh persepsinya sendiri yang akhirnya menyulitkan hidupnya. Ia berkali-kali menolak pria yang datang melamar lantaran menunggu pria mapan.
Padahal jika dipikir, apa ada bujang yang kaya raya? Umumnya bujang pasti miskin, tetapi punya potensi menjadi kaya raya. Itu paradigma dan persepsi yang menyulitkan.
Seseorang menjadi kaya raya karena anugerah Allah Ta’ala. Tak ada orang menjadi kayak mendadak kecuali dia keturunan kaya. Umumnya yang bertambah rezekinya seiring perjalanannyausai menikah. Ketika awal menikah hidupnya susah payah, seiring perjuangan dan usaha ekonominya, ia akhirnya menuju hidup lebih layak dan makmur.
Di zaman sekarang banyak orang membuat sekolah hingga univeristas, dengan mudahnya lembaga-lembaga pendidikan mencetak para sarjana, jumlahnya semakin tak terhitung, bahkan saat ini sudah ada belajar via online. Mudah bukan?
Jika banyak orang mudah menjadi sarjana, seharusnya banyak pula orang berpikir jauh lebih mudah. Fakta justru sebalilnya. Banyak orang memburu gelar sarjana karena orientasi belajar untuk mudah mendapat pekerjaan. Perbedaan manusia zaman sekarang dengan masa lalu adalah pada orientasinya. Dahulu orang mencari uang untuk bisa belajar, sekarang orang belajar untuk bisa mencari uang.
Tanpa sadar para sarjana –meminjam istilah Prof Rhenald Kasali—adalah mereka yang pandai memindahkan isi buku ke dalam lembar jawaban, tetapi sayangnya mereka tidak pandai memindahkannya ke lembar kehidupan yang penuh teka teki.
Para sarjana seyogyanya merubah pola pikir, saat lulus bukan hanya berpikir bagaimana caranya bisa bekerja dan terikat pada rutinitas, tetapi bagaimana seseorang bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk sesama, minimal untuk dirinya sendiri.
Banyak orang takut menjadi pengangguran, padahal ‘menganggur’ di zaman seperti juga menghasilkan uang. Tak sedikit orang yang karena bagus komunikasinya, pribadinya hangat, pandai bergaul, banyak membangun relasi justru berpeluang memiliki rizki, dipercaya orang lain dan berani membuka usaha apapun jenisnya. Sementara orang-orang yang bekerja jungkir-balik, mengandalkan gaji bulanan hanya bisa mengelus dada karena gajinya kadang kala tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Sesungguhnya lapang dan sempitnya hidup seseorang tergantung bagaimana orientasi dan tujuan hidupnya.Tuntutan demi tuntutan yang terus menghiasi alam bawah sadar seseorang, bisa membuat hidupnya menjadi sempit bak daun kelor, padahal bumi Allah sangat luas, seluas karunia Tuhan pada manusia, maka bertebarlah di muka bumi. keluarlah dari zona nyaman.
Padahal Allah, Sang Pemberi Rizki berfirman;
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6).
Ada sebuah ungkapan mengatakan, “Semakin besar frekuensi dan kuantitas seseorang terpisah dari keluarga dan orang-orang terdekat maka semakin besar pula kualitas kecintaan antara keduanya.”
Orang yang bertawakal hanya memiliki ketergantungan kepada Allah Ta’ala dalam berbagai keadaan dan selalu menyandarkan segala urusan kepadaNya, karena menurut Imam Ahmad rahimahullah tawakal adalah tidak berharap dari makhluk.
Sifat tawakal adalah ciri dari orang yang beriman, orang yang bertawakal pasti ia beriman dan orang yang beriman pasti ia bertawakal, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan seperti anggota tubuh manusia yang saling berhubungan satu sama lainnya.
Diantara sifat orang yang bertawakal yaitu mereka yang berdoa kepada Tuhan semesta alam dengan penuh pengharapan akan rahmatNya dan dengan suara yang merendah.
وَمَا لَنَا أَلاَّ نَتَوَكَّلَ عَلَى اللّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami.” (QS : Ibrahim ayat 12)
Dengan berserah diri kepada Allah Ta’ala bukan serta merta seseorang melepaskan nalarnya sebagai makhluk yang dikaruniakan akal sehat dan pikiran, karena ajaran Islam menunjukkan jalan kepada manusia untuk menjadi pribadi yang peka akan isu-isu yang terjadi di sekitarnya dan cerdas dalam mengambil sikap atau keputusan.*/bersambung.. “Barangsiapa bertakwa, Allah memberi jalan keluar”
http://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2014/11/26/33919/tak-ada-burung-mati-karena-kelaparan-apalagi-manusia-yang-mau-berusaha-1.html#.VHfKXZ520r8 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar