Salah seorang warga, megingatkan Amirul Mukminin, “Takutlah engkau kepada Allah!” Dan, orang itu mengatakan berulang kali
Menjadi pemimpin bukanlah perkara mudah, selain
dibutuhkan leadership, dalam Islam, pemimpin juga harus kuat iman dan
takwanya, sehingga bisa menjadi teladan dan benar-benar bisa bekerja
sebagai pelayan rakyat, bukan penikmat kekayaan rakyat.
Ketika seorang pemimpin tidak menguatkan iman dan takwanya, maka ia akan
berada dalam situasi tertekan oleh berbagai kepentingan, pada saat yang
sama rasa cinta terhadap kursi jabatan kian menguat.
Di saat seperti itulah biasanya seorang pemimpin tidak mau lagi
berpikir lurus di jalan lurus. Akibatnya, segala macam kebijakannya
senantiasa berbau rasionalisasi. Sebab, hakikatnya memang bukan rakyat
yang mau dilayani, tetapi kekuatan lain yang sangat ditakuti. Di sinilah
kemudian istilah pencitraan menjadi keniscayaan bagi mereka yang sangat
berkeinginan dengan kursi jabatan.
Dalam bukunya, Khulafaur Rasul Shallallahu Alayhi Wasallam,
Syeikh Khalid Muhammad Khalid menjabarkan dengan sangat gamblang
bagaimana gaya kepemimpinan Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu. Sosok
pemimpin yang tidak melakukan banyak rekayasa pencintraan terhadap
dirinya. Tetapi memang benar-benar hadir dan mensolusikan secara nyata
setiap persoalan yang menimpa seluruh rakyatnya.
Pertama, Musyawarah
Dalam bermusyawarah, Umar Radhiyallahu Anhu tidak pernah memposisikan
dirinya sebagai penguasa. Ia meletakkan dirinya sebagai manusia yang
sama kedudukannya dengan anggota musywarah lain.
Ketika ia meminta pendapat mengenai satu urusan, ia tidak pernah
menunjukkan bahwa ia adalah pemegang kekuasaan, bahkan Umar selalu
menanamkan perasan bahwa mereka adalah guru yang akan menunjukkannya ke
jalan kebaikan, menyelamatkannya dari kesengsaraan hisab di akhirat,
karena mereka membantunya dengan pendapat-pendapat mereka untuk
memperjelas kebenaran.
Kedua, ‘APBN’ untuk Rakyat
Semua kekayaan negara dipergunakan untuk melayani rakyat. Kala itu,
sesuai kebutuhan zaman, Umar mendirikan tembok-tembok dan benteng untuk
melindungi kaum Muslimin. Umar juga membangun kota-kota untuk
mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Umar tidak pernah berpikir mengambil kesempatan atau keuntungan dari
‘APBN’ untuk kesenangan diri dan keluarganya. Malah Umar hidup dengan
sangat zuhud, sehingga tidak tertarik dengan kemewahan, kenikmatan dan
segala bentuk pujian manusia yang mudah kagum dengan harta benda.
Ketiga, Menjunjung tinggi kebebasan. Dalam satu
muhasabahnya, Umar berkata pada dirinya sendiri, “Sejak kapan engkau
memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan
merdeka?”
Menurut Umar, semua orang memiliki kemerdekaan sejak lahir ke dunia.
Umar sama sekali tidak takut akan kebebasan bangsanya, tidak pula
khawatir akan mengancamnya, bahkan ia mencintai kebebasan manusia itu
sendiri, seperti cinta seorang yang mabuk kepayang serta menyanjungnya
dengan penuh ketulusan.
Pemahaman kebebasan menurut Umar sangat sederhana dan bersifat
universal. Kebebasan menurutnya adalah kebebasan kebenaran. Artinya,
kebenearan berada di atas semua aturan. Kebenaran apa itu? Tentu
kebenaran Islam, bukan kebenaran kebebasan yang disandarkan pada logika
liberalisme.
Keempat, Siap mendengar kritik
Suatu hari Umar terlibat percakapan dengan salah seorang rakatnya,
orang itu bersikeras dengan pendapatnya dan berkata kepada Amirul
Mukminin, “Takutlah engkau kepada Allah.” Dan, orang itu mengatakan hal
itu berulang kali.
Lalu, salah seorang sahabat Umar membentak laki-laki itu dengan
berkata, “Celakalah engkau, engkau terlalu banyak bicara dengan Amirul
Mukminin!”
Menyaksikan hal itu, Umar justru berkata, “Biarlah dia, tidak ada
kebaikan dalam diri kalian jika kalian tidak mengatakannya, dan kita
tidak ada kebaikan dalam diri kita jika tidak mendengarnya.”
Kelima, Terjun langsung mengatasi masalah rakyatnya
Sangat masyhur (populer) di kalangan umat Islam bahwa Umar adalah
sosok pemimpin yang benar-benar merakyat. Tengah malam, saat orang
terlelap, ia justru patroli, mengecek kondisi rakyatnya. “Jangan-jangan
ada yang tidak bisa tidur karena lapar,” begitu mungkin pikirnya. [Baca:
Belajar “Blusukan’ dari Umar Bin Khattab]
Begitu ia menemukan seorang ibu yang anak-anaknya menangis karena
lapar, sedangkan tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak dan
disuguhkan, dengan segenap daya Umar pergi ke Baitul Maal dan memikul
sendiri sekarung gandum untuk kebutuhan makan keluarga tersebut.
Seperti itulah, setidaknya setiap pemimpin Muslim di negeri ini. Bekerja
atas dasar iman, sehingga tidak ada yang didahulukan selain iman, takwa
dan kesejahteraan rakyatnya. Ia ‘blusukan’ malam hari, bukan siang hari
apalagi hanya sekedar dilihat orang.
Jika lima hal di atas mewujud dalam diri pemimpin hari ini dan semoga
di masa mendatang, tentu bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang
maju, adil, makmur, cerdas dan mandiri serta bebas dari intervensi pihak
manapun juga. Semoga. Wallahu a’lam.*
http://www.hidayatullah.com/none/read/2014/11/27/34003/lima-gaya-umar-bin-khattab-dalam-memimpin.html#.VHfIF5520r8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar