Minggu, 30 November 2014

“Hadits Shahih Madzhabku”, Bukan untuk yang Belajar dari Terjemahan

PARA ulama mu’tabar telah menjelaskan makna dan maksud pernyataan Imam As Syafi’i, “Hadits Shahih adalah madzhabku”, juga menetapkan kapasitas siapa yang mampu melaksanakan pesan tersebut, yakni para mujtahid madzhab.  Al Hafidz Ibnu Shalah telah menulis pembahasan ini dalam Adab Al Mufti wa Al Mustafi, demikian pula murid beliau Imam An Nawawi dalam muqadimah Al Majmu’, juga Imam Al Mujtahid Taqiyuddin As Subki menulis risalah khusus mengenai hal ini, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi. (baca, “Hadits Shahih Madzhabku”, Ditujukan kepada Mujtahid)
Jika di atas adalah para ulama Syafi’iyah, tidak ketinggalan para ulama madzhab lainnya juga menjelaskan apa maksud pernyataan itu ketika disampaikan oleh imam madzhab mereka. Dalam hal ini, para ulama madzhab Hanafi juga menjelaskan siapa yang memiliki kapasitas dalam mengoreksi pendapat Imam Abu Hanifah untuk dihadapkan dengan hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, yakni Imam Ahmad Ridha. Untuk masalah ini, ulama madzhab Hanafi yang berasal dari India ini menulis Fadhl Al Mauhibi fi Ma’na idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi.
Dalam risalah tersebut ulama yang dijuluki sabagai mujadid abad 13 H ini memaparkan sejumlah tahapan kemampuan yang harus dikuasai bagi siapa yang hendak mengoreksi pendapat Imam untuk dihadapkan dengan hadits. Karena ini berkenaan dengan pengetahuan terhadap hadits shahih sekaligus madzhab, maka ada sejumlah syarat tersebut berkenaan dengan penguasaan terhadap ilmu keduanya.
Jika diringkas dari pandangan ulama yang memiliki lebih dari 50 karya dalam berbagai disiplin ilmu ini, ada dua syarat dalam melaksanakan pesan Imam Abu Hanifah tersebut. Pertama, telah sampai pada pengetahuan pelaku bahwa hadits tersebut belum sampai kepada imam. Kedua, pelakunya menguasai secara sempurna mengenai hukum rijal, matan hadits serta metode dalam berhujjah dan mengambil kesimpulan hukum dari metodologi madzhab. Dan untuk sampai pada syarat ke dua, ada 4 hal yang harus dikuasai:
1.  Penguasaan terhadap ilmu rijalul hadits secara terperinci dan mendetail.
2. Telah mentelaah dengan mendalam matan-matan hadits yang berada dalam kitab-kitab hadits secara sempurna dan menyeluruh. Dalam hal ini Imam Abu Hatim Ar Razi menyampaikan, ”Kita tidak akan sampai dalam pengetahuan terhadap hadits- hadits hingga kita menulis 60 variannya, dan setelah itu memungkinkan bagi pelakunya untuk menghukumi bahwa hadits itu syadz, munkar, ma’ruf, mahfudz, marfu’ mauquf, fard atau masyhur.
3. Mengetahui ilal khafiyah, yakni perkara-perkara yang mencacati hadits meski dhahir hadits terlihat selamat. Masuk kepada tingkatan ini para huffadz besar semisal Imam Al Bukhari.
4. Memiliki kemampuan dalam ijithad. Hanya dengan 3 kemampuan sebelumnya dalam ilmu hadits, belum mencukupi seseorang untuk sampai pada tingkatan ini. Sebab itulah Imam Sufyan bin Uyainah, yang merupakan guru dan Imam As Syafi’i dan Imam Ahmad serta guru dari para guru Imam Al Bukhari dan Muslim menyampaikan, ”Hadits-hadits itu penyesat, kecuali bagi para fuqaha’”.
Selanjutnya Imam Ahmad Ridha menjelaskan bahwa seseorang yang mencapai tingkatan ke empat ini  ia menguasai bahasa Arab dengan cabang-cabangnya secara sempurna, menguasai dalil Al-Qur`an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat dan fuqaha baik yang terdahulu maupun setelahnya, serta menguasa metodologi pengambilan hukum.
Ketika sampai pada tingakatan ke empat ini, barulah seseorang bisa mengoreksi pendapat Imam untuk dihadapkan dengan hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Imam Ahmad Ridha merujuk hal ini kepada pernyataan Syeikh Al Islam Zakariya Al Anshari menyampaikan, ”Janganlah sekali-kali kalian tergesa-gesa mengingkari dan menyalahkan pendapat seorang mujtahid kecuali setelah kalian menguasa seluruh dalil-dalil syar’i, menguasai seluruh cabang bahasa Arab yang mana syariat terkandung di dalamnya serta pengetahuan kalian terhadap makna-maknanya…”
Dan menurut Imam Ahmad Ridha ulama yang mereka yang telah mencapai derajat ini, tidak lain adalah mujtahid madzhab semisal Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah, dimana Yahya bin Ma’in berkata mengenai beliau, ”Shahib al-Hadits, shahib as sunnah”.
Bukan untuk Mereka yang Hanya Belajar Hadits Melalui Terjemah
Selanjutnya, Imam Ahmad Ridha yang kumpulan fatwanya Al Athya An Nabawiyah fi Al Fatwa Ar Ridhawiyah mencapai 10 jilid ini setelah menjelaskan syarat-syarat di atas, beliau menegaskan bahwa apa yang dimaksud para ulama madzhab Hanafi ketika mereka menegaskan perlunya mengikuti hadits dan meninggalkan pendapat Imam jika bertentangan dengannya, hal itu berlaku bagi yang memiliki keahlian, ”Bukan orang-orang primitif yang tidak memiliki keahlian yang membaca terjemahan berbahasa Urdu dari Al Bukhari, At Tirmidzi, Al Misykat lantas mereka menilai bahwa mereka muhadditsun. Atau sejumlah orang yang mengklaim bahwa madzhab para imam menyelisihi hadits, dalam rangka mencegah manusia untuk taklid kepada para imam namun mewajibkan mereka untuk percaya kepada sejumlah menusia di abad ini.”
Kesimpulannya, para ulama baik Syafi’i maupun Hanafi sepakat bahwa maksud dari pernyataan dari Imam As Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, ”Jika hadits telah shahih maka ia  adalah madzhabku”, ditujukan kepada para ulama mujtahid madzhab.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/06/09/22943/hadits-shahih-madzhabku-bukan-untuk-yang-belajar-dari-terjemahan.html#.VHvV75520r9 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar