MUSLIM di mana saja, di sepanjang sejarah ada yang
malas menuntut ilmu, sehingga ia tetap berada dalam alam kebodohan. Ada
yang berusaha untuk keluar dari alam kebodohan ini dengan menuntut ilmu.
Dari orang-orang yang memiliki kesadaran ini, ada yang memiliki
kemampuan tinggi, kesempatan dan kesungguhan ada yang memiliki
kesempatan terbatas, kemampuan terbatas. Hasilnya dari para penuntut
ilmu itu pun Allah menganugarahi kadar ilmu dan kemampuan yang
berbeda-beda.
Mujtahid Mutlak
Mereka yang memperoleh tingkatan paling tinggi dalam dunia keilmuan,
khususnya berkenaan dengan syariat disebut sebagai mujtahid mutlak, atau
mufti mustaqil (independen) Artinya, tidak terikat dengan
madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Mereka tidak hanya
memiliki produk pemikiran yang berupa fiqih, tapi mereka juga
menciptakan metode dalam menggali hukum-hukum syariat dari dalilnya.
Orang-orang khusus ini semisal Imam Madzhab 4 serta ulama mujtahid mutlak lainnya, semisal Al Auza’i, At Tsauri, Al Laits juga 4 al Khulafa’ ar Rasyidun.
Mujtahid Madzhab
Selanjutnya tingkatan di bawah mujathid mutlak adalah mujtahid madzhab atau mujtahid mutlak ghairu mustaqil
(tidak independen), yakni ulama yang tidak taklid kepada imamnya, baik
dalam pendapat atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena
masih mengikuti metode ijithad imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Mereka meski tidak bermadzhab kepada hasil ijtihad imam,
namun mereka masih mengikuti metode imam karena tidak mampu menciptakan
metode sendiri sehingga mereka masih berada dalam lingkupan madzhab.
Ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi. Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As
Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam
lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dalam madzhab Hanafi, ulama yang sampai dalam tingkatan ini adalah
Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang merupakan murid Imam Abu
Hanifah. (lihat, Syarh ‘Ala Jami’ As Shaghir Al Laknawi, 1/7)
Dalam madzhab Maliki ulama yang sampai pada derajat ini adalah Imam
Ibnu Qasim dan Asyhab. Sebagaiamana sebelumnya Imam As Syafi’i, Ibnu
Qasim dan Asyhab sama-sama menjadi murid Imam Malik, namun Imam As
Syafi’i naik kemampuannya menjadi mujtahid mutlak dengan metode
tersendiri, sedangkan kedua teman beliau posisinya adalah mujtahid madzhab dalam madzhab Maliki. (lihat, Nail Ibtihaj, hal. 441)
Dalam Madzhab Hanbali yang menyatakan sampai pada derajat ini adalah Qadhi Abu Ali Al Hasyimi juga Qadhi Abu Ya’la. (lihat, Sifat Al Fatwa, Ibnu Hamdan, hal. 17)
Ashab Al Wujuh
Di bawah para ulama mujtahid madzhab ada ulama ashab al wujuh, yakni
mereka yang taqlid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil
maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk
menentukan hukum yang belum disimpulkan imam dengan menyimpulkan dan
menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para
mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri
dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan
Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, mufti Syafi’iyyah di
Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi.
(lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53)
Dalam madzhab Hanafi, Abu Bakr Al Jashas digolongkan dalam kelompok ini. (lihat, Syarh Al Laknawi li Al Jami’ As Shaghir, 8/1)
Mujtahid Tarjih
Golongan ini juga disebut sebagai mujtahid fatwa, termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas
tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara
imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Dalam madzhab As Syafi’i, mereka yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi (lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
Dalam madzhab Hanafi, para ulama yang masuk dalam tingkatan ini adalah Imam Al Qaduri.
Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang
menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit.
Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka
fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang
madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para
mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Jika tidak menemui nuqilan dalam
madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka
memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia
mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang
ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa
melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang
yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli termasuk kelompok mufti
muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih
dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan pendapat-pendapat para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Ibnu Hajar Al Haitami sendiri merupakan ulama muta’akhhirin
rujukan pengikut Syafi’iyah Hijaz, Yaman, Syam, India serta Indonesia
sedangkan Imam Ar Ramli merupakan rujukan Syafi’iyah Mesir.
Ulama di Atas Mufti Muqallid Harus Menguasai Ilmu yang Dimiliki Mufti Muqallid
Dalam tingkatan keilmuan, para mufti muaqallid adalah ulama
yang tingkatan kemampuannya paling rendah. Otomatis para ulama yang
berada di atas tingkatan ini menguasai telah menguasai ilmu para mufti muqallid, sebagaimana disebutkan oleh Imam An Nawawi bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid.
Barangsiapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia
telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Nah, untuk sampai kepada kelompok yang paling akhir ini, yang
kemampuannanya setaraf, atau sedikit di bawah Ibnu Hajar Al Haitami atau
Imam Ar Ramli yang keduanya adalah faqih muhaddits perlu mujahadah yang luar biasa.
Dan dengan kemampuan kita kini, kita tinggal melihat posisi kita
dalam tingkatan para pununtut ilmu di atas, apakah satu kelas dengan
Imam As Syafi’i dan ulama mujtahid mutlak lainnya, atau sekelas Imam Al Muzani, atau Imam An Nawawi atau setaraf dengan Imam Ar Ramli yang merupakan ulama muqallid.
Nah, apakah kita mau ijtihad secara independen, atau
berijtihad dalam madzhab, tarjih, atau memilih taqlid? Semuanya
membutuhkan kemampuan dan mujahadah yang amat luar biasa, lebih-lebih
sampai pada tingakatan ijtihad.*
http://www.hidayatullah.com/kajian/ikhtilaful-ummah/read/2014/04/16/19998/pilih-ijtihad-tarjih-atau-taqlid.html#.VHvUYJ520r8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar