Seorang Muslimah menolak perjodohan yang dilakukan orangtuanya. Menurutnya, calon yang diajukan tidak sekufu. enolakannya itu menyulut konflik dengan orangtuanya. Pada akhirnya, ia justru menikah dengan pria yang menurutnya se-kufu. Pria itu dicarikan oleh teman pengajiannya. Meski agak berat, orangtua merestui pernikahan mereka berdua.
Di awal pernikahan, semuanya berjalan baik
dan membahagiakan. Waktu pun terus berjalan. Mulailah mereka mengenal
dengan jelas tabiat dan karakter pasangannya masing masing. Sayang,
mereka berdua mulai jarang hadir dalam pengajian.
Permasalahan kemudian muncul satu persatu.
Istri menganggap suami sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Sedang
suami yang merasa tidak mendapat pelayanan yang baik, sibuk dengan
dirinya sendiri. Permasalahan dengan orangtuanya yang dulu ia anggap
sangat berat, ternyata tidak seberat dengan apa yang ia hadapi sekarang.
Persiapan
Pernikahan adalah hal yang fitrah dan
didambakan oleh setiap orang yang normal. Baik itu laki-laki maupun
perempuan yang sudah baligh. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan
manusia dengan rasa saling tertarik kepada lawan jenis dan saling
membutuhkan, untuk mendapatkan ketenangan dan keturunan dalam
kehidupannya. Bahkan pernikahan adalah rangkaian ibadah kepada Allah
Subhanahu Wata’ala yang di dalamnya banyak terdapat keutamaan dan pahala
besar yang diraih oleh pasangan tersebut.
Walaupun demikian, banyak di antara kita
salah menilai suatu pernikahan. Ironinya, kesalahan itu juga dilakukan
oleh kalangan mereka yang mengerti ilmu sekalipun.
Memang untuk mendapatkan keluarga sakinah
seperti yang dicita-citakan setiap Muslim dan Muslimah, tidak semudah
yang dibayangkan. Ternyata, pemahaman ilmu dien yang cukup dari
masing-masing pihak memegang peran penting dalam mewujudkan cita-cita
tersebut, mengingat dalam rumahtangga banyak permasalahan yang akan
timbul. Misalnya, menyangkut memenuhi hak dan kewajiban suami-istri, apa
tugas masing-masing, bagaimana cara mendidik anak dan sebagainya.
Bagaimana mungkin semua persoalan itu bisa diselesaikan, jika tidak kita
persiapkan sebelumnya? Di sinilah salah satu hikmah diwajibkannya bagi
setiap Muslim untuk mencari ilmu
Ilmu sebagai Landasan
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
Muslim, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim.” (Riwayat Ahmad).
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama yang
dengannya kita tahu apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang
dilarang-Nya. Dengan ilmu itu pula kita tahu apa yang disunahkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang bukan Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pernikahan adalah dunia orang dewasa,
karena banyak persoalan yang harus diselesaikan dengan pemikiran dewasa,
bukan pemikiran yang kekanak-kanakan. Maka, tidak salah pula bila
dikatakan untuk menikah itu butuh ilmu sya’i, baik pihak isteri,
terlebih lagi pihak suami sebagai qawwam (pemimpin) bagi keluarganya.
Namun sangat disayangkan, sisi yang satu ini sering luput dari persiapan
dan sering terabaikan, baik sebelum pernikahan terlebih lagi pasca
pernikahan.
Kurangnya pemahaman ilmu agama sering
mendatangkan masalah. Misal anggapan se-kufu dalam pernikahan, jelas
akan berlainan antara orang yang berilmu dengan yang tidak. Bagi orang
berilmu, se-kufu adalah dalam hal agama bukan yang lainnya, apalagi yang
bersifat duniawi.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم
مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
“…Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara
kalian….” (Al-Hujurat [49]: 13).
Orang berilmu tidak akan meninggalkan
orangtua dalam mencari jodoh, karena salah satu tugas orangtua adalah
mencarikan jodoh untuk putra-putrinya.
“Seseorang yang dianugerahi anak oleh
Allah Subhanahu Wata’ala hendaknya memberikan nama yang baik, pendidikan
yang baik dan menikahkannya apabila telah mencapai usia. Apabila ia
tidak dinikahkan kemudian ia berbuat dosa, maka ayahnya bertanggung
jawab atas perbuatannya.” (Al-Hadits).
Tapi jangan salah menilai orang berilmu.
Orang berilmu bukannya orang yang banyak kitab atau riwayat (Hadits).
Orang berilmu adalah orang yang memahami dan mengamalkan apa yang
disampaikan kepadanya (Lihat Syarhus Sunnah oleh Al-Imam al-Barbahari).
Ilmu bakal mendatangkan rasa takut bagi pemiliknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ
وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ
مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“…Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang yang berilmu (ulama)….” (Fathir [35]: 28).
Di samping ilmu agama yang wajib kita
pahami dan amalkan, ilmu yang menunjang harmonisnya kehidupan rumah
tangga perlu juga diketahui. Misalnya ilmu berdandan, agar suami betah
di rumah atau mengetahui berbagai resep masakan yang membuat lidah seisi
rumah tidak mau makan kalau bukan kita yang memasak.
Tarbiyah Keluarga
Salah satu tugas suami sebagai qawwam keluarga adalah mendidik keluarga.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah
diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu…..” (At-Tahrim [66]: 6).
Kalau suami mampu mendidik langsung
keluarganya adalah suatu keutamaan sebagaimana keluarga ulama terdahulu.
Misalnya Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani Rahimahullah. Kesibukan
beliau dalam dakwah di luar rumah dan menulis ilmu tidaklah melalaikan
beliau untuk memberi taklim kepada keluarganya. Dari hasil pendidikan
ini lahirlah dari keluarga beliau orang-orang yang terkenal dalam ilmu,
khususnya ilmu Hadits, seperti: saudara perempuannya Sittir Rakb bintu
‘Ali, istrinya Uns bintu Al-Qadhi Karimuddin Abdul Karim , putrinya Zain
Khatun, Farhah, Fathimah, ‘Aliyah, dan Rabi`ah.
Juga Sa’id Ibnul Musayyab Rahimahullah
membesarkan dan mengasuh putrinya dalam buaian ilmu hingga ketika
menikah suaminya mengatakan ia mendapati istrinya adalah orang yang
paling hafal kitabullah, paling mengilmuinya, dan paling tahu tentang
hak suami. (Al-Hilyah, 2/167-168).
Tetapi tidak semua suami mempunyai
kemampuan dalam ilmu agama, maka wajib bagi suami untuk memfasilitasi
kemudahan dalam menuntut ilmu agama bagi diri dan keluarganya. Bisa
dengan mendatangkan guru atau membelikan buku-buku agama.
Menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang
memprioritaskan pendidikan agama. Apabila semua anggota keluarga
pemahaman dan pengamalan agamanya baik, insya Allah kehidupan keluarga
akan bahagia. Wallahu a’lam bish shawab.
*/Sri Lestari, ibu rumah tangga
tinggal di Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar