Minggu, 11 Januari 2015

Hidup Mulia, Mati pun Mulia

Di Penghujung film The Last Samurai, Kaisar Jepang yang masih belia bertanya kepada Kapten Nathan Algren tentang kematian gurunya, Samurai Katsumoto, “Ceritakan kepadaku bagaimana dia mati.” Algren menjawab, “Akan kuceritakan kepadamu bagaimana dia hidup.”
Katsumoto adalah pemimpin terakhir dari 900 tahun tradisi ksatria spiritual pengawal kekaisaran Jepang. Bersama pasukannya yang bersenjata tradisional, ia mati ditembus timah panas senjata modern buatan Amerika. Pembunuh sebenarnya adalah kerakusan Omura, perdana menteri yang mengeruk keuntungan finansial dari proses westernisasi dan sekularisasi Jepang, namun ditentang hebat oleh Katsumoto.
Hidupnya mulia, matinya pun mulia, setidaknya di mata pembuat film itu. Secara kemanusiaan, Katsumoto hidup dan mati secara mulia, tapi tidak mati syahid. Karena mati syahid mensyaratkan syahadah, kesaksian bahwa ‘tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah’ yang diikuti tuntunan hidupnya.
Baru-baru ini seorang doktor begitu cemas dengan kalimat “Isy Kariman au Mut Syahidan” yang berarti “Hidup Mulia atau Mati Syahid”. Beberapa orang menuduh, kalimat ini dianggap sebagai ‘doktrin maut’ dan biang “terorisme”. Kalau pun benar; ada orang yang meledakkan dirinya karena doktrin ini (sayang kita tidak bisa mewawancarai mayat-mayatnya), pun kecemasan sang doktor tetap tak akan berhenti.
Sikap doktor itu bisa diibaratkan begini: ada orang meributkan kotak korek api yang terbakar, padahal sudah ada lima rumah yang hangus karena korsleting listrik.
Kenapa? Karena jumlah manusia yang dibunuh oleh manusia lain yang tidak menganut doktrin “Isy Kariman au Mut Syahidan” jauh lebih banyak, daripada yang sudah dibunuh (kalau benar, Allah Yang Maha Tahu kejadian sesungguhnya) oleh pelaku peledakan yang mengaku terinspirasi doktrin itu.
Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman tidak kenal doktrin “Isy Kariman au Mut Syahidan,” tapi tega secara resmi membunuh jutaan warga sipil Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom. Presiden Lyndon B. Johnson tak pernah baca surat At-Taubah, tapi tega membunuh jutaan rakyat sipil Vietnam dengan bom napalm dan fosfor. Adolf Hitler tidak pernah jadi anggota organisasi Islam “transnasional”, bahkan di lehernya ada salib, tapi ia “pembunuh” atas jutaan orang baik Yahudi maupun non-Yahudi di seantero Eropa.
Ayat 52 surah At-Taubah dibaca oleh jutaan kaum Muslimin di seluruh dunia. Dari Maroko sampai Merauke, dari New York sampai Gadog. Kalau benar tafsir itu segitu berbahayanya, maka 1,6 miliar Muslimin dunia yang setiap hari baca al-Qur’an sejak sang doktor belum lahir sudah jadi “teroris” semua. Bandingkan dengan berbagai invasi Amerika yang membunuh jutaan orang Vietman, Iraq dan Afghanistan.
Kita khawatir, jangan-jangan kecemasan beberapa pihak –termasuk sang doktor-adalah kecemasan karena terlalu banyak bergaul dengan lingkungan imperialistik anti-agama yang menginginkan Islam berubah menjadi agama yang mandul.
Dari pada sibuk untuk “mendekonstruksi” tafsir dan ayat al-Qur’an, lebih baik para ulama kita dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah diserukan untuk meneruskan pekerjaan berat dan mulia, membimbing umat Islam Indonesia menjadi umat yang berwibawa, yang kelak dari keislamannya lahir istilah-istilah dan kosakata yang memperbaiki cara hidup bangsa ini.
Sibuklah berbuat kebaikan, dan jangan sibuk dengan istilah-istilah baru yang sesungguhnya tidak berasal dari khasanah Islam seperti “militan”, “trans-nasional”, “teologi maut”, “fatalistik”. Tinggalkan mengurusi istilah-istilah itu, dan lebih semakin menyibukkan diri membimbing bangsa ini menjadi bangsa yang akidahnya bersih, ikhlas, taat dan patuh sepenuhnya hanya kepada Allah, tidak mengagungkan simbol-simbol lain selain Allah.
Agar para ulama ini tetap sabar berdiri di tengah rakyat yang kebanyakan miskin (sambil menggandeng para orang kayanya) dan mengajak mereka untuk semakin gigih beramal dan berjihad mengorbankan harta, waktu dan nyawa untuk dakwah dan jihad fii Sabilillah, supaya bangsa ini tidak tergolong menjadi bangsa pembangkang yang maghdhub (dimurkai Allah) dan bukan juga menjadi bangsa yang dhalal (sesat).*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar