Sebuah pekerjaan yang
menurut orang tidak beragama cuma disebut unik, yakni menjajakan
kecantikan wanita-wanita muda dengan kemasan jasa mengisi baterai dengan
mencolokkan piranti telepon ke punggung mereka!
Acara Munas HIPMI diselenggarakan pada
hari Selasa (13/1/2015) dan mengambil tempat di Trans Luxury Hotel,
Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat. Di sana, para Charger Ladies
berkeliling menjajakan jasanya kepada pengunjung. Kontan saja bila
mereka mengundang perhatian, bahkan godaan dari para lelaki. Seperti
yang bisa anda lihat, posisi charger yang diletakkan di tubuh para
wanita itu, menunjukkan cara yang tidak pantas untuk disebut sebagai
jasa yang terhormat.
Lebih merendahkan lagi, bayaran para
pelayan itu ditetapkan berdasarkan paras, tinggi, dan berat badannya,
sebagaimana yang diberitakan detik.com.
Menolak Dinasehati
Ide menggoda syahwat kaum Adam ini
dicetuskan sekedar untuk menarik simpatisan oleh Bayu Priawan
Djokosoetono untuk menjadi ketua umum (Caketum) Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI). Mirisnya, meski mendapat teguran dari banyak pihak,
salah satu tim support, Roby Syafputra berkelit bahwa idenya adalah kampanye yang unik dan inovatif.
Menjajakan kecantikan sebagai alat
memasarkan barang adalah bentuk tumpulnya kreativitas, karena kecantikan
sudah dari kodratnya menarik perhatian laki-laki. Orang-orang semacam
ini tidak bisa menambahkan nilai jual pada idenya sehingga mentok
harus memakai daya tarik seks. Cara primitif inilah yang juga dipakai
dalam iklan sabun, rokok, hingga balap motor. Jangankan memperhatikan
norma agama ataupun adat, bahkan pengiklannya tidak peduli apakah ada
hubungannya dengan produknya atau tidak tetap saja menyodorkan
kecantikan sebagai daya tarik.
Apa Ada Batasan Pekerjaan Perempuan Dalam Islam?
Wanita tidak dilarang keluar rumah selama tidak bertabarruj,
yakni menonjolkan perhiasannya alias selama tidak tebar pesona.
Muslimah-muslimah diajarkan untuk bersikap rendah hati, tidak mencolok,
maupun menarik perhatian (khususnya lawan jenis).
Diriwayatkan dari Râfi‘ ibn Rifâ‘ah, ia
menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam telah melarang kami dari
pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan dengan kedua
tangannya. Beliau bersabda, “Begini (dia kerjakan) dengan jari-jemarinya seperti membuat roti, memintal, atau menenun.” (HR Ahmad). Contoh-contoh yang disebutkan di atas adalah kiasan profesionalitas keahlian.
Taqiyuddiin An Nabhani dalam kitab An Nidzom Al Ijtima’iy
merinci bahwa Islam melarang baik pria dan wanita untuk terjun dalam
segala bentuk profesi yang membahayakan akhlak atau yang dapat merusak
masyarakat. Khususnya wanita tidak boleh berkecimpung dalam segala
bentuk pekerjaan yang bermaksud untuk menonjolkan aspek kewanitaannya
(feminitas). “Pekerjaan” semacam ini tak lain adalah eksploitasi atas
wanita.
Gunakan Hati Nurani Anda
Mereka-mereka yang memperkerjakan wanita
dengan cara demikian harusnya lebih peka, sebagaimana yang diajarkan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam ketika datang seorang
pemuda datang kepada beliau untuk meminta ijin berzina. Baginda Nabi
tentu saja bisa mengatakan bahwa perbuatan yang diminta itu adalah tidak
senonoh dan haram. Namun beliau mendekatkan pemuda tersebut dan
memintanya untuk merenungkan manakala keluarganya-lah yang dizinahi
orang lain. Tentu saja ia menolak bila itu terjadi pada ibunya,
istrinya, putrinya, atau saudarinya. Begitulah orang yang berakal sehat,
akan menginginkan keluarganya terjaga dalam kesucian dan keselamatan.
Lalu bagaimana dengan charger ladies itu, apakah sang penyelenggara mau pekerjaan wanita itu digantikan oleh istri mereka?
Makanan Media Sekuler
Berita ini tentu menarik bagi media massa,
namun seperti yang mudah diduga, media massa sekuler tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk mengedukasi masyarakat; menunjukkan bahwa yang
salah itu salah dan mengajak untuk menjauhi kesalahan itu. Media yang
diam di depan kejahatan, sama halnya penjahat itu sendiri.
Sedangkan media yang menganggap nasehat
untuk merubah keburukan bukan tugas dan wewenangnya, itulah contoh
sekulerisme. Seolah-olah bersikap netral padahal mengambil keuntungan
dengan naiknya rating dari pembaca adalah kemunafikan, menyembunyikan
dukungannya pada kemaksiatan.
Media adalah agen perubahan. Tatkala tidak merubah menuju kebaikan, kemana lagi mereka akan membawa umat ini? []
Gilig Pradhana, peserta pelatihan guru
di Universitas Hiroshima (2014) dan Universitas Pendidikan Guru Hyogo
(2010). Pernah menjadi Kepala SMK Al-Furqan Jember pada tahun 2011-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar