Sabtu, 17 Januari 2015

Gadis Charger, Mungkin Saudari Anda Mau Kerja?

Sebuah pekerjaan yang menurut orang tidak beragama cuma disebut unik, yakni menjajakan kecantikan wanita-wanita muda dengan kemasan jasa mengisi baterai dengan mencolokkan piranti telepon ke punggung mereka!
Acara Munas HIPMI diselenggarakan pada hari Selasa (13/1/2015) dan mengambil tempat di Trans Luxury Hotel, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat. Di sana, para Charger Ladies berkeliling menjajakan jasanya kepada pengunjung. Kontan saja bila mereka mengundang perhatian, bahkan godaan dari para lelaki. Seperti yang bisa anda lihat, posisi charger yang diletakkan di tubuh para wanita itu, menunjukkan cara yang tidak pantas untuk disebut sebagai jasa yang terhormat.
Lebih merendahkan lagi, bayaran para pelayan itu ditetapkan berdasarkan paras, tinggi, dan berat badannya, sebagaimana yang diberitakan detik.com.
Menolak Dinasehati
Ide menggoda syahwat kaum Adam ini dicetuskan sekedar untuk menarik simpatisan oleh Bayu Priawan Djokosoetono untuk menjadi ketua umum (Caketum) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Mirisnya, meski mendapat teguran dari banyak pihak, salah satu tim support, Roby Syafputra berkelit bahwa idenya adalah kampanye yang unik dan inovatif.
Menjajakan kecantikan sebagai alat memasarkan barang adalah bentuk tumpulnya kreativitas, karena kecantikan sudah dari kodratnya menarik perhatian laki-laki. Orang-orang semacam ini tidak bisa menambahkan nilai jual pada idenya sehingga mentok harus memakai daya tarik seks. Cara primitif inilah yang juga dipakai dalam iklan sabun, rokok, hingga balap motor. Jangankan memperhatikan norma agama ataupun adat, bahkan pengiklannya tidak peduli apakah ada hubungannya dengan produknya atau tidak tetap saja menyodorkan kecantikan sebagai daya tarik.
Apa Ada Batasan Pekerjaan Perempuan Dalam Islam?
Wanita tidak dilarang keluar rumah selama tidak bertabarruj, yakni menonjolkan perhiasannya alias selama tidak tebar pesona. Muslimah-muslimah diajarkan untuk bersikap rendah hati, tidak mencolok, maupun menarik perhatian (khususnya lawan jenis).
Diriwayatkan dari Râfi‘ ibn Rifâ‘ah, ia menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan dengan kedua tangannya. Beliau bersabda, “Begini (dia kerjakan) dengan jari-jemarinya seperti membuat roti, memintal, atau menenun.” (HR Ahmad). Contoh-contoh yang disebutkan di atas adalah kiasan profesionalitas keahlian.
charger1
Taqiyuddiin An Nabhani dalam kitab An Nidzom Al Ijtima’iy merinci bahwa Islam melarang baik pria dan wanita untuk terjun dalam segala bentuk profesi yang membahayakan akhlak atau yang dapat merusak masyarakat. Khususnya wanita tidak boleh berkecimpung dalam segala bentuk pekerjaan yang bermaksud untuk menonjolkan aspek kewanitaannya (feminitas). “Pekerjaan” semacam ini tak lain adalah eksploitasi atas wanita.
Gunakan Hati Nurani Anda
Mereka-mereka yang memperkerjakan wanita dengan cara demikian harusnya lebih peka, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam  ketika datang seorang pemuda datang kepada beliau untuk meminta ijin berzina. Baginda Nabi tentu saja bisa mengatakan bahwa perbuatan yang diminta itu adalah tidak senonoh dan haram. Namun beliau mendekatkan pemuda tersebut dan memintanya untuk merenungkan manakala keluarganya-lah yang dizinahi orang lain. Tentu saja ia menolak bila itu terjadi pada ibunya, istrinya, putrinya, atau saudarinya. Begitulah orang yang berakal sehat, akan menginginkan keluarganya terjaga dalam kesucian dan keselamatan.
Lalu bagaimana dengan charger ladies itu, apakah sang penyelenggara mau pekerjaan wanita itu digantikan oleh istri mereka?
Makanan Media Sekuler
Berita ini tentu menarik bagi media massa, namun seperti yang mudah diduga, media massa sekuler tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk mengedukasi masyarakat; menunjukkan bahwa yang salah itu salah dan mengajak untuk menjauhi kesalahan itu. Media yang diam di depan kejahatan, sama halnya penjahat itu sendiri.
Sedangkan media yang menganggap nasehat untuk merubah keburukan bukan tugas dan wewenangnya, itulah contoh sekulerisme. Seolah-olah bersikap netral padahal mengambil keuntungan dengan naiknya rating dari pembaca adalah kemunafikan, menyembunyikan dukungannya pada kemaksiatan.
Media adalah agen perubahan. Tatkala tidak merubah menuju kebaikan, kemana lagi mereka akan membawa umat ini? []
Gilig Pradhana, peserta pelatihan guru di Universitas Hiroshima (2014) dan Universitas Pendidikan Guru Hyogo (2010). Pernah menjadi Kepala SMK Al-Furqan Jember pada tahun 2011-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar