“ALLAH Subhanahu Wata’ala pelindung orang-orang yang beriman, Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada satu cahaya
(iman).” (QS. Al Baqarah (2) : 257).
Datangnya hidayah
terkadang unik, di luar nalar kita. Ia tidak berproses secara logis,
bahkan terkesan instan. Ia bagaikan lailatul qadar yang menurut Buya
Hamka, waktunya sebentar tetapi mampu mengubah jalan hidup.
Namun, jika dirunut datangnya hidayah
sesungguhnyadiawali proses spiritual (mujahadah) yang panjang. Hidayah
ibarat seorang siswa yang memperoleh penghargaan akademik karena
kepintarannya. Upacara penghargaan memang berjalan hanya 10 menit.
Namun, proses mencapai puncak prestasi tersebut butuh kerja keras untuk
waktu yang lama.
Begitu juga hidayah. Untuk mendapatkannya,
orang perlu berproses terlebih dahulu. Proses itulah yang akan
mendatangkan pahala buatnya, sesuai dengan tingkat kepayahannya (al ujratu ‘alaa qodri al masyaqqah).
Adalah kisa yang terjadi dengan seorang
Muslimah di Kudus, Jawa Timur. Setelah lulus dari Sekolah Menengah
Pertama sekitar tahun 1991, ukhti yang kini menjadi pengasuh santriwati
SMPII Luqman Al Hakim, Hidayatullah ini masuk sekolah kebidanan dan
memilih tinggal di asrama. Saat itulah hidayah datang. Ia memutuskan
untuk mengenakan busana Muslimah.
Ini keputusan hijrah yang luar biasa buat
dirinya. Sebab, latar belakang pendidikannya bukan sekolah agama. Ia tak
pernah diajarkan tentang kewajiban berhijab selama duduk di bangku
sekolah. Yang ia pahami, menutup aurat hanya wajib ketika sedang shalat.
Keadaan ini diperparah oleh kurang simpatinya penampilan figur Muslimah berjilbab di kampungya. Jilbab diposisikan hanya sekadar tradisi. Pakaian luar itu tidak identik dengan kesucian batin dan keluhuran akhlak pemakainya.
Keadaan ini diperparah oleh kurang simpatinya penampilan figur Muslimah berjilbab di kampungya. Jilbab diposisikan hanya sekadar tradisi. Pakaian luar itu tidak identik dengan kesucian batin dan keluhuran akhlak pemakainya.
Alhamdulillah, hidayah itu datang laksana
fajar subuh(mitslu falaqish shubh), membuka belenggu hatinya,
melapangkan dadanya untuk menerima cahaya kebenaran.
Ada harapan baru, motivasi baru, dan cara pandang baru.
Usai berhijrah, ia terus berupaya meningkatkan kualitas amal shalih, sebagaimana cara bersyukurnya Nabi Sulaiman AS:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ
الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً
تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap
mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakku dan untuk menger jakan amal Sholeh yang Engkau
ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan
hamba-hamba-Mu yang Sholeh.” (QS: An Naml [27] : 19).
Awal Datangnya Hidayah
Cerita ini bermula ketika lima siswi
sekolah kebidanan membuat gebrakan tak biasa. Mereka memberanikan diri
memakai jilbab di sekolah.
Yang menarik, langkah berani kelima siswi
itu bukan sekadar ikut trendi, apalagi membuat sensasi. Mereka melakukan
itu untuk sebuah keyakinan. Dan, mereka terlihat sangat kuat memegang
prinsip (mabda). Mereka tak takut dengan siapa pun meski Surat Keputusan
tentang dibolehkannya memakai jilbab di sekolah kesehatan belum turun.
Mereka terlihat sangat siap menanggung
risiko tak diizinkan ikut ujian dan praktik lapangan, bahkan andai harus
dikeluarkan dari sekolah sekalipun. Belum lagi harus menghadapi
intimidasi, interogasi, pengucilan, pembunuhan karakter, dan dicitrakan
ekstrim. Konsekuensi seberat apa pun mereka siap terima.
Mereka juga berhati-hati dalam bergaul
dengan lawan jenis. Mereka berperilaku terpuji. Dan, yang mencengangkan,
mereka unggul dalam prestasi akademik.
Fenomena ini menumbuhkan rasa empati yang
dalam pada iri sang ukhti kepada lima sahabatnya ini. Rasa empati ini
kemudian berkembang menjadi keinginan yang besar untuk mengenal Islam
lebih dalam lagi, utamanya syariat berjilbab.
”Apakah kita termasuk orang-orang yang
hanya mengambil sebagian syariat yang sesuai dengan nafsusyahwat dan
menanggalkan syariat yang lain (jilbab).
Hidayah Allah jangan disia-siakan sebelum
Allah menggembok pintu hati kita.” Begitulah pesan lima pionir penegakan
syariat di sekolah itu kepada sang ukhti pada suatu hari.
Maka, tahulah ia bahwa berhijab merupakan
kewajibansetiap Muslim yang kedudukannya sama dengan wajibnya rukun
Islam. Ia bersifat qath’iyyatuts tsubut (ketentuan yang pasti, mengikat).
Kata-kata yang diucapkan kelima sahabatnya tersebut laksana sihir (inna minal bayani la sihran) yangmenggugah kesadarannya. Pernyataan yang keluar dari hati itu (qaulan tsaqila, qaulan layyina, qaulan karima, qaulan ma’rufah)
menghunjam kuat dalam hatinya, menguatkan tekad untuk segera mengambil
keputusan penting dalam fase kehidupannya, yaitu berjilbab, sekalipun
keluarga kurang mendukung.
Keputusan yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Dengan modal perhiasan pemberian orang tua, sang ukhti membeli
satu jilbab dan kain untuk mengganti seragam sekolah. Pakaian Muslimah
yang hanya sepotong itu tentu saja tidak cukup. Sang ukhti terpaksa
meminjam jilbab temannya jika jilbabnya kotor.
Awal mula memakai jilbab terasa canggung. Maklum, jilbab yang dipakai berukuran 150 cm. Ia tak biasa.
Namun, keyakinan di dalam lubuk hati
mengalahkan semuaitu. Nikmatnya iman telah mengubah pola pandang,
orientasi hidup, dan perilaku.
Bahkan, ada kenikmatan spiritual (lazzatur ruh), meminjam istilah Abul Ala Al Maududi dalam karya monumentalnya al Hijab, menjalar dalam tubuhnya.
Kenikmatan itu adalah ketenangan jiwa;
terkontrolnya ucapan, sikap, dan perbuatan; tidak takut menghadapi
ancaman dan teror yang dibuat manusia sekaligus penyerahan diri secara
total kepada Allah Yang Maha Melindungi; terjaganya kesucian, kemuliaan,
dan kehormatan; serta terangakatnya martabat.
Dia jadi teringat ungkapan bijak orang tua zaman dahulu: ajining rogo soko busono, ajining diri soko lathi (harga
diri fisik seorang diukur dari cara berpakaian, kualitas kepribadian
dinilai dari cara berbicara). Ia bisa memahami bahwa jilbab tidak
sekadar asesoris, hiasan lahiriah, tetapi berpengaruh juga pada kesucian
batin pemakainya.
Sejak itu, pakaian Muslimah yang
dipakainya menjadi filter sikap, tutur kata, pergaulan, kesehariannya.
Ia telah menemukan konsep kehidupan. Ia semakin rajin mengikuti berbagai
kajian keislaman (liqo).
Halaqah-halaqah taklim telah membuka
cakrawala pikirannya tentang kesempurnaan Islam. Ia semakin tidak
khawatir dan tidak berduka setiap diterpa persoalan hidup. Ia mudah
berfikir jernih dan tidak emosional. Berbagai ujian yang datang, ia
pahami sebagai usaha untuk meningkatkan derajatnya dan mengurangi
dosanya.
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
”… Kemudian jika benar-benar datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku,
niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (QS: Al Baqarah [2] : 38).
Berjuang Untuk Jilbab
Setelah diri mendapat hidayah maka tugas
berikutnya adalah mengajak orang lain untuk menggapai hidayah yang sama.
Itulah dakwah. Sang ukhti paham betul bahwa ia juga punya tanggungjawab
sosial untuk mendakwahnya syariat Islam kepada orang lain.
Dakwah yang paling sederhana adalah teladan. Itu telah ia tunjukkan dengan ucapan, perbuatan, juga prestasi.
Tak cuma itu, sang ukhti dan beberapa
aktivis Muslimah di Madiun, Jawa Timur, juga bertekat memperjuangkan
syariat berjilbab di lembaga pendidikan kesehatan agar kelak adik-adik
kelasnya bisa menjalankan syariat tanpa perasaan takut.
Mereka mencari dukungan para dokter di rumah sakit dan mendatangi Dinas Pendidikan Propinsi di Surabaya.
Alhamdulillah, pertolongan Allah datang.
Surat Keputusan soal jilbab turun beberapa hari sebelum ujian. Semua
siswi berjilab lulus dengan predikat sangat memuaskan dan sekarang telah
bertugas ke berbagai daerah.
Bukan Mode
Saat ini wanita berjilbab telah menjadi
pemandangan sehari-hari. Sayangnya, filosofi jilbab belum banyak
dipahami secara utuh oleh pemakainya. Jilbab masih dimaknai sekadar
mode, tak dijadikan fungsi taklim (pengajaran), tazkiyah (penyucian), tarbiyah (pembinaan), tashfiyah (pemurnian cara pandang), dantarqiyah (peningkatan kualitas kepribadian).
Akibatnya, betapa banyak Muslimah yang
berjilbab namun bebas bergaul dengan laki-laki lain yang bukan
mahramnya. Pola berislam seperti ini jelas indicator sebuah kemunafikan.
Nau’zubillah minzalik!
Sang ukhti adalah contoh nyata di zaman
yang serba bebas sekarang ini bahwa tegaknya syariat harus diperjuangkan
lewat dakwah dan teladan. Selebihnya, serahkanlah kepada Allah
Subhanahu Wata’ala yang berhak memberi hidayah kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya.
Kisah ini menunjukkan, bahwa hidayah juga
bisa datang dengan cara diusahakan alias ‘dijemput’. Ini sebagaimana
janji Allah Subhanahu Wata’ala;
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً هُمْ
نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ
إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُّسْتَقِيمٍ
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan
syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka
membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama)
Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus
(Islam)”. (QS: Al-Hajj: 67)
Juga seperti firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik.” (QS: Al-Ankabut: 69).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar