Sebagai seorang Muslim, tentu tidak ada panduan yang lebih diutamakan dalam mengambil keputusan selain Al-Qur’an.
Hal ini penting, mengingat Al-Qur’an
adalah satu-satunya kitab suci yang absolut benar. Mengikutinya secara
totalitas berarti menyiapkan diri dan keluarga dalam kebahagiaan. Dan,
menolaknya, berarti menjerumuskan dir dan keluarga dalam kesengsaraan.
Oleh karena itu, mau bagaimanapun dunia
ini diwarnai oleh hasil karya cipta manusia, seorang Muslim tidak akan
pernah bergeser dari menjalani hidup sesuai dengan tuntunan Islam, yakni
Al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk dalam hal menentukan prioritas dalam
mendidik anak.
Dalam masalah pendidikan, Islam meletakkan
pendidikan akidah di atas segala-galanya. Dan, itulah yang Allah
tekankan dengan menggambarkan betapa getolnya Nabi Ya’kub dalam masalah
ini. Sampai ketika anak-anaknya pun dewasa, pertanyaan beliau adalah
masalah akidah.
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub
kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:
“Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” (QS. Al-Baqarah [2]: 133).
Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan
bahwa kewajiban orangtua adalah memberi wasiat kepada anak-anaknya untuk
senantiasa beribadah kepada Allah semata.
Hal ini memberikan petunjuk penting bahwa
kewajiban utama orangtua terhadap anak-anaknya adalah tertanamnya akidah
dalam sanubarinya, sehingga tidak ada yang disembah melainkan Allah
Ta’ala semata.
Lantas, bagaimana cara kita menanamkan pendidikan akidah pada anak di zaman seperti sekarang ini?
Pertama, dekatkan mereka dengan kisah-kisah atau cerita yang mengesakan Allah Ta’ala.
Terkait hal ini para orangtua sebenarnya
tidak perlu bingung atau kehabisan bahan dalam mengulas masalah cerita
atau kisah. Karena, Al-Qur’an sendiri memiliki banyak kisah inspiratif
yang semuanya menanamkan nilai ketauhidan.
Akan tetapi, hal ini tergantung pada
sejauh mana kita sebagai orangtua memahami kisah atau cerita yang ada di
dalam Al-Qur’an. Jika kita sebagai orangtua ternyata tidak memahami,
maka meningkatkan intensitas atau frekuensi membaca Al-Qur’an sembari
memahami maknanya menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.
Kalaupun dengan cara membaca ternyata
masih belum bisa. Kita bisa menyiasatinya dengan membeli buku-buku kisah
dalam Al-Qur’an. Jadi, orangtua jangan pernah membelikan anak-anaknya
buku cerita, novel atau kisah apapun yang tidak mengandung nilai akidah.
Lebih-lebih yang mengandung unsur mitos dan pluralisme-liberalisme.
Mengapa demikian? Orangtua mesti sadar
bahwa anak-anak kita saat ini adalah target dari upaya sekulerisme
peradaban Barat. Untuk itu, sejak dini, anak-anak kita sudah harus
memiliki kekuatan akidah sesuai dengan daya nalar dan psikologis mereka.
Oleh karena itu, tahapan dalam menguatkan
akidah anak harus benar-benar kita utamakan. KH. Zainuddin MZ berpesan
dalam salah satu pencerahannya, “Didik mereka dengan jiwa tauhid yang
mengkristal di dalam batinnya, meresap sampai ke tulang sumsumnya, yang
tidak akan sampaipun nyawa berpisah dari badannya, akidah itu tidak akan
terpisah dari hatinya. Bahkan dia sanggup dengan tegar berkata, ‘Lebih
baik saya melarat karena mempertahankan iman dari pada hidup mewah
dengan menjual akidah.”
Kedua, ajak anak mengaktualisasikan akidah dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah langkah di atas, selanjutnya tugas
kita sebagai orangtua adalah mengajak mereka untuk mengaktualisasikan
akidah dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila anak kita belum baligh,
maka aktualisasi akidah ini bisa dilakukan dengan mengajak anak ikut
mendirikan sholat. Sesekali kita kenalkan dengan masjid, majelis taklim,
dan sebisa mungkin ajak mereka untuk senantiasa mendengar bacaan
Al-Qur’an dari lisan kedua orangtuanya.
Apakah tidak boleh dengan murottal melalui
alat elektronik? Jika tujuan kita adalah mengajak, maka keteladanan
jauh lebih efektif.
Adapun kala anak kita sudah baligh maka
orangtua harus tegas dalam masalah akidah ini. Jika anak sudah berusia
10 tahun dan enggan mendirikan sholat, maka memberi hukuman dengan
memukul sekalipun, itu dibolehkan.
Apabila anak kita perempuan, maka
mewajibkan mereka berjilbab menjadi satu keniscayaan. Dan, itu adalah
bagian dari aktualiasi akidah.
Dengan demikian, sejatinya tugas orangtua
dalam masalah akidah ini benar-benar tidak mudah. Sebab selain mengajak,
orangtua juga harus senantiasa melakukan kontrol akidah anak-anaknya.
Terlebih pengaruh budaya saat ini, seringkali menggelincirkan kaum
remaja pada praktik kehidupan yang mendangkalkan akidah.
Ketiga, mendorong anak-anak untuk serius dalam menuntut ilmu dengan berguru pada orang yang kita anggap bisa membantu membentuk frame berpikir islami pada anak.
Orangtua tidak boleh merasa cukup dengan
hanya menyekolahkan anak. Sebab akidah ini tidak bisa diwakilkan kepada
sekolah atau universitas. Untuk itu, orangtua mesti memiliki kesungguhan
luar biasa dalam hal ini.
Dengan cara apa? Di antaranya adalah dengan mencarikan guru yang bisa menyelamatkan dan menguatkan akidah mereka.
Dorong anak-anak kita untuk
bersilaturrahim, berkunjung ke pengasuh pesantren agar belajar, diskusi
atau sharing masalah akidah. Dorong mereka untuk mendatangi
majelis-majelis ilmu yang diisi oleh guru, ustadz, ulama atau pun figur
publik Muslim yang terbukti sangat baik dalam menguatkan akidah anak.
Mengapa kita sebagai orangtua merasa
ringan mengeluarkan biaya untuk kursus ini, kursus itu, sementara untuk
akidah yang super penting, bahkan untuk masalah surga dan neraka kita
sendiri, kita sebagai orangtua justru tidak mempedulikannya.
Semoga uraian sederhana ini, membantu para
orangtua untuk kembali pada orientasi pendidikan Islam yang
sesungguhnya. Karena hidup ini bukan semata dunia, tetapi juga akhirat.
Maka jangan abaikan masalah yang sangat menentukan dan diperhatikan
super serius oleh para Nabi dan Rasul. Wallahu a’lam.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar