Minggu, 01 Februari 2015

Mengenal Jasus (Intel) dan Hukum Tentangnya

Oleh: Syaikh Al-Harits bin Ghazi An-Nadzari hafizhahullah (Muhammad bin Abdul Qadir al-Mursyidi)
Jasus adalah orang yang bekerjasama dengan musuh dalam rangka mengorek informasi tentang kaum muslimin lalu menyampaikan informasi tersebut kepada orang kafir. Hukuman bagi jasus adalah dibunuh.
Syekh Abdullah Azzam RHM membahas masalah ini secara khusus dalam bukunya: Fi al-Jihaad adaabun wa ahkaamun. Pembahasan beliau tersebut sangat bagus dan bermanfaat, di sini saya nukilkan sesuai aslinya. Syekh RHM berkata:
“Hukum seorang jasus tergantung kepada dien dan statusnya. Jasus yang kafir lain dengan jasus dari kalangan ahli dzimmah dan dari kaum Muslim.
Jasus adalah: Orang yang mengorek rahasia dan kekurangan orang lain lalu menyebarkannya. Sedangkan yang dimaksud jasus di sini adalah: orang yang menyebarkan rahasia kaum Muslimin kepada musuh.
Adapun jasus yang kafir, maka jumhur fuqaha berpendapat hukumannya dibunuh. Dalilnya adalah hadits dalam Ash-Shahihain dari Iyas bin Salamah bin al-Akwa’ dari ayahnya ia berkata, “Ada seorang dari kaum musyrikin memata-matai Nabi SAW dalam salah satu perjalanan beliau, lalu beliau duduk sebentar berbincang-bincang dengan para shahabatnya, tiba-tiba mata-mata itu terlihat melarikan diri. Maka Nabi SAW bersabda, “Kejar dan bunuh dia.” Maka Salamah berhasil membunuhnya dan Nabi SAW memberikan salab mata-mata itu kepadanya.” Ini versi riwayat Bukhari.
Dalam riwayat Muslim: “Rasulullah SAW bertanya, “Siapa yang membunuhnya?” Orang-orang menjawab, “Ibnu al-Akwa’.” Rasulullah SAW bersabda, Salab-nya untuk dia seluruhnya.” (Fathul Bari 6/ 168 bab: Al-Harbi idzaa dakhala daaral Islaam bighairi Islaam).
An-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini diterangkan tentang hukum bunuh bagi jasus dari kalangan kafir harbi, dan ini masalah yang telah disepakati. Adapun kafir mua’ahad dan dzimmi, Malik dan al-Auza’I berkata, “Ikatan perjanjiannya terbatalkan dengan perbuatan tersebut.” Sedangkan menurut Asy-Syafi’I ada khilaf dalam hal itu. Adapun jika dalam klausul perjanjian ia mensyaratkan untuk tidak memata-matai, maka ikatan perjanjiannya terbatalkan berdasarkan kesepakatan seluruh ulama.”
Adapun kafir dzimmi yang memata-matai kaum muslimin, para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan statusnya: apakah perbuatannya itu menjadi pembatal bagi perjanjiannya sehingga ia harus dibunuh, ataukah ia cukup menjadi fai bagi kaum muslimin?
Kalangan madzhab Hanafi mengatakan, “Perbuatannya itu tidak membatalkan perjanjiannya kecuali disyaratkan secara tegas dalam akad dzimmah dan klausul jaminan keamanan.” Dinyatakan dalam As-Sair al-Kabiir (5/ 402): “Muhammad bin al-Hasan berkata, “Begitu juga jika tindakan memata-matai ini dilakukan oleh kafir dzimmi, maka ia dihukum dengan hukuman yang menyakitkan sebagai sebuah bentuk sanksi, lalu dijebloskan ke penjara. Perbuatannya itu tidak menjadi pembatal perjanjiannya. Begitu juga jika dilakukan oleh orang kafir musta’min, menurut kami. Hanya saja, menurut kami ia hanya dijatuhi hukuman yang menyakitkan sebagai bentuk sanksi dalam semua itu.”
Jika ketika meminta jaminan keamanan kaum muslimin mengatakan kepadanya, “Kami jamin keamananmu asal kamu tidak menjadi mata-mata!” lalu ia mengabaikannya, maka tidak mengapa membunuhnya. Jika Imam memutuskan hartanya diambil sebagai salab agar menjadi pelajaran bagi yang lain, maka tidak mengapa. Jika ia memutuskan agar dia dijadikan fai, maka tidak mengapa juga, seperti halnya tawanan yang lain. Hanya saja, sebaiknya ia dihukum mati agar yang lain mengambil pelajaran.
Jika yang melakukannya adalah wanita, maka dibunuh pun tidak mengapa meskipun makruh.
Orang tua yang masih normal fikirannya dan tidak mampu berperang, kedudukannya seperti wanita. Adapun anak kecil, ia tidak bisa dijadikan fai dan tidak boleh dibunuh.
Adapun jasus yang penampilan lahiriyahnya Islam, pendapat para fuqaha berbeda-beda tentangnya. Madzhab Hanafi, Syafi’I dan Hambali mengatakan, “Tidak boleh dibunuh, tapi dijatuhi takzir.” Imam Malik, Ibnu al-Qasim dan Asyhab dari madzhab Maliki mengatakan, “Terserah kepada ijtihad imam.”
Abdullah bin al-Majisyun dari madzhab Maliki mengatakan, “Jika itu sudah menjadi kebiasaannya maka ia harus dibunuh, sebab dia adalah jasus.”
Imam Malik sendiri berpendapat hukuman jasus adalah dibunuh, dan itu pendapat yang benar, karena dia telah mencelakakan kaum muslimin dan menebar kerusakan di muka bumi. (Tafsir al-Qurthubi 25/ 81).
Al-Auza’i berkata, “Imam hendaknya menghukumnya dengan hukuman sangat keras dan mengasingkannya ke tempat yang jauh.” (Syarhus Sunnah al-Baghawi 10/ 71).
Disebutkan dalam As-Sair al-Kabir, “Muhammad bin al-Hasan berkata, “Jika kaum muslimin mendapati seseorang yang mengaku Islam memata-matai umat Islam dan menuliskan rahasia-rahasia mereka kepada kaum musyrikin, lalu secara sukarela ia mengakui perbuatannya, maka ia tidak dibunuh. Akan tetapi imam menjatuhinya hukuman yang menyakitkan sebagai bentuk sanksinya.”
Dasar dalam masalah ini adalah hadits Hatib bin Abi Balta’ah al-Badri yang menulis surat kepada kaum kafir Mekkah, memberitahu mereka bahwa Rasulullah SAW akan menyerang mereka. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Apa ini wahai Hatib?”
Hatib berkata, “Jangan terburu-buru menghukumi diriku. Sesungguhnya saya adalah orang yang berada di tengah kaum Quraisy namun bukan bagian dari mereka. Semua kaum muhajirin yang bersama anda memiliki kerabat yang akan melindungi familinya, sedangkan di Mekah saya tidak memiliki kerabat. Karena saya tak punya kerabat maka saya bermaksud untuk meminta bantuan mereka. Demi Allah, saya tidak melakukannya karena ragu terhadap dien saya, tidak pula karena ridha kepada kekafiran setelah Islam.”
Maka Rasulullah SAW bersabda, Ia telah berkata jujur.
Umar berkata, “Wahai Rasulullah! Biarkan saya menebas leher orang munafik ini.” Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya ia telah ikut dalam perang Badar. Dan kamu tidak tahu wahai Umar, barangkali Allah telah melihat diri para pengikut perang Badar, lalu berfirman: Berbuatlah sesuka kalian, Aku telah mengampuni kalian. Maka turunlah ayat:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ …(١)
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang…. (QS. Al Mumtahanah: 1)

Hadits ini muttafaq ‘alaih.
Disebutkan dalam Syarh as-Sunnah (1/ 47): “Imam Malik berkata, “Dalam hadits Hatib terdapat dalil bahwa orang yang menghalalkan perkara haram karena takwil tidak sama dengan orang yang melakukannya dengan sengaja tanpa takwil. Orang yang melakukan sesuatu yang dilarang lalu mengklaim melakukannya berdasarkan takwil yang memang terkandung dalam nash maka ia tidak boleh dibunuh.  Orang yang melakukan aktifitas mata-mata untuk kepentingan orang kafir kemudian mengaku melakukannya berdasarkan takwil dan ketidaktahuan, ia dimaafkan.”
Sementara jumhur ulama berdalil dengan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ …(١)
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang…. (QS. Al Mumtahanah: 1)

Di sini Allah masih menyebut Hatib sebagai orang beriman, sedangkan orang beriman tidak boleh dibunuh dan ditumpahkan darahnya. Imam Ibnul Qayyim lebih cenderung kepada pendapat Imam Malik, kami pun sependapat dengan beliau.
Ibnul Qayyim RHM berkata dalam Zadul Maad (3/ 411): “Diriwayatkan secara shahih dari Nabi SAW bahwa beliau pernah membunuh jasus. Beliau juga pernah dimintai izin oleh Umar untuk membunuh Hatib, namun beliau bersabda, “Kamu tidak tahu wahai Umar, barangkali Allah melihat diri para pengikut perang Badar lalu berfirman,Berbuatlah sesuka kalian, Aku telah mengampuni kalian.”
Maka hadits ini juga dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat, seperti Imam Malik dan sebagian pengikut Imam Ahmad dan lain-lain, bahwa hukuman bagi seorang jasus adalah dibunuh. Mereka mengatakan, “Karena Nabi SAW menyebutkan alasan yang menghalangi Hatib dibunuh,  yang alasan itu tidak terdapat pada selain pengikut perang Badar. Sebab suatu hukum jika dikaitkan dengan sesuatu yang lebih umum maka yang lebih khusus tidak terkena pengaruhnya. Pendapat ini lebih kuat, wallahu a’lam.” Demikian uraian Ibnul Qayyim.
Syekh Abu Yahya Al-Libiy – hafizahullah — (waktu buku ini ditulis beliau masih hidup – edt) mengatakan dalam kitabnya Al-Muallim fi hukmi al-jaasuus al-muslim:
“Jasus yang secara lahiriyah menampilkan keislaman terbagi menjadi dua:
Pertama: Kegiatan mata-matanya jelas membantu kaum kafir dalam memerangi kaum muslimin. Perbuatan ini jelas sekali masuk dalam katagori muzaaharah (membantu orang kafir). Orang yang seperti ini murtad. Mengenai dibunuh atau tidaknya dia, maka hukumnya seperti orang zindiq. Jika ia menyerahkan diri sebelum ditangkap maka taubatnya diterima. Jika tidak, ia harus dibunuh, kecuali jika dengan tidak membunuhnya akan mendatangkan maslahat yang jelas, maka tidak mengapa membebaskannya demi meraih maslahat tadi.
Kedua:  Kegiatan mata-matanya tidak secara jelas membantu orang kafir. Yang demikian ini hukumannya didasarkan kepada ijtihad, sesuai yang pantas bagi kejahatannya. Bila perlu bisa sampai kepada hukuman mati, sebagai bentuk takzir.
Semua ini berlaku bagi jasus yang berada di bawah kekuasaan mujahidin (almaqdur ‘alahi), di mana keadaannya bisa diinvestigasi. Adapun jasus yang mempersenjatai diri (al-mumtani’ bi asy-syaukah) di mana kejahatannya tidak bisa dihentikan selain dengan dibunuh, maka ia harus dibunuh, baik dari jenis yang pertama maupun kedua.
Wallahua’lam..
http://www.lasdipo.com/kajian/fatawa/2015/01/24/mengenal-jasus-intel-dan-hukum-tentangnya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar