Seorang remaja menyatakan cintanya pada temanya yang berjilbab disaksikan banyak orang (ilustrasi)
Oleh: Faris Khoirul Anam
Ada tiga generasi yang menjadi fenomena sekarang ini; Pertama, generasi mind-set,
yaitu generasi yang pikiran dan alam bawah sadarnya sudah disetir oleh
media besar dan gegap gempita informasi. Dia tak punya pendirian kokoh.
Ini masuk generasi parah.
Kedua, generasi mind-less, yaitu generasi yang tidak punya pikiran. Ini lebih parah dari yang pertama.
Ketiga, generasi mind-power,
yaitu generasi yang melakukan sesuatu dengan dasar pengetahuan ilmu.
Dia menyadari bahwa semua perbuatan ada dampak dan konsekuensinya.
Nah, remaja kita, anak-anak kita, murid-murid dan santri kita, atau bahkan kita sendiri masuk generasi mana?
Mudah-mudahan generasi-generasi Islam itu,
dan seharusnya, menjadi generasi yang mind power. Pemuda-pemudi muslim
seharusnya menjadi pribadi yang memiliki pendirian, pijakan, dan
keyakinan pada kebaikan budaya timur, terutama ajaran Islam.
Pernah dengar istilah S+3F?
Secara makro, kita harus memahami dan
waspada, jangan-jangan fenomena ini adalah suatu strategi untuk merusak
generasi kita. Ada namanya S+3F. Ada yang lebih lengkap lagi: 4S+4F.
“S”-nya adalah Sex. Kita tahu berapa
jumlah penderita AIDS di negara kita. Berapa jumlah hubungan bebas di
negara kita. Bahkan berapa kali penelitian yang dilakukan berbagai
pihak, berapa persen siswa, mahasiswa, atau remaja, yang sudah pernah
berhubungan di luar nikah. Belum lagi seks yang dipasarkan lewat
internet, media, dan sebagainya. Semoga anak dan murid kita, juga kita,
dihindarkan dari fitnah ini.
Di antara “F” itu adalah fashion atau busana. Sekarang busana kan makin hancur saja. Lalu, “F” lain adalah festival atau fun.
Festival itu hura-hura, pesta-pesta. Sekali lagi, kita harus mewaspadai
semua itu sebagai godaan terbesar untuk mengikis mental anak-anak muda.
Marilah kita berfikir, merayakan kasih sayang melalui valentine itu benar atau salah?
Ini soal mind-set! Sekali lagi, lebih penting dari sekedar hura-hura dan pesta itu, adalah mind-set kita. Jangan sampai melakukan sesuatu karena kita disetir informasi yang salah.
Misalnya, mengapa harus merayakan kasih sayang pada hari Valentine’s, meskipun misalnya oleh pasangan yang sudah menikah?
Mari dalam bersikap dan berperilaku, kita
menggali dari pengetahuan agama kita sendiri, sumber kita sendiri, agar
ajaran kita menjadi universal.
Mengkorelasikan wujud cinta kepada
sahabat, istri, atau suami dengan valentine itu benar atau tidak? Apa
perlu kita mengkorelasikan seperti itu?
Marilah kita membuka pikiran kita. Kata orang, open your mind! Karena konsep cinta dan kasih sayang dalam Islam sangat banyak. Misalnya, dengan tahaadduu tahaabbuu (saling menghadiahilah kamu, supaya kamu saling mencintai). Itu kan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, tanpa mengait-ngaitkan dengan Valentine’s.
Dan yang lebih penting lagi, kita ini lebih mempunyai ajaran-ajaran dahsyat dari pada sekedar simbolisasi.
Rasulullah memiliki sifat penyayang yang
luar biasa, baik kepada istri, sahabat, anak kecil, bahkan kepada musuh
sekalipun. Bahkan, sifat sayang Nabi itu “lintas makhluk”. Kepada
binatang dan benda matipun Nabi memiliki sifat sayang. Banyak riwayat
yang mengisahkan hal itu.
Nah, kita ini nggak kenal siapa
itu St Valentino (yang menjadi simbolisasi perasaan cinta di bulan
Pebruari itu). Menurut Ensiklopedia Katolik, Santo yang hari rayanya
diperingati pada hari yang sekarang disebut Hari Valentine (Valentine’s
Day).
Hanya karena bombardir informasi dan gegap
gempita personalisasi Valentino, kita ikut-ikutan. Itulah problem
terbesar anak-anak sekarang, tidak mengetahui dasar apa yang ia lakukan.
Saya punya kawan sekaligus guru, Gus
Achmad Shampton Masduqie. Beliau ini seorang kepala KUA di salah satu
kecamatan di kota Malang. Ia pernah bercerita, “Suatu hari seorang modin
bertamu dan berkata kepada saya, ‘Gus, coba panjenengan
perhatikan. Setiap Maret-April pasti ada yang mengajukan dispensasi
nikah ke Pengadilan Agama, karena yang perempuan itu hamil duluan. Ini
akibat bapak ibunya bersuka cita, atau tak mau tahu, jalan-jalan di
malam Tahun Baru, sementara anak gadisnya dititipkan ke pacarnya. Pola
yang sama didapati pada bulan April-Mei. Kalau yang ini hasil ‘produksi’
Valentine’s Day di bulan Pebruari.” Astaghfirullah!
Peradaban dan Syahwat
Peradaban itu akan naik dan maju ketika
yang dijadikan nilai-nilai dalam kehidupan kita adalah nilai-nilai
mulia. Dan nilai mulia yang paling besar itu adalah agama. Peradaban itu
akan stagnan dan jalan di tempat kalau kehidupan kita didominasi oleh
nilai materialisme, dengan hanya mengejar pencapaian-pencapaian
material.
Misalnya, hanya membangun gedung hotel,
berapa untungnya, program apa yang digulirkan untuk menarik konsumen.
Hanya membangun kota wisata, berapa pengunjungnya, berapa untungnya.
Tanpa memikirkan halal-haramnya.
Peradaban itu akan hancur kalau sudah didominasi oleh nilai-nilai syahwat.
Peradaban tanpa iman itu pasti hancur dan anak-anak muda kita akan hancur. Tentu hal ini tidak kita inginkan. Wallahul-Musta’an.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar