IMAM MALIK BIN ANAS selaku mujtahid,
lebih-lebih mujtahid mutlak yang merupakan sebutan bagi sejumlah orang
yang memiliki derajat tertinggi dalam ijtihad pastilah memahami Al
Qur`an dan As Sunnah lebih banyak daripada ulama yang tidak sampai pada
derajat itu, lebih berhati-hati dalam berfatwa, serta telah mengeluarkan
seluruh kemampuan yang dimiliki dalam berijtihad, hingga sampai bahwa
pendapatnya paling dekat dengan kebenaran.
Namun meski demikian, Imam Malik enggan
untuk memaksakan pendapatnya kepada mereka yang ternyata telah berpegang
kepada selain madzhab beliau. Bahkan beliau menolak usulan tiga
khalifah Abasiyah yang menginginkan agar madzhab ulama Madinah ini
diterapkan di seluruh negeri Muslim dan malah menyarankan agar umat
Islam tetap dibiarkan menganut madzhabnya masing-masing.
Permintaan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur kepada Imam Malik
Sejumlah ulama telah mencatat percakapan
antara ulama besar salaf ini dengan para khalifah mengenai parkara di
atas. Ibnu Abi Hatim dalam muqadimah Al Jarh wa At Ta’dil (hal. 59)
mencatat bahwa suatu saat Khalifah Abu Ja’far Al Manshur mengatakan
kepada Imam Malik,”Aku benar-benar menginginkan agar ilmu ini hanya satu
saja, maka aku tulis ilmu itu kepada para pemimpin pasukan lantas dan
para hakim lantas mereka menerapkannya. Barang siapa menolak maka aku
penggal lehernya!”
Imam Malik pun menjawab,”Wahai Amirul
Mukminin, sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dulu berada di
tengah umat ini, dan mengirim pasukan serta beliau sendiri keluar untuk
berperang dan tidak banyak negeri yang dibebaskan sampai Allah Azza wa
Jalla memanggil beliau. Kemudian setelah beliau, Abu Bakr
Radhiyallahu’anhu melanjutkan dan tidak terbebaskan banyak negeri.
Kemudian selanjutnya Umar Radhiyallahu’anhu melanjutkan, hingga
terbebaskanlah banyak negeri melalui tangannya. Sebagai akibatnya, maka
Umar mengirim para sahabat Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam sebagai
guru. Dan secara berkesinambungan diambillah ilmu dari mereka oleh
ulama besar dari ulama besar hingga saat ini. Jika engkau pergi untuk
mengubah mereka dari apa-apa yang mereka ketahui menuju hal-hal yang
tidak mereka kenal, maka mereka akan menilai hal itu sebagai kekufuran. Akan tetapi biarkanlah penduduk setiap negeri berpijak kepada ilmu yang ada pada mereka. Ambillah ilmu ini untuk dirimu sendiri”
Khalifah Abu Ja’far Al Manshur pun
menjawab,”Perkataan Anda tidaklah salah. Tulislah ilmu ini untuk
Muhammad”, yakni putranya Al Mahdi yang akan menjadi khalifah
setelahnya.
Dalam riwayat Ibnu Sa’d dari gurunya Al
Wakidi, bahwa ketika Abu Ja’far Al Manshur melakukan haji, ia mengundang
Imam Malik. Dalam kesempatan itu, Abu Ja’far Al Manshur
menyampaikan,”Aku telah bertekad untuk memerintahkan dengan kitabmu ini-
yakni Al Muwaththa’-, lalu engkau salin, kemudian aku mengirimnya ke
setiap negeri kaum Muslimin satu naskah dan aku memerintahkan mereka
untuk menerapkannya serta tidak berpaling kepada selainnya, lalu mereka
meninggalkan ilmu baru selainnya. Sesungguhnya aku berpendapat bahwa
ilmu yang murni adalah adalah riwayat Madinah dan ilmu mereka”.
Imam Malik pun menjawab,”Wahai Amirul
Mukminin, janganlah Anda lakukan hal itu. Sesunggunya telah sampai
terlebih dahulu kepada mereka pendapat-pendapat, mereka menyimak
hadits-hadits, mereka juga meriwayatkan periwayatan. Dan setiap kaum
mengambil dari apa yang datang terlebih dahulu kepada mereka dan mereka
mengamalkannya. Serta dengan ilmu itu, mereka hina dengan perselisihan
manusia dan selainnya. Dan jika Anda jauhkan mereka dari apa yang mereka
yakini, maka hal itu cukup memberatkan. Maka biarkan manusia bersama dengan apa yang mereka pijak dan apa yang dipilih oleh setiap negeri untuk mereka masing-masing”. (Thabaqat Ibnu Sa’d, hal. 440)
Al Wakidi dikenal dhaif dalam hadits, namun dalam periwayatan sejarah para ulama menerima periwayatnnya.
Permintaan Khalifah Al Mahdi kepada Imam Malik
Dalam Tartib Al Madarik juga disebutkan
dialog, kali ini antara Imam Malik dengan Khalifah Al Mahdi. Al Mahdi
berkata,”Wahai Abu Abdullah, tulislah sebuah kitab yang aku bawa umat
ini kepadanya”.
Imam Malik pun menjawab,”Adapun negeri
Maghrib, engkau telah dicukupkan olehnya. Adapun Syam, terdapat Al
Auza’i, sedangkan penduduk Iraq, mereka adalah ahlul Iraq” (Tartib Al
Madarik, 1/193)
Hal itu disebabkan karena banyak murid
Imam Malik yang berada di Mahgrib, sedangkan di Syam ada Imam Al Auza’i,
maka tidak perlu mendesak madzhab mereka serta membiarkan setiap negeri
dengan madzhab yang dianut. Kisah yang sama dicatat Imam Adz Dzhabi
dalam Siyar A’lam An Nubala 8/78)
Permintaan Khalifah Ar Rasyid kepada Imam Malik
Al Hafidz Abu Nu’aim dalam Hilyah Al
Auliya (6/322)meriwayatkan bahwa Imam Malik bermusyawarah dan Ar Rasyid
dalam tiga perkara, salah satunya adalah usulan untuk menempelkan Al
Muwaththa dan membawa manusia sesuai dengan apa yang di dalamnya. Maka
Imam Malik pun menjawab,”Sesungguhnya sahabat Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam berselisih dalam masalah furu’, dan mereka
menyebar di seluruh penjuru, dan semuanya bagi diri mereka sendiri
adalah perkara yang benar”.
Kisah ini sanadnya hasan menurut Imam Adz
Dzhabi, namun beliau berpendapat bahwa kisah terjadi antara Al Mahdi
dengan Imam Malik, bukan Ar Rasyid.
Sedangkan Al Hafidz Al Khatib Al Baghdadi
dalam Ar Ruwat ‘an Malik menyebutkan bahwa Ar Rasyid menyampaikan,”Wahai
Abu Abdullah, kita tulis kitab-kitab ini dan kita sebar ke seluruh
penjuru negeri Islam untuk membawa umat kepadanya!”
Imam Malik pun menjawab,”Wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya ikhtilaf umat adalah rahmat dari Allah
atas umat ini, semuanya mengikuti apa yang benar menurut mereka,
semuanya di atas hidayah, semuanya menginginkan Allah”. (lihat, Kasyf Al Khafa’, 1/65)
Dalam Hilyah Al Auliya disebutkan
periwayatan yang sama, namun antara Imam Malik dan Al Makmun, dan
riwayat ini dikritik oleh Qadhi Iyadh dalam Tartib Al Madarik (1/209),
karena Imam Malik tidak mengalami masa Al Makmun dan wafat sebelumnya
sedangkan riwayat yang shahih adalah dialog antara Imam Malik dan Ar
Rasyid.
Sedangan Al Muhaddits Muhammad Awwamah
berpendapat bahwa tidak ada masalah adanya permintaan berulang-ulang
dari Abu Ja’far, kemudian anaknya Al Mahdi lalu Ar Rasyid karena hal itu
memang memungkinkan.
Dan yang paling penting dari seluruh
periwayatan ini adalah kesamaaan pernyataan mengenai penolakan Imam
Malik terhadap usulan untuk membawa seluruh umat Islam kepada madzhab
beliau dan membiarkan agar umat Islam tetap berada dalam madzhab yang
mereka anut.
Apa yang disampaikan oleh Imam Malik
merupakan tauladan bagi semua umat Islam dalam merespon perbedaan
madzhab fiqih dengan sikap yang sangat bijaksana. Semoga kita bisa
mengikutinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar