Satu hal yang selalu saya
syukuri, aku dan adik-adikku punya kedekatan yang akrab dengan abah
(panggilan ayah kami). Seiring waktu, kini abah memiliki 10 orang anak,
umurnya mulai menginjak separuh abad lamanya. Sebuah usia yang tak bisa
dibilang masih muda.
Abah, sosok lelaki pekerja keras dengan
segudang kesibukan yang tak bisa kutuang dalam kata-kata. Demikian aku
menyifatinya. Pekerjaan utamanya adalah mengurus dakwah atau biasa
disebut da’i. Saat ini abah juga lanjut kuliah Pasca Sarjana Program
Doktoral di sebuah kampus Islam.
Mengungkap kesibukan abah adalah hal
konyol. Tak jarang hal itu menjadi permainan tebak-tebakanku bersama
adik-adik di malam hari.
“Ayo, siapa yang punya tebakan benar. Abah
sedang apa dan di mana sekarang?” Tanyaku memancing permainan. “Abah
makan apa dan tidur di mana malam ini?” Kasyful Anwar, adikku yang
kedua, ikut bertanya meramaikan suasana.
Tentu saja, kami harus mengingat jawaban
yang ada. Sebab jawaban yang benar hanya bisa “diputuskan” setelah abah
pulang ke rumah nantinya. Itupun tak ada yang tahu, kapan abah bisa
pulang ke rumah.
Kadang, pekerjaannya sebagai da’i
mengharuskan abah bercengkrama dengan persoalan umat secara langsung.
Dari satu daerah pindah ke daerah berikutnya. Ah, memikirkannnya saja
sudah melelahkan, bagaimana dengan abah yang melakoninya? “Lebih baik
tidur saja sekarang,” ucapku mengakhiri permainan tebak-tebakan.
Iya, abah selalu istimewa buat kami
sepuluh orang anaknya. Suatu malam selepas Maghrib, kami sekeluarga
besar sedang berkumpul di rumah kami yang sederhana. Tak ada tema
tertentu, semua yang hadir bebas berceloteh dan berbicara apa saja.
Tiba-tiba, abah memberi isyarat diam kepada kami semua.
“Abah punya rahasia,” pancing abah tersenyum.
Mendengar kata rahasia, tanpa dikomando kami semua segera memilih diam, siap menyimak apa gerangan rahasia abah tersebut.
“Meski abah sudah tua, tapi abah tetap
memendam cita-cita menjadi penghafal Al-Qur’an seperti kalian semua.
Hafalannya harus khatam, bukan setengah-setengah lagi,” ungkap abah
membongkar rahasia.
“Karena punya banyak tugas, abah coba
menghafal sedikit demi sedikit, ayat per ayat. Paling tidak, bisa hafal
satu juz selama tiga atau empat bulan sekali,” papar abah memberi
gambaran tentang the secret misson itu.
“Jika Allah berkehendak memberi umur 10
tahun lebih, berarti abah bisa selesai 30 juz sebelum meninggal nanti.
Doakan abah ya, Nak!” pinta abah yang langsung diamini oleh ummi dan
kami semua.
Jujur, saat itu, aku tak kuasa
menyembunyikan airmata. Hidup abah mungkin tidak seberuntung
anak-anaknya. Abah bukan dibesarkan dalam lingkungan agama. Abah juga
tak pernah berstatus “santri” di sebuah pesantren. Tak seperti
anak-anaknya yang sejak dini sudah mengecap didikan ala pesantren.
Menurut abah, semangat keislaman itu baru
tumbuh sejak aktif berorganisasi kala menjadi mahasiswa dulu. Ada rasa
haru yang menggemuruh dalam dadaku mendengar tutur abah yang begitu
jujur dan merendah. Orangtua yang ingin mengikuti jejak anak-anaknya,
demikian kalimat yang sering diulang abah belakangan ini.
Ah, ‘orangtua yang ingin mengikuti jejak
anak-anaknya’ bagiku, kalimat ini cukup menggelitik. Bukankah setiap
kebaikan anak adalah poin keberkahan buat orangtua itu sendiri?
Alhamdulillah, di antara kami bersaudara,
ada beberapa adik yang sudah menyelesaikan hafalan 30 juz secara
lengkap. Selebihnya, mereka semua sedang berproses dengan jumlah dan
tingkatan hafalan al-Qur’an yang berbeda-beda.
Jika Kasyful, adikku, sedang di rumah. Tak
sungkan, abah memilih mundur selangkah ke belakang dan mempersilahkan
putra keduanya itu mengambil posisinya sebagai imam shalat. Seolah abah
memberi isyarat, bahwa kemuliaan seseorang itu diukur sebanding dengan
al-Quran.
“Silakan maju, abah biar di belakang saja,” ucap abah kepada adikku.
Masih berselimut haru memikirkan ucapan
abah Maghrib itu, tiba-tiba ingatanku tertumbuk pada peristiwa yang
lain. Dengan bangga, abah pernah menceritakan kemajuan hapalan
al-Qur’annya kepada kami semua. Saat itu rupanya abah baru saja
menyelesaikan surah al-Muthaffifin yang disimak dan diuji oleh adikku
yang kelima.
Menurut abah, surah ini yang paling susah ia hafal di juz ke-30.
“Alhamdulillah, tuntas juga akhirnya Juz Amma ini. Sebab di sana ada al-Muthaffifin.” Jelas abah membagi alasan kebahagiaannya.
Sebenarnya, abah bukan tak punya hapalan
sama sekali. Beberapa ayat dan surah abah hafal secara berserak dalam
al-Qur’an. Ini juga alasan, mengapa abah surprised atas
keberhasilan menuntaskan satu juz secara penuh. Abah tak malu mengakui
hal itu, padahal di saat yang sama, adikku yang ketujuh sudah melewati
Juz Amma itu dua tahun yang lalu. Sekali lagi, abah sukses memaksaku
menitikkan kembali air mata. Entah untuk ke berapa kalinya aku menangis
buatnya. Aku sendiri tak pernah ingin menghitungnya.
Kadangkala aku berpikir, apa alasan abah ngotot ingin juga menjadi penghafal Al-Qur’an? Bukankah seusi dan kondisinya “hukum” itu berubah menjadi tak wajib?
Bagiku yang mengenalnya, abah sudah
terlalu lelah dengan kesibukan yang tak henti menjejalinya. Biarlah kami
sepuluh orang anaknya ini mengikat janji bersama. Membelikan mahkota
buat ayah kami tercinta di surga kelak. Biarlah kami sepuluh orang
anaknya ini yang bergantian mengenakan mahkota tersebut di atas kepala
orang yang tak henti kami berdoa untuknya.
Dalam diam aku masih terus meraba, boleh
jadi abah tak puas “hanya” menjadi istimewa bagi keluarga yang
mencintainya. Tapi abah juga ingin status yang lebih istimewa lagi.
Menjadi “Ahlullah” di sisi Rabbnya nanti .
“Yaa Allah, mudahkan segala urusan orang
mencintai kami dalam kebaikan. Sampaikan kepada mereka untuk setiap
cita-cita mulia. Kumpulkan kami kembali di firdaus-Mu yang tertinggi
sebagaimana Engkau pernah mengumpulkan kami di bumi.”*/Diceritakan Nurul Qolbi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar