Senin, 02 Maret 2015

Ya Allah, Izinkah Aku Mengenakan “Mahkota” Padanya Kelak

Satu hal yang selalu saya syukuri, aku dan adik-adikku punya kedekatan yang akrab dengan abah (panggilan ayah kami). Seiring waktu, kini abah memiliki 10 orang anak, umurnya mulai menginjak separuh abad lamanya. Sebuah usia yang tak bisa dibilang masih muda.
Abah, sosok lelaki pekerja keras dengan segudang kesibukan yang tak bisa kutuang dalam kata-kata. Demikian aku menyifatinya. Pekerjaan utamanya adalah mengurus dakwah atau biasa disebut da’i. Saat ini abah juga lanjut kuliah Pasca Sarjana Program Doktoral di sebuah kampus Islam.
Mengungkap kesibukan abah adalah hal konyol. Tak jarang hal itu menjadi permainan tebak-tebakanku bersama adik-adik di malam hari.
“Ayo, siapa yang punya tebakan benar. Abah sedang apa dan di mana sekarang?” Tanyaku memancing permainan. “Abah makan apa dan tidur di mana malam ini?” Kasyful Anwar, adikku yang kedua, ikut bertanya meramaikan suasana.
Tentu saja, kami harus mengingat jawaban yang ada. Sebab jawaban yang benar hanya bisa “diputuskan” setelah abah pulang ke rumah nantinya. Itupun tak ada yang tahu, kapan abah bisa pulang ke rumah.
Kadang, pekerjaannya sebagai da’i mengharuskan abah bercengkrama dengan persoalan umat secara langsung. Dari satu daerah pindah ke daerah berikutnya. Ah, memikirkannnya saja sudah melelahkan, bagaimana dengan abah yang melakoninya? “Lebih baik tidur saja sekarang,” ucapku mengakhiri permainan tebak-tebakan.
Iya, abah selalu istimewa buat kami sepuluh orang anaknya. Suatu malam selepas Maghrib, kami sekeluarga besar sedang berkumpul di rumah kami yang sederhana. Tak ada tema tertentu, semua yang hadir bebas berceloteh dan berbicara apa saja. Tiba-tiba, abah memberi isyarat diam kepada kami semua.
“Abah punya rahasia,” pancing abah tersenyum.
Mendengar kata rahasia, tanpa dikomando kami semua segera memilih diam, siap menyimak apa gerangan rahasia abah tersebut.
“Meski abah sudah tua, tapi abah tetap memendam cita-cita menjadi penghafal Al-Qur’an seperti kalian semua. Hafalannya harus khatam, bukan setengah-setengah lagi,” ungkap abah membongkar rahasia.
“Karena punya banyak tugas, abah coba menghafal sedikit demi sedikit, ayat per ayat. Paling tidak, bisa hafal satu juz selama tiga atau empat bulan sekali,” papar abah memberi gambaran tentang the secret misson itu.
“Jika Allah berkehendak memberi umur 10 tahun lebih, berarti abah bisa selesai 30 juz sebelum meninggal nanti. Doakan abah ya, Nak!” pinta abah yang langsung diamini oleh ummi dan kami semua.
Jujur, saat itu, aku tak kuasa menyembunyikan airmata. Hidup abah mungkin tidak seberuntung anak-anaknya. Abah bukan dibesarkan dalam lingkungan agama. Abah juga tak pernah berstatus “santri” di sebuah pesantren. Tak seperti anak-anaknya yang sejak dini sudah mengecap didikan ala pesantren.
Menurut abah, semangat keislaman itu baru tumbuh sejak aktif berorganisasi kala menjadi mahasiswa dulu. Ada rasa haru yang menggemuruh dalam dadaku mendengar tutur abah yang begitu jujur dan merendah. Orangtua yang ingin mengikuti jejak anak-anaknya, demikian kalimat yang sering diulang abah belakangan ini.
Ah,  ‘orangtua yang ingin mengikuti jejak anak-anaknya’ bagiku, kalimat ini cukup menggelitik. Bukankah setiap kebaikan anak adalah poin keberkahan buat orangtua itu sendiri?
Alhamdulillah, di antara kami bersaudara, ada beberapa adik yang sudah menyelesaikan hafalan 30 juz secara lengkap. Selebihnya, mereka semua sedang berproses dengan jumlah dan tingkatan hafalan al-Qur’an yang berbeda-beda.
Jika Kasyful, adikku, sedang di rumah. Tak sungkan, abah memilih mundur selangkah ke belakang dan mempersilahkan putra keduanya itu mengambil posisinya sebagai imam shalat. Seolah abah memberi isyarat, bahwa kemuliaan seseorang itu diukur sebanding dengan al-Quran.
“Silakan maju, abah biar di belakang saja,” ucap abah kepada adikku.
Masih berselimut haru memikirkan ucapan abah Maghrib itu, tiba-tiba ingatanku tertumbuk pada peristiwa yang lain. Dengan bangga, abah pernah menceritakan kemajuan hapalan al-Qur’annya kepada kami semua. Saat itu rupanya abah baru saja menyelesaikan surah al-Muthaffifin yang disimak dan diuji oleh adikku yang kelima.
Menurut abah, surah ini yang paling susah ia hafal di juz ke-30.
“Alhamdulillah, tuntas juga akhirnya Juz Amma ini. Sebab di sana ada al-Muthaffifin.” Jelas abah membagi alasan kebahagiaannya.
Sebenarnya, abah bukan tak punya hapalan sama sekali. Beberapa ayat dan surah abah hafal secara berserak dalam al-Qur’an. Ini juga alasan, mengapa abah surprised atas keberhasilan menuntaskan satu juz secara penuh. Abah tak malu mengakui hal itu, padahal di saat yang sama, adikku yang ketujuh sudah melewati Juz Amma itu dua tahun yang lalu. Sekali lagi, abah sukses memaksaku menitikkan kembali air mata. Entah untuk ke berapa kalinya aku menangis buatnya. Aku sendiri tak pernah ingin menghitungnya.
Kadangkala aku berpikir, apa alasan abah ngotot ingin juga menjadi penghafal Al-Qur’an? Bukankah seusi dan kondisinya “hukum” itu berubah menjadi tak wajib?
Bagiku yang mengenalnya, abah sudah terlalu lelah dengan kesibukan yang tak henti menjejalinya. Biarlah kami sepuluh orang anaknya ini mengikat janji bersama. Membelikan mahkota buat ayah kami tercinta di surga kelak. Biarlah kami sepuluh orang anaknya ini yang bergantian mengenakan mahkota tersebut di atas kepala orang yang tak henti kami berdoa untuknya.
Dalam diam aku masih terus meraba, boleh jadi abah tak puas “hanya” menjadi istimewa bagi keluarga yang mencintainya. Tapi abah juga ingin status yang lebih istimewa lagi. Menjadi “Ahlullah” di sisi Rabbnya nanti .
“Yaa Allah, mudahkan segala urusan orang mencintai kami dalam kebaikan. Sampaikan kepada mereka untuk setiap cita-cita mulia. Kumpulkan kami kembali di firdaus-Mu yang tertinggi sebagaimana Engkau pernah mengumpulkan kami di bumi.”*/Diceritakan Nurul Qolbi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar