Seorang pemuda tinggal di
sebuah bilik Masjid Jami’ at-Taubah, Suriah yang tengah didera
kelaparan hebat. Tiga hari berlalu, ia belum juga memperoleh makanan.
Pemuda itu memilih untuk mencuri sesuatu yang bisa menegakkan tulang
punggungnya.
Ia berhasil masuk ke sebuah rumah. Di
dalam dapur rumah itu, ia mendapatkan sebuah periuk berisi terong.
Secepat kemudian ia mengambil satu terong dan memakannya. Saat makanan
itu nyaris ditelan, akal dan nuraninya bekerja.
“Aku berlindung kepada Allah, saya seorang
pencari ilmu dan mukim di masjid, tapi kenapa saya melabrak rumah orang
dan mencuri apa yang ada di dalamnya?” gumamnya.
Perasaan bersalah dan menyesal
menyelimutinya. Tak lupa ia beristighfar kepada Allah Subhanahu
Wata’ala, seraya mengembalikan terong. Ia bergegas kembali ke masjid dan
bergabung dalam halaqah taklim yang dipandu Syeikh Salim.
Usai pengajian, Syeikh Salim memanggil
sang pemuda tadi, “Apakah kamu sudah punya istri?” Jawabnya, “Belum.”
Sambung Syeikh, “Apakah kamu ingin menikah?” Ia terdiam. Syeikh pun
mengulangi pertanyaannya. Kemudian dia menjawab, “Ya Syeikh, kami tidak
punya uang untuk membeli roti. Wallahi! Dengan apa saya harus menikah?”
“Wanita ini telah bercerita pada saya
bahwa suaminya telah meninggal dan dia terasing dari tanah airnya. Di
negerinya, bahkan di dunia ini ia tidak punya sesuatu pun kecuali
seorang paman yang lemah dan miskin. Dan ia juga ikut datang bersama
wanita ini,” demikian ucap Syeikh sambil menunjuk ke pamannya yang duduk
di sudut halaqah.
Akhirnya pemuda itu siap menikahi si wanita tadi. Dan si wanita itu pun menerima pemuda tadi sebagai suaminya.
Usai menikah, si wanita itu menuntun suaminya ke rumahnya. Sang istri bertanya kepada sang pemuda yang telah menjadi suaminya.
“Engkau mau makan?”
“Ya,” jawabnya.
Saat sang istri membuka periuk, ia heran
sambil berkata, “Siapa orang yang masuk rumah dan menggigit terong ini?”
Si pemuda itu lalu menangis dan berkisah kepada istrinya. Dan sahutnya,
“Inilah buah amanah. Engkau telah menjaga diri dari dosa dan
meninggalkan terong yang haram, lalu Allah memberimu rumah seisinya
lengkap dengan pemiliknya secara halal.” (Disarikan dari kitab Man Taraka Syai’an Lillahi ‘Awwadhallahu Khairan Minhu yang ditulis oleh Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi).
Takut kepada Allah
Ada ibrah penting yang bisa kita petik
dari kisah di atas, bahwa rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala
sangat penting dimiliki oleh setiap hamba. Lebih-lebih di zaman yang
penuh fitnah ini. Halal dan haram yang ditetapkan oleh syariat sudah tak
lagi menjadi rambu-rambu bagi manusia dalam berucap dan bertindak.
Karena itu, agar bisa selamat, yang mesti
dilakukan oleh setiap hamba adalah terus menumbuh-suburkan rasa takut
kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Salah satu jalan yang bisa ditempuh
yaitu dengan mempertebal keyakinan tentang pembalasan dan kecepatan
penghisaban-Nya. Juga, bisa dengan cara merenungkan kengerian azab-Nya
yang tak bisa ditolak oleh siapapun dan apapun. Allah Subhanahu Wata’ala
berfirman, “Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras.” (Al-Buruuj [85]: 12).
Dengan cara tersebut, semoga rasa takut
itu terus bersemi dalam hati. Bahkan, rasa takut itu makin kuat. Pada
akhirnya rasa takut itulah yang akan melahirkan keteguhan diri. Seperti
batu karang yang tetap kokoh di atas kebenaran, meski dihantam ombak
fitnah zaman yang dahsyat. Meski kesempatan untuk berbuat yang haram
terbuka lebar, ia tetap tak akan mengambilnya. Sebab, ia sadar bahwa
Tuhannya selalu mengawasi. Baginya, tiada yang lebih ditakuti selain
kemurkaan-Nya. Tiada yang lebih dirisaukan dalam kehidupan ini selain
tak meraih keberkahan hidup dan rahmat dari-Nya.
Diganti yang Lebih Baik
Dengan berbekal rasa takut kepada Allah
Subhanahu Wata’ala, seorang hamba akan mampu menentukan pilihan yang
benar. Ia akan senantiasa memilih yang halal dan meninggalkan yang
haram. Seperti dalam mengejar kekayaan, meski peluang mendapat kekayaan
yang berlimpah itu membentang luas, tapi bila harus ditempuh dengan
jalan yang haram, seperti menipu, korupsi dan sejenisnya, maka tidak
akan mengambilnya. Pilihannya tetap pada cara yang halal, meski harta
yang akan diperoleh jauh lebih sedikit. Sebab, baginya harta yang
terbaik bukanlah yang berlimpah jumlahnya. Yang terbaik adalah yang
halal dan dipergunakan di jalan yang halal. Harta seperti itulah yang
berkah dan membawa keselamatan di dunia dan akhirat.
Begitu pula dalam perkara lainnya, setiap
orang beriman mutlak mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.
Sebab, dengan jalan itu Allah akan mengganti dengan yang lebih baik dan
berbagai kemudahan dari Allah Subhanahu Wata’ala akan tercurah kepada
kita. Sangat tak pantas bila tersedia banyak jalan yang halal, lantas
memilih yang haram. Karena jika mengambil yang haram akan ditimpa
kesulitan dan akan memberatkannya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menegaskan, “Sesungguhnya
engkau, tidaklah kau tinggalkan sesuatu karena takut kepada Allah,
kecuali Allah akan memberimu dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (Riwayat Ahmad).
Selain kisah di atas, kita juga patut
mengambil spirit dari kisah manusia terdahulu yang diistimewakan Allah
Subhanahu Wata’ala karena rela mencampakkan yang haram. Seperti Nabi
Yusuf Alaihissalam. Beliau memilih mencampakkan perbuatan keji bersama
istri Abdul Aziz, maka Allah pun melimpahkannya kedudukan terhormat di
bumi Mesir.
Juga, Nabi Sulaiman Alaihissalam. Tatkala
ia rela menyembelih kudanya karena amat takut bila kudanya
menyibukkannya hingga ia terlambat dari salat Ashar, maka Allah pun
menundukkan angin untuknya yang berhembus sesuai keinginannya. Inilah
bukti kebenaran janji-Nya. Dia akan memberi balasan istimewa bagi siapa
yang meninggalkan perkara yang haram karena-Nya.
Dengan spirit tersebut, kita tidak berat
untuk segera meninggalkan yang haram menuju yang halal. Kita tidak berat
untuk meninggalkan riba, kemudian beralih kepada bisnis yang halal lagi
menguntungkan. Tidak berat meninggalkan korupsi dan menggantinya dengan
kejujuran dan sikap amanah. Tidak berat meninggalkan cara-cara kotor
dalam mencari rezeki dan menggantinya dengan cara-cara yang terpuji.
Bahkan, dalam komunitas yang lebih besar, kita tidak berat untuk
meninggalkan hukum jahiliyah yang batil, kemudian beralih kepada
syariat-Nya yang dijamin kesempurnaannya.
Dengan jalan seperti itu, semoga
keberkahan dan rahmat Allah Ta’ala akan selalu tercurah dalam kehidupan
kita. Allahu a’lamu bishshawab.
*/ Masrokan. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar