Sabtu, 14 Maret 2015

Meninggalkan yang Haram, Diganti yang Lebih Baik

Seorang pemuda tinggal di sebuah bilik Masjid Jami’ at-Taubah, Suriah yang tengah didera kelaparan hebat. Tiga hari berlalu, ia belum juga memperoleh makanan. Pemuda itu memilih untuk mencuri sesuatu yang bisa menegakkan tulang punggungnya.
Ia berhasil masuk ke sebuah rumah. Di dalam dapur rumah itu, ia mendapatkan sebuah periuk berisi terong. Secepat kemudian ia mengambil satu terong dan memakannya. Saat makanan itu nyaris ditelan, akal dan nuraninya bekerja.
“Aku berlindung kepada Allah, saya seorang pencari ilmu dan mukim di masjid, tapi kenapa saya melabrak rumah orang dan mencuri apa yang ada di dalamnya?” gumamnya.
Perasaan bersalah dan menyesal menyelimutinya. Tak lupa ia beristighfar kepada Allah Subhanahu Wata’ala, seraya mengembalikan terong. Ia bergegas kembali ke masjid dan bergabung dalam halaqah taklim yang dipandu Syeikh Salim.
Usai pengajian, Syeikh Salim memanggil sang pemuda tadi, “Apakah kamu sudah punya istri?” Jawabnya, “Belum.” Sambung Syeikh, “Apakah kamu ingin menikah?” Ia terdiam. Syeikh pun mengulangi pertanyaannya. Kemudian dia menjawab, “Ya Syeikh, kami tidak punya uang untuk membeli roti. Wallahi! Dengan apa saya harus menikah?”
“Wanita ini telah bercerita pada saya bahwa suaminya telah meninggal dan dia terasing dari tanah airnya. Di negerinya, bahkan di dunia ini ia tidak punya sesuatu pun kecuali seorang paman yang lemah dan miskin. Dan ia juga ikut datang bersama wanita ini,” demikian ucap Syeikh sambil menunjuk ke pamannya yang duduk di sudut halaqah.
Akhirnya pemuda itu siap menikahi si wanita tadi. Dan si wanita itu pun menerima pemuda tadi sebagai suaminya.
Usai menikah, si wanita itu menuntun suaminya ke rumahnya. Sang istri bertanya kepada sang pemuda yang telah menjadi suaminya.
“Engkau mau makan?”
“Ya,” jawabnya.
Saat sang istri membuka periuk, ia heran sambil berkata, “Siapa orang yang masuk rumah dan menggigit terong ini?” Si pemuda itu lalu menangis dan berkisah kepada istrinya. Dan sahutnya, “Inilah buah amanah. Engkau telah menjaga diri dari dosa dan meninggalkan terong yang  haram, lalu Allah memberimu rumah seisinya lengkap dengan pemiliknya secara halal.” (Disarikan dari kitab Man Taraka Syai’an Lillahi ‘Awwadhallahu Khairan Minhu yang ditulis oleh Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi).
Takut kepada Allah
Ada ibrah penting yang bisa kita petik dari kisah di atas, bahwa rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala sangat penting dimiliki oleh setiap hamba. Lebih-lebih di zaman yang penuh fitnah ini. Halal dan haram yang ditetapkan oleh syariat sudah tak lagi menjadi rambu-rambu bagi manusia dalam berucap dan bertindak.
Karena itu, agar bisa selamat, yang mesti dilakukan oleh setiap hamba adalah terus menumbuh-suburkan rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Salah satu jalan yang bisa ditempuh yaitu dengan mempertebal keyakinan tentang pembalasan dan kecepatan penghisaban-Nya. Juga, bisa dengan cara merenungkan kengerian azab-Nya yang tak bisa ditolak oleh siapapun dan apapun. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras.” (Al-Buruuj [85]: 12).
Dengan cara tersebut, semoga rasa takut itu terus bersemi dalam hati. Bahkan, rasa takut itu makin kuat. Pada akhirnya rasa takut itulah yang akan melahirkan keteguhan diri. Seperti batu karang yang tetap kokoh di atas kebenaran, meski dihantam ombak fitnah zaman yang dahsyat. Meski kesempatan untuk berbuat yang haram terbuka lebar, ia tetap tak akan mengambilnya. Sebab, ia sadar bahwa Tuhannya selalu mengawasi. Baginya, tiada yang lebih ditakuti selain kemurkaan-Nya. Tiada yang lebih dirisaukan dalam kehidupan ini selain tak meraih keberkahan hidup dan rahmat dari-Nya.
Diganti yang Lebih Baik
Dengan berbekal rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala, seorang hamba akan mampu menentukan pilihan yang benar. Ia akan senantiasa memilih yang halal dan meninggalkan yang haram. Seperti dalam mengejar kekayaan, meski peluang mendapat kekayaan yang berlimpah itu membentang luas, tapi bila harus ditempuh dengan jalan yang haram, seperti menipu, korupsi dan sejenisnya, maka tidak akan mengambilnya. Pilihannya tetap pada cara yang halal, meski harta yang akan diperoleh jauh lebih sedikit. Sebab, baginya harta yang terbaik bukanlah yang berlimpah jumlahnya. Yang terbaik adalah yang halal dan dipergunakan di jalan yang halal. Harta seperti itulah yang berkah dan membawa keselamatan di dunia dan akhirat.
Begitu pula dalam perkara lainnya, setiap orang beriman mutlak mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram. Sebab, dengan jalan itu Allah akan mengganti dengan yang lebih baik dan berbagai kemudahan dari Allah Subhanahu Wata’ala akan tercurah kepada kita. Sangat tak pantas bila tersedia banyak jalan yang halal, lantas memilih yang haram. Karena jika mengambil yang haram akan ditimpa kesulitan dan akan memberatkannya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menegaskan, Sesungguhnya engkau, tidaklah kau tinggalkan sesuatu karena takut kepada Allah, kecuali Allah akan memberimu dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (Riwayat Ahmad).
Selain kisah di atas, kita juga patut mengambil spirit dari kisah manusia terdahulu yang diistimewakan Allah Subhanahu Wata’ala karena rela mencampakkan yang haram. Seperti Nabi Yusuf Alaihissalam. Beliau memilih mencampakkan perbuatan keji bersama istri Abdul Aziz, maka Allah pun melimpahkannya kedudukan terhormat di bumi Mesir.
Juga, Nabi Sulaiman Alaihissalam. Tatkala ia rela menyembelih kudanya karena amat takut bila kudanya menyibukkannya hingga ia terlambat dari salat Ashar, maka Allah pun menundukkan angin untuknya yang berhembus sesuai keinginannya. Inilah bukti kebenaran janji-Nya. Dia akan memberi balasan istimewa bagi siapa yang meninggalkan perkara yang haram karena-Nya.
Dengan spirit tersebut, kita tidak berat untuk segera meninggalkan yang haram menuju yang halal. Kita tidak berat untuk meninggalkan riba, kemudian beralih kepada bisnis yang halal lagi menguntungkan. Tidak berat meninggalkan korupsi dan menggantinya dengan kejujuran dan sikap amanah. Tidak berat meninggalkan cara-cara kotor dalam mencari rezeki dan menggantinya dengan cara-cara yang terpuji. Bahkan, dalam komunitas yang lebih besar, kita tidak berat untuk meninggalkan hukum jahiliyah yang batil, kemudian beralih kepada syariat-Nya yang dijamin kesempurnaannya.
Dengan jalan seperti itu, semoga keberkahan dan rahmat Allah Ta’ala akan selalu tercurah dalam kehidupan kita. Allahu a’lamu bishshawab.
*/ Masrokan. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar