Jumat, 04 Maret 2016

Cari Uang atau Cari Rezeki? [1]

Mari menjemput rezeki. Sebab Allah telah cukup membagi. Mungkin cara kita menjemput rezeki yang belum benar. Mulai dari mengabaikan adzan, melupakan doa, meninggalkan silaturahim, menafikan ridha orang tua.
 Buta Mata Tak Buta Hati: Penyandang tuna netra ini menggunakan tongkat menyusuri jalan menjemput rizki Allah.

"Zaman sekarang susah cari uang. Apa-apa serba mahal. Hidup makin susah saja rasanya,” Seorang Ibu penjaja makanan ringan menggerutu sambil mengipasi tubuhnya dengan tangan. Awalnya aku tak paham kalau ia berbicara kepadaku. “Mbak nggak susah ya cari uang? Apalagi pakaiannya seperti itu,” tatapannya seakan memberi penilaian atas busana yang kukenakan lengkap dengan niqab (cadar) yang menutupi wajahku. Kuperhatikan, kedua bola matanya bahkan hinggap sampai ke sepasang kaus kaki yang kukenakan.
Jujur, aku sama sekali tak merasa tersinggung. Kuyakini, tak ada maksud dan tendensi apapun atas pertanyaan ibu tersebut. Olehnya, aku hanya membalas dengan senyum. Kata orang, guratan senyum yang tersembunyi tetap bisa terlihat dari mata seorang perempuan.
“Rezeki itu nggak akan tertukar, Ibu. Usaha juga nggak akan berkhianat pada hasil insya Allah. Tapi ya usahanya bukan cuma ototnya saja. Tapi juga sujudnya. Alhamdulillah Ibu, saya seperti ini karena memang saya menghargai apa yang Allah berikan kepada saya. Saya merasakan bahwa Allah juga menghargai penghargaan saya atasnya. Saya berdagang, Ibu. Awalnya memang sulit. Tapi kemudahan demi kemudahan Allah berikan jalan.”
“Sudah Mbak. Saya sudah banyak amalan. Tapi hidup masih tetap seperti ini saja,” kalimat itu seakan keluar begitu saja dari mulut ibu tersebut. Lahir dari tatapan nanar mengarah pada serombongan pelancong yang berjalan santai membawa beberapa barang belanjaan. Lalu ia mengeluarkan selembar kertas yang terselip di keranjang dagangannya. Ayat sejuta dinar.
Apa yang selama ini kita cari?
Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) berfirman:
قل إن ربي يبسط الرزق لمن يشاء من عباده ويقدر له وما أنفقتم من شيء فهو يخلفه وهو خير الرازقين
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya dan menyempitkan (siapa yang dikehendakiNya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Surah Saba’ [34]: ayat 39)
Rezeki, jodoh dan maut adalah rahasia Allah. Hak mutlak dari Rabb Pemilik alam semesta. Dialah yang mengatur semua keadaan makhluk-makhluk-Nya. Begitu indah, teratur, adil, dan
bijaksana. Semuanya diciptakan berpasang-pasangan. Ada kaya dan miskin, ada laki-laki dan perempuan, ada nikmat dan musibah, dan sebagainya.
Dalam agama Islam, istilah rezeki bermakna luas. Tidak hanya berarti setumpuk uang atau materi lainnya. Terkadang manusia lupa, hanya memandang rezeki berupa segepok materi saja. Orang itu lupa bahwa hidup, nafas, sehat, lapang, senyum, bahagia, iman dan semua pemberian dari Allah, merupakan rezeki yang sangat mahal dan berharga. Ia bahkan tidak mampu terbeli dengan uang, berapapun banyaknya yang dipunyai.
Allah berfirman:
ٱلشَّيْطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِٱلْفَحْشَآءِ ۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (bakhil); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 268).
Lihatlah, sejak dini betapa sesungguhnya Allah sendiri menyatakan bahwa takut miskin (berfikir berlebihan tentang materi) adalah tipu daya setan. Zaman ini, kita berlomba-lomba mencari kehidupan. Menakar segala bentuk sukses, bahagia dan lapang, hanya dengan pendapatan, asset dan kekayaan. Mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan iman dan aqidah sebagai seorang Muslim, demi menumpuk pundi-pundi uang.
Akibatnya syukur lalu terpinggir sampingkan. Setiap waktunya hanya merasa haus dan dahaga akan sesuatu yang lebih yang belum ia punyai. Halal dan haram, teman apalagi kawan, bahkan saudara tak lagi memberi pengaruh nyata. Kini uang menjadi tujuan utama. Jangankan saat sehat, sakitpun rela melakukan apapun.
Tak ada yang salah dengan dalih mencari nafkah untuk keluarga, agar kehidupan keluarga menjadi layak dan tidak dipandang sebelah mata. Pun demikian, tak ada yang keliru jika seorang Muslim itu kaya dan berharta banyak. Hanya saja, ada beberapa hal yang patut diluruskan sehak dini. Bahwa uang itu bukan segalanya, meski biasanya semua butuh uang. Namun mari benahi, yaitu segalanya juga tidak perlu dikorbankan untuk uang.
Mari menjemput rezeki. Sebab Allah telah cukup membagi. Mungkin cara kita menjemput rezeki yang belum benar. Mulai dari mengabaikan adzan, melupakan doa, meninggalkan silaturahim, menafikan ridha orang tua, kurang berzakat dan sedekah. Jangan lupa untuk selalu bersyukur kepada Sang Pemberi rezeki..
Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw) bersabda:
“Seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya kamu diberi rezeki seperti burung diberi rezeki. Ia terbang di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang di petang hari dengan perut yang telah kenyang.” (Riwayat Ahmad). .*/Rizki N. Dyah, pegiat komunitas penulis Malika
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar