Kamis, 02 April 2015

Bagaimana Hukum Islam Melihat Status Harta Gono Gini?

Assalamualaikum wr wb. Pak ustad saya sedang menghadapi perselisihan dengan istri saya di mana saya saat ini sedang menjalani proses perdamaian atas laporan istri ke polisian atas tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Saya di kenai pasal 144 KUHP dan tidak disertai ayat yang lebih jelas. Pada dasarnya saya terjadi keributan pendapat di antara kami.
Kami menikah secara hukum Islam. Saya diminta untuk minta maaf sama istri dan mencabut laporan saya di kepolisian.
Yang jadi pertanyaan saya di dalam hal perdamaian saya diminta membagi harta 1 unit rumah yang masih dalam kredit. Dengan uang muka (DP) pemberian orangtua sebesar 30%. Dan cicilan murni dari uang gaji saya (tidak ada uang gaji istri) apakah harta ini bisa disebut sebagai harta gono gini. Satu hal lagi, istri juga memiliki 1 rumah yang iya masih bayar kredit nya sampai sekarang. Rumah tersebut sudah dibeli secara kredit 3 tahun sebelum menikah, dan sampai sekarang masih menjalankan pembayaran setiap bulannya. Apakah rumah ini bisa di sebut sebagai harta gono gini? Atas waktu dan perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wasalam
Adi
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salah satu pengertian harta gono-gini adalah harta milik bersama suami-istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono-gini atau harta bersama.
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini.
Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :
Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “ash-Shulhu“ yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih.
Allah subhanhu wa ta’ala berfirman :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz  atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).“ (QS:  An Nisa’ : 128 )
Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Dari Amru’ bin Auf al-Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallu ‘Alaihi Wassallam bersabda: ”Perdamaian adalah boleh di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram.“  (HR: Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.
Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yang menyebutkan bahwa :
“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.
Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono- gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik istri. Wallahu A’lam.*/ (Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar