Kamis, 26 Maret 2015

Disiplin dalam Rumah Tangga; Tangga Awal Kesuksesan

Pada hakikatnya, disiplin merupakan sebuah keteraturan dalam hidup (sehari-hari) yang bisa mulai diajarkan pada seorang bayi sekalipun. Sebuah keteraturan yang memiliki cakupan yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan. Salah jika kita hanya mempersepsikan disiplin hanya sebagai aturan yang serba ketat, segala sesuatu dibuatkan aturan dan tata tertib berikut sanksi dan hukumannya jika terjadi pelanggaran terhadap aturan tersebut.
Sebagai sebuah miniatur dari sebuah masyarakat yang besar dan kompleks, serta basis pendidikan dan tarbiyah bagi seorang anak, rumah tangga (keluarga) menempati peran dan fungsi yang besar dalam meletakkan disiplin sebagai pondasi kepribadian dan karakter seluruh anggota keluarga.
Ibarat anak tangga, maka disiplin menempati anak tangga pertama menuju keberhasilan dan kesuksesan dalam berbagai variannya. Di dalam rumahlah, disiplin diajarkan, dibiasakan dan dikembangkan. Disiplin memang tidak menjamin keberhasilan tapi tidak ada keberhasilan tanpa disiplin. Orang-orang besar dan hebat memiliki antusiasme dan kedisiplinan yang tinggi melebihi orang awam pada umumnya. Para shahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bukti yang mewarisi antusiasme dan kedisiplinan dalam ilmu, ibadah dan semua bentuk ketaatan.
Sebuah keteraturan akan melahirkan kekuatan, sehingga dalam masa I’dadul quwwah, kedisiplinan terhadap berbagai rancangan amal jama’i yang telah diprogramkan tidak bisa diabaikan. Hatta, dalam kehidupan keluarga khususnya dalam mendidik anak-anak yang kuat fisik dan mentalnya, fikriyah, ibadah maupun akhlaknya, niscaya kesemuanya membutuhkan kedisiplinan dalam pendidikan dan pembiasaan mereka. Dan, kepada orang tualah Allah SWT memberikan tanggung jawab pendidikan yang pertama dan terutama. Oleh karena itu, hendaklah kita menjadi cermin yang jernih dan konsisten bagi anak-anak dengan memberikan contoh yang hidup dalam pribadi kita. Energi keteladanan adalah yang terkuat memberikan pengaruh dalam pribadi seorang anak.
Disiplin adalah Tentang Mengatur Waktu dan Amal
Sedemikian penting waktu, Allah SWT banyak menggunakan waktu sebagai sumpah di awal ayat beberapa surat dalam Al-Qur’an. Dalam Al-‘Ashr Allah berfirman ;
وَالْعَصْرِ .إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ .إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (2) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (3)” (Al-‘Ashr (103) : 1-3).
Dalam sebuah pepatah Arab yang masyhur disebutkan bahwa waktu itu ibarat pedang yang tajam, jika engkau tidak menggunakannya niscaya ia (waktu) yang akan menebasmu dengan ketajamannya. Maknanya banyak. Sering terjadi kita (seolah) kehabisan waktu padahal banyak tugas dan pekerjaan kita yang belum selesai. Atau, kita disibukkan oleh suatu pekerjaan sehingga melalaikan pekerjaan lain yang lebih penting. Atau, kita menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia, tidak bermanfaat bagi peningkatan iman dan ilmu. Atau, kita hanya menghabiskannya untuk hal-hal yang mubah, dan sebagainya.
Sebagai ummahat, berjibaku dengan waktu dan seabreg rutinitas harian tidaklah mudah mencapai kondisi ideal sebagaimana cita-cita saat masih lajang. Barangkali mendisiplinkan waktu dan merutinkan sebuah amalan adalah kendala yang paling umum terjadi. Namun bukan berarti keumuman ini harus selalu ditoleransi, justru inilah masalah yang harus dicari solusinya sesuai kondisi dan keadaan masing-masing pribadi, jika tak ingin terseret oleh waktu.
Ya, waktu terus berjalan tanpa kita bisa menghentikan lajunya. Jika kita tidak disibukkan dengan kebaikan dan ketaatan, niscaya kita disibukkan dengan keburukan dan kefasikan. Jika bukan untuk ketaatan waktu kita gunakan, niscaya kemaksiatan akan memenuhinya. Hanya ada dua pilihan, dan kita yang menentukannya. Pun kita yang kan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak, dan pada saat itu setiap orang kan terperanjat sebagaimana firman-Nya :
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun”.(Al-Kahfi :49)
عَنْ أَبِي بَرْزَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ : عَنْ مَالِهِ ، مِمَّ اكْتَسَبَهُ ؟ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ ؟ وَعَنْ عِلْمِهِ ، مَا صَنَعَ فِيهِ ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ ، فِيمَ أَبْلَاهُ ؟ وَعَنْ عُمُرِهِ ، فِيمَ أَفْنَاهُ ؟ ” أَخْرَجَهُ أَبُو عِيسَى التِّرْمِذِيُّ فِي جَامِعِهِ وَقَالَ : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Abu Barzah RA ia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanyakan kepadanya tentang empat perkara: perihal harta bendanya darimana ia dapatkan dan ia belanjakan dalam hal apa, perihal ilmunya apa yang ia kerjakan di dalamnya, perihal masa mudanya untuk apa ia lewatkan, perihal umurnya untuk apa ia habiskan.” (HR. Tirmidzi dalam kitabnya Al Jami’ dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”)
عن بن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لرجل وهو يعظه : ” اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَحَيَاَتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ ”
أخرجه الحاكم في المستدرك رقم (7846) 4 / 341 وقال : هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه وصححه الألباني في صحيح الجامع رقم (1077) ، وفي صحيح الترغيب والترهيب رقم
3355)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda kepada seorang lelaki sebagai nasehat kepadanya:
“Jagalah yang lima sebelum datangnya yang lima: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, masa mudamu sebelum masa tuamu dan kayamu sebelum miskinmu.” (HR.Hakim, beliau berkata, “ Ini hadits shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim hanya mereka tidak mengeluarkannya.” Syekh Al Albani menshahihkannya dalam Shahih Al jami’ No 1077 dan Shahih targhib wa tarhib no 3355.).
Adalah sebuah pilihan cerdas jika kita pun beramal dengan amalan orang yang cerdas dalam keseluruhan waktu yang dianugerahkan Allah Taala pada kita, sebagaimana sabda Rasulullah SAW menyebutkan ciri-cirinya kepada kita:
اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ اْلمَوْتِ…
“Orang yang cerdas adalah orang yang introspeksi diri dan beramal untuk bekal setelah mati…” (HR. Tirmidzi, beliau berkata,’hadits ini hadits hasan’).
Seorang ahli hikmah juga berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang cerdas. Yang tidak mengutamakan dunia dan takut akan fitnahnya. Mereka senantiasa memperhatikan dan mereka pun tahu bahwa dunia ini bukan tempat tinggal selamanya. Mereka jadikan dunia laksana samudra, dan menjadikan amal shalih sebagai bahtera untuk berlayar mengarunginya.”
Jadi, kita memang harus selektif dalam memilih aktivitas dan menjadikannya kesibukan yang mengisi waktu-waktu kita. Jangan biarkan waktu bergulir begitu saja tanpa rencana. Awali semua aktivitas dengan basmalah dan niatkan seluruhnya untuk ibadah niscaya kan menyempurnakan keutamaannya.
Aktivitas ringan yang bisa ‘disambi’ dengan pekerjaan lain, yang memiliki keutamaan luar biasa, yang bisa men-charge iman sewaktu-waktu, yakni dzikrullah dengan lisan kita. Andai kita bisa melazimi dan mendisiplinkannya, insyaAllah besar manfaatnya.
Awali dengan Kedisiplinan Diri
Seorang ummahat (orang tua) yang menghendaki anak-anaknya tumbuh dalam kedisiplinan hendaknya memulai hal tersebut dalam dirinya. Disiplin dalam shalat maupun ibadah-ibadah selainnya, disiplin dalam belajar, disiplin dalam berbagai amal ketaatan dan kebaikan serta disiplin dalam menggunakan waktunya sehari-hari.
Mereka adalah anak-anak yang tidak tumbuh melainkan menurut kebiasaan dan pendidikan yang ditanamkan orang tuanya. Jiwa mereka sedemikian lentur, sehingga mudah sekali menerima segala sesuatu yang memberikan pengaruh terhadapnya sesuai dengan lingkungan pertamanya.
Sampai-sampai Rasulullah SAW meletakkan kaidah mendasar yang kesimpulannya adalah seorang anak tumbuh dan berkembang mengikuti dien kedua orang tuanya. Keduanyalah yang memberikan pengaruh yang kuat terhadapnya.
Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Hurairah RA berkata, “Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Majusi, atau Nashrani sebagaimana permisalan binatang itu melahirkan binatang (yang sama secara utuh). Apakah kamu melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?” Kemudian Abu Hurairah RA membaca firman Allah SWT:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada dien Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) dien yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum (30) : 30).
Imam Ghazali mengatakan, “Anak merupakan amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci merupakan mutiara yang masih polos tanpa ukiran dan gambar. Ia siap diukir dan cenderung kepada apa saja yang mempengaruhinya. Jika ia dibiasakan dan diajarkan untuk berbuat kebaikan, ia akan tumbuh menjadi anak yang baik. Dengan begitu kedua orang tuanya akan berbahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan apabila ia dibiasakan berbuat jahat dan dibiarkan begitu saja seperti membiarkan binatang ternak, maka ia akan sengsara dan binasa. Dosanyapun akan dipikul oleh orang yang bertanggung jawab mengurus dan walinya.”
Beliau juga menjelaskan bahwa mentarbiyah (mendidik) seorang anak serupa dengan pekerjaan seorang petani yang membuang duri dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan asing atau rerumputan yang mengganggu tanaman agar ia bisa tumbuh dengan baik dan membawa hasil yang maksimal.
Allah SWT telah memerintahkan orang tua untuk mencurahkan segala upaya dan terus berbuat tanpa henti untuk mendidik dan membiasakan anak-anak berbuat kebaikan, meluruskan dan memperbaiki kesalahan mereka. Karena inilah jalan yang ditempuh oleh para Nabi dan Rasul. Nabi Nuh AS telah mengajak anak beliau kepada iman, Nabi Ibrahim AS telah memerintahkan putera-puteranya agar hanya beribadah kepada Allah, dan seterusnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahriim (66) :6).
Sungguh, amanah pendidikan adalah di pundak orang tua. Dalam ayat di atas, Allah SWT memulai perintah-Nya kepada orang tua. Sehingga, orangtualah yang harus memberikan pendidikan dan teladan. Dengan memahami sifat anak-anak yang suka memperhatikan dan meniru perilaku orang tua, maka seharusnya orang tua menjadikan hal ini sebagai sarana yang efektif dalam mengarahkan dan membiasakan mereka dalam kebaikan.
Mulailah kebaikan dari diri kita. Mulailah kedisiplinan dari diri kita. Sungguh kemampuan audio-visual mereka sangatlah tinggi – bahkan di luar dugaan kita – dalam menerima respon baik positif maupun negatif. Mereka bukanlah anak kecil yang belum mengerti apa-apa.
Bahkan dalam berbagai penelitian ilmiah modern, kemampuan mereka merespon telah ada sejak masih janin di dalam kandungan. Subhanallah…Maka tidakkah kita rugi jika tidak memanfaatkan potensi ini dan menyalurkan energi yang positif melalui sikap dan tingkah laku kita yang tunduk pada aturan dan kehendak Allah SWT ??
Seorang ahli hikmah berkata, “Bergegaslah mendidik anak-anak sebelum kesibukanmu bertumpuk-tumpuk. Jika ia telah menjadi dewasa namun tidak berakal, sungguh ia akan lebih memusingkan pikiranmu.”
http://www.lasdipo.com/bilik-muslimah/2015/03/17/disiplin-dalam-rumah-tangga-tangga-awal-kesuksesan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar